Terpikat Gaji Tinggi, Malah Buntung
Melihat teman sukses, ditambah iming-iming gaji tinggi, menggoda mereka meninggalkan kampung halaman dan menjadi tenaga kerja Indonesia. Sayang. Alih-alih untung, mereka justru buntung. Malang lebih sering datang di negeri seberang.
Dengan wajah yang tampak lelah dan pasrah, Deni Kurniawan (39) memandang lekat kerumunan orang di pintu samping Markas Komando Direktorat Kepolisian Air Kepolisian Daerah Kepulauan Riau di Sekupang, Batam, Jumat (20/4/2018). Mereka hendak menukarkan ringgit dengan uang rupiah.
Pria asal Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu bergeming. Ia tetap duduk di atas kursi plastik dan tidak tergoda untuk berbaur dengan kerumunan orang.
”Mereka beruntung punya uang. Kalau pegangan saya hanya 100 ringgit (sekitar Rp 350.000 dengan kurs 1 ringgit= Rp 3.500). Itu sisa gaji saya dan istri setelah dipotong biaya kapal dan lainnya,” kata Dani yang ke Malaysia bersama istrinya, Yani (33).
Dani dan Yani adalah dua dari 101 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang diselamatkan di Teluk Singapura setelah berjam-jam terombang-ambing di sana. Kapal cepat dengan empat mesin berkekuatan masing-masing 200 PK, yang membawa mereka dari Johor, Malaysia, menuju Batam itu tersesat dan kehabisan bahan bakar, Kamis (19/4/2018) pukul 03.30.
Mereka diselamatkan kapal patroli Baladewa milik Korps Kepolisian Perairan dan Udara Kepolisian Negara RI dibantu Ditpolair Polda Kepulauan Riau dan Kepolisian Resor Kota Balerang sekitar pukul 09.00. Saat ini, TKI yang terdiri dari 75 laki-laki, 20 perempuan, dan 4 anak-anak itu tengah menunggu dipulangkan ke kampung halaman masing-masing, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta, Batam, dan Tanjung Pinang.
Deni menuturkan, Januari 2018 lalu mereka memutuskan menjadi TKI dengan tujuan Malaysia dan meninggalkan pekerjaan serabutan di kampung. Apalagi melihat kesuksesan teman di kampungnya yang menjadi TKI di Malaysia. ”Akhirnya kami nekat jual motor untuk biaya pembuatan paspor dan tiket. Setelah itu, kami berangkat dengan kapal dari Batam ke Malaysia,” kata Deni.
Kurang dari empat bulan bekerja di perkebunan sayur-mayur, Deni dan Yani tak tahan dan memutuskan pulang. Selain Yani sakit-sakitan, gaji mereka juga tidak dibayar penuh. Janji gaji 1.200 ringgit per bulan yang seharusnya mereka terima, dipotong dalam jumlah yang sangat besar.
”Kami hanya dapat 50 ringgit. Lainnya untuk biaya makan dan sebagainya. Tapi kami menduga itu akal-akalan mandor karena dia yang pegang gaji semua pekerja,” kata Deni.
Mereka bukan tidak berusaha menagih gaji di Malaysia. ”Sering. Tetapi, saat kami tagih, dia malah marah. Akhirnya, karena tidak tahan lagi, kami terpikir untuk pulang. Telantar di Indonesia tidak apa. Kalau di negeri orang bahaya,” kata Deni.
Berbekal gaji terakhir 1.500 ringgit yang akhirnya bisa mereka dapatkan, Dani dan istrinya pulang ke Indonesia.
”Kami membayar 1.100 ringgit lewat belakang (jalur gelap). Kalau lewat depan atau jalur resmi, kami tak punya uang karena lebih mahal. Biaya kapal yang bisa kami bayar juga hanya sampai Batam. Kalau untuk biaya di kampung, rencananya kami cari kerja di Batam dulu,” kata Dani.
Kapal bocor
Perjalanan pulang melalui jalur ilegal itu juga tidak mulus. Ahmad Pardi (21) asal Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengatakan, saat akan menuju kapal saja, mereka harus bersembunyi agar tidak tertangkap petugas.
”Saya berlima naik mobil, kemudian diturunkan beserta barang-barang di pinggir jalan sekitar pukul 20.00. Di sana, sudah ada yang menunggu. Lalu, kami berjalan kaki melewati hutan sekitar 2 kilometer menuju kapal. Tidak ada penerang jalan sama sekali,” kata pemuda yang bekerja selama 3 tahun di perkebunan buah-buahan di Malaysia itu.
Saat naik kapal sekitar pukul 00.00, mereka juga harus berdesak-desakan bersama penumpang lain. Kapal cepat itu berukuran panjang sekitar 15 meter. Area yang bisa diisi penumpang kurang dari 10 meter. ”Ite tetumpuk baraq pindang (kami ditumpuk-tumpuk seperti ikan),” kata Pardi.
Tidak hanya itu, di tengah laut yang bergelombang, kapal tanpa atap itu juga bocor dan kemasukan air. Para penumpang harus menggunakan pakaian mereka untuk menutup lubang itu.
Mereka juga harus bergiliran menguras air yang masuk ke kapal. Kepanikan, kata Pardi, tidak bisa dihindari. Penumpang perempuan resah dan anak-anak mereka menangis selama perjalanan.
Deni mengatakan, meski dilanda kekhawatiran, dia bersyukur kapal mereka diamankan petugas dan dievakuasi ke Batam.
”Di atas kapal, kami dapat info harus menyerahkan masing-masing 80 ringgit lagi begitu mendarat. Dengan pegangan tinggal 100 ringgit lagi, kami cuma bisa pasrah. Saya enggak apa-apa dipukul asal bisa sampai di Batam,” kata Deni.
Menurut Deni, dia tak masalah pulang ke kampung halaman tanpa membawa uang apa pun.
”Sama istri, saya bilang tidak bawa uang tidak apa-apa, yang penting selamat, dan kita bisa berkumpul lagi dengan anak yang sementara dititipkan kepada orangtua,” kata Deni.
Deni, Yani, dan Pardi sebenarnya tidak ingin menjadi TKI, tetapi mereka juga tidak punya pilihan lain. Di kampung halaman, lapangan pekerjaan juga sulit. Deni yang hanya lulusan sekolah dasar mengaku, meski di Bandung ada pabrik, itu tidak mudah.
”Kalau ijazah hanya SD terus melamar, tidak mungkin. Jadi harus bayar. Kalau pabriknya bagus, bayarnya bisa belasan juta,” kata Deni.
Mengintensifkan patroli
Batam, Kepulauan Riau, menjadi salah satu pintu keberangkatan dan kepulangan TKI, terutama TKI ilegal.
Pada Senin (16/4/2018) lalu, misalnya, tim Gabungan Western Fleet Quick Response (WFQR) Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) IV Tanjung Pinang dan Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Batam menggagalkan penyelundupan TKI ilegal yang akan ke Malaysia.
Sebanyak 4 ABK yang merupakan warga Tanjung Pinang dan 49 penumpang yang terdiri dari 40 warga Indonesia dan 9 Bangladesh berhasil diamankan.
Pada akhir 2017, Ditpolair Polda Kepulauan Riau juga mengamankan tiga penyalur beserta 33 TKI ilegal yang akan diberangkatkan ke Malaysia.
Para pelaku diketahui menyalurkan 30 sampai 80 TKI yang sebagian berasal dari NTB, Madura, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Para calon TKI ilegal ini dikutip antara Rp 3 juta dan Rp 5 juta per orang.
Direktur Kepolisian Perairan Polda Kepulauan Riau Komisaris Besar Benyamin Sapta mengatakan, pihaknya akan mengintensifkan patroli untuk mencegah keberangkatan ataupun kepulangan TKI ilegal, terutama kepulangan, apalagi dalam waktu dekat akan memasuki arus mudik lebaran.
”Dari pengalaman tahun lalu, biasanya mendekati Lebaran atau hari raya, banyak TKI yang pulang kampung. Kami perlu antipasi itu dengan patroli pada jalur-jalur yang biasa mereka lalui. Tidak hanya di Batam, tetapi juga di Tanjung Pinang,” kata Benyamin.