Bisnis Obat Palsu secara Daring Makin Marak
JAKARTA, KOMPAS – Bisnis obat-obatan dan kosmetik palsu meningkat setiap tahun. Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan 1.312 barang bukti obat dan kosmetik palsu diperjualbelikan secara daring pada 2016. Namun, setahun kemudian, jumlahnya naik 400 persen lebih menjadi 4.796 barang bukti.
Seiring makin pesatnya penetrasi pengguna internet di Indonesia, tren berbelanja masyarakat pun bergeser dari yang sebelumnya luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring).
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan, pada 2017 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,86 persen dari total keseluruhan penduduk. Angka tersebut melonjak dari tahun 2016 yang tercatat 132,7 juta jiwa.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan, Senin (30/4/2018), mengatakan, pertumbuhan pengguna internet yang tinggi merupakan sebuah peluang bisnis daring yang besar.
Akan tetapi, persoalannya ada produk-produk palsu yang juga turut beredar. Pemerintah berkewajiban melindungi konsumen dari praktek pemalsuan produk-produk yang dijual secara daring. Ia mengungkapkan, saat ini produk yang paling banyak dipalsukan antara lain film, lagu, dan obat-obatan.
Produk-produk tersebut kebanyakan dijual bebas tanpa izin edar. Sedangkan, untuk obat-obatan, ada obat yang seharusnya tidak diperdagangkan secara bebas, tapi pada kenyataannya ada yang ditawarkan secara daring.
“Memasuki Kuartal I-2018 sudah ada 361 pelanggaran hak atas kekayaan intelektual. Untuk obat-obatan ilegal dan makanan itu hampir 50 persen dari temuan tersebut,” kata Semuel di Jakarta.
Semuel mendorong pemilik merek untuk aktif melaporkan penyalahgunaan merek. Dengan aktif melaporkan penyalahgunaan merek, pemilik merek juga turut membantu pemerintah dalam upaya perlindungan konsumen.
Pemerintah, kata Semuel, akan menindak pelaku penyalahgunaan merek berdasarkan laporan dari pemegang sah merek.
Dalam kesempatan yang sama, Regional Manager Pharmaceutical Security Institute (PSI) Raj Ramesh menyampaikan, pelaku bisnis obat-obatan palsu menyasar keuntungan yang besar dari bisnis ini.
Ramesh menyebutkan, total keuntungan dari bisnis obat palsu mencapai 70 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Hal itu karena ongkos yang dikeluarkan pemalsu untuk memproduksi obat palsu relatif kecil, sehingga ketika dijual, keuntungan yang diperoleh bisa berkali-kali lipat.
Ramesh membeberkan, selama 2015-2017, PSI mencatat ada 2.555 kasus kejahatan farmasi di seluruh dunia. Amerika utara menjadi regional dengan jumlah laporan kasus terbanyak, yaitu 1.579 kasus. Disusul benua Asia dengan 690 temuan kasus.
Putus permintaan
Direktur Intelijen Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Wildan Saragih mengatakan, kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi 10 batas negara membuka celah masuknya obat-obatan dan kosmetik palsu.
Oleh sebab itu, kata Wildan, pencegahan yang paling efektif adalah memutus aliran permintaan produk palsu. Namun, masyarakat Indonesia cenderung menyukai produk yang harganya murah.
Wildan mengatakan, kondisi itu diperparah dengan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memberantas peredaran obat palsu. Laporan masyarakat terhadap peredaran obat palsu masih sangat rendah karena mereka berprasangka, melaporkan obat palsu adalah hal yang sulit dan merepotkan.
Padahal, BPOM menyediakan laman khusus yang bisa mempermudah masyarakat melaporkan temuan obat yang dicurigai sebagai obat palsu. Pada laman BPOM itu pula masyarakat bisa mengecek keaslian obat yang dibelinya.
“Masyarakat kita masih senang dengan barang yang murah. Jadi faktor-faktor ekonomi masih sangat berpengaruh, terutama soal harga. Pelaku industri juga kami harapkan melindungi kesehatan masyarakat,” kata Wildan.
Wildan melanjutkan, sesungguhnya tidak semua obat yang murah adalah produk jelek. Ia merujuk pada obat generik yang harganya terjangkau dan aman dikonsumsi.
Masyarakat, kata dia, harus mewaspadai obat yang dijual secara daring dengan harga murah yang tidak wajar.
Apotek daring
Tingginya kebutuhan masyarakat memperoleh obat yang aman, murah, bermutu, dan cepat memunculkan wacana membuat sebuah sistem apotek daring.
Semuel mengatakan, apotek daring bisa menjadi solusi masyarakat untuk mendapatkan obat secara cepat dan aman dikonsumsi.
“Maka dari itu saya tawarkan kita membuat konsep yang namanya apotek online. Ini perlu karena masyarakat sudah 50 persen lebih masuk di dunia online, kemungkinan mereka beli obat secara daring sangat besar,” tutur Semuel.
Konsep apotek daring mendorong dokter juga harus membuat resep secara daring dan memiliki sertifikat daring. Sehingga, ketika dicek di apotek tujuan, resep yang diajukan adalah valid.
“Kalau kita rancang dalam satu sistem, bisa mempermudah masyarakat mendapat layanan obat. Diharapkan dengan adanya apotek online (daring) bisa harganya murah dan aman karena prosesnya pendek,” tambahnya.
Direktur Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor BPOM Handaningsih mengatakan, konsep apotek daring saat ini belum diimplementasikan.
Namun, Handaningshih mengatakan, proses pembahasannya sedang berjalan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Saat ini yang ada hanya praktek e-farmasi dan e-distribusi obat yang dilakukan pedagang besar farmasi.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang mengatakan, konsep apotek daring bisa dilakukan dalam waktu dekat. Pembahasan regulasi mengenai pengaturan apotek daring telah berjalan setahun.
Kini prosesnya sedang berada di Biro Hukum Kemenkes. Hal yang penting, kata Linda, pelayanan kefarmasian seperti konseling pasien tidak boleh hilang dengan adanya sistem apotek daring.