Kriminalitas yang menimpa pengguna angkutan daring menunjukkan ada sistem yang perlu diperbaiki, salah satunya pola rekrutmen sopir.
Oleh
Wisnu Aji Dewabrata
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mendesak perusahaan aplikasi taksi daring berbenah. Perusahaan harus tatap muka dengan calon sopir saat rekrutmen dan membuat sistem untuk menghilangkan sopir tembak. Hal itu untuk melindungi penumpang agar tak menjadi korban kejahatan.
Hal itu disampaikan Budi, Sabtu (28/4/2018) di markas Polres Jakarta Barat, usai menemui SS (24), penumpang taksi daring yang dirampok bahkan nyaris diperkosa di dalam mobil. Budi didampingi Kapolres Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Hengki Haryadi.
Budi didampingi Kapolres Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan hal itu di markas Polres Metro Jakarta Barat, Sabtu (28/4/2018).
SS memesan taksi daring dari Tambora ke Tanah Abang, Senin lalu. Mobil dikemudikan tersangka L. Di jok belakang, bersembunyi dua tersangka lain yakni S dan A. Keduanya membekap dan mengikat korban.
Kawanan ini lantas merampas barang korban dan memaksa korban menghubungi keluarganya untuk minta tebusan. Polisi telah menangkap ketiga pelaku, Rabu dan Kamis lalu. L tewas setelah ditembak karena melawan polisi.
L bukan sopir resmi taksi daring. Ia meminjam mobil milik ayah angkatnya yang bekerja sebagai sopir taksi daring.
Budi menegaskan, proses rekrutmen sopir tidak boleh main-main. Rekrutmen tidak boleh dilakukan secara daring tapi harus melalui tatap muka. Tujuannya supaya perusahaan mengenal orang yang akan menjadi sopir. “Bagaimana mungkin dapat sopir yang baik kalau tidak melakukan tatap muka. Tatap muka tidak membuat proses rekrutmen jadi panjang,” katanya.
Budi menambahkan, selain memperbaiki sistem rekrutmen, harus ada mekanisme menghilangkan sopir tembak. Budi mencontohkan model perekaman sidik jari, sehingga mobil hanya bisa dikemudikan oleh sopir resmi. Pengambilan sidik jari dilakukan saat sopir jalan pertama menjemput penumpang dan ketika sampai di tujuan.
Menurut Budi, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 yang beberapa waktu lalu ditolak melalui demo oleh pengemudi taksi daring, telah memberikan rambu-rambu bagi taksi daring. Rambu-rambut itu antara lain harus ada kir, karena dengan kir kondisi mobil benar-benar diteliti. Hal teknis bisa ditambahkan misalnya memasang tombol yang bisa ditekan saat penumpang dalam masalah.
“Saya kecewa karena perusahaan (taksi daring) belum datang. Saya harapkan mereka segera melakukan koordinasi, bukan masalah materi tetapi empati (kepada korban) itu penting,” ujarnya.
Melapor ke polisi
SN, kakak korban SS, menyampaikan terima kasih karena polisi telah menangkap pelaku dalam waktu cepat. SN mengimbau penumpang taksi daring yang menjadi korban kejahatan agar melapor ke polisi. Saat ini, SS sedang dalam pemulihan karena mengalami trauma setelah peristiwa tersebut.
“Saya kecewa dengan perusahaan taksi daring karena tanggapannya sangat lambat. Sampai sekarang belum ada perhatian terhadap korban, mereka cuma menelepon setelah masalahnya viral,” kata SN.
Menurut SN, adiknya memang sering menjadi penumpang taksi daring karena praktis dan murah. SN berharap ke depan tidak ada lagi penumpang taksi daring yang jadi korban.
Pada kesempatan itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengungkapkan, kasus semacam ini jangan terjadi lagi. Regulasi yang ada harus memberikan proteksi terhadap perempuan.
“Bukan cuma penumpang yang harus teliti, sesuai atau tidak sopir dan mobilnya. Perusahaan taksi daring juga harus mengawasi sopirnya. Pastikan ada standar untuk taksi daring, misalnya kaca tidak boleh gelap,” ujar Budi.