JAKARTA, KOMPAS — Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan menemukan adanya aliran dana dari kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101 ke luar negeri. Aliran dana terbesar diketahui dari perusahaan penyedia barang ke Singapura dan Inggris dengan nilai total Rp 340 miliar. Uang tersebut diduga untuk pembayaran pembelian helikopter.
Dalam kasus pembelian helikopter AW101, perusahaan penyedia barang adalah PT Diratama Jaya Mandiri. Irfan Kurnia Saleh, direktur perusahaan tersebut, berstatus tersangka sejak Juni 2017. Dalam pemaparannya di rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/4), Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, transaksi ke Singapura ditujukan ke perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan penyedia barang. Namun, Kiagus enggan menjabarkan lebih lanjut temuan tersebut.
Ia mengatakan, temuan itu sudah disampaikan ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk didalami dan ditindaklanjuti. ”Itu masih harus diuji oleh penyidik. Yang penting, kami sudah sampaikan bahwa ada uang yang dikirimkan ke luar negeri, dari siapa ke siapa. Biar KPK yang melengkapi dan menguji,” kata Kiagus.
Adapun nilai pengadaan helikopter AW-101 berdasarkan kontrak adalah Rp 514 miliar, tetapi jumlah itu dilebihkan (mark up) menjadi Rp 738 miliar sehingga negara dirugikan sebesar Rp 224 miliar dari kasus ini. Selain ke KPK, PPATK telah menyampaikan hasil analisis terkait kasus tersebut ke Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Udara TNI.
”Berdasarkan analisis transaksi, ditemukan bahwa terdapat selisih antara dana yang dikeluarkan untuk pembayaran pengadaan heli dan dana yang sebenarnya diterima atau dibayarkan oleh perusahaan penyedia barang, dengan nilai selisih lebih dari Rp 150 miliar,” kata Kiagus.
Sementara itu, KPK menyatakan akan mempelajari lebih lanjut mengenai laporan PPATK tersebut. Data dari PPATK selama ini menjadi salah satu sarana yang membantu KPK dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan barang di TNI AU ini.
Kendati demikian, KPK enggan menjelaskan secara rinci mengenai data tersebut. ”KPK dalam banyak penanganan perkara berkoordinasi dengan PPATK, baik berdasarkan permintaan maupun tidak. Jika ada data di atas yg disampaikan ke KPK, tentu akan kami pelajari lebih lanjut,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Di tengah informasi tersebut, penanganan perkara pengadaan Helikopter AW 101 di KPK terhenti untuk sementara. KPK mengalami kesulitan memperoleh keterangan dari para anggota TNI, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna yang menolak memberikan keterangan dengan dalih tidak bisa membocorkan rahasia militer karena terikat sumpah prajurit.
Kasus ini bermula dari hasil penyelidikan yang dilakukan POM TNI terkait adanya dugaan penyimpangan yang dilakukan para pejabat di lingkungan TNI AU dalam proses pengadaan. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 224 miliar dari nilai proyek sebesar Rp 738 miliar. Ada lima tersangka dari pihak militer dan satu dari sipil yang ditangani KPK.
Lima tersangka dari militer tersebut adalah Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI AU Kolonel Kal FTS, Letnal Kolonel WW selaku pejabat pemegang kas, Marsma FA sebagai pejabat pembuat komitmen, Pelda S yang diduga menyalurkan aliran dana, dan Marsda SB sebagai Asrena KSAU.
”Untuk penanganan perkara ini, koordinasi dengan POM TNI masih dilakukan karena beberapa dari unsur TNI AU yang terlibat pada pengadaan berlangsung masih perlu dimintakan keterangan. Dari koordinasi terakhir ketika KSAU datang bertemu pimpinan, komitmen penanganan perkara ini masih kuat. Kami juga berharap komitmen Panglima TNI tetap kuat,” ujar Febri.
Dalam hal ini, KPK hanya menangani pihak sipil, yaitu Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh yang saat ini telah berstatus sebagai tersangka sejak 16 Juni 2017. Pihak militer merupakan tugas dari POM TNI.
Secara terpisah, dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan pentingnya pembentukan tim koneksitas. Dengan adanya tim ini, tidak ada alasan bagi kalangan militer untuk enggan memberikan keterangan dengan istilah rahasia militer seperti yang disampaikan mantan Kepala Staf Angkatan Udara Agus Supriatna seusai diperiksa KPK terkait pengadaan helikopter tersebut. Dengan demikian, KPK bisa melanjutkan perkara tanpa hambatan.
Ikuti proses hukum
Mabes TNI tetap akan melanjutkan investigasi kasus dugaan korupsi Helikopter AW 101 yang pengadaannya diduga dikorupsi.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Sabrar Fadhilah, Rabu (18/4/2018). Fadhilah mengatakan, hal ini merupakan komitmen Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk mengikuti aturan dan melanjutkan proses hukum terhadap dugaan korupsi pembelian helikopter TNI AU tersebut. ”Panglima TNI sudah menyatakan, TNI akan mengikuti aturan dan proses hukum,” kata Fadhilah.
Mengomentari pernyataan PPATK tentang ditemukannya aliran uang dari oknum militer dan sipil, Fadhilah mengatakan, penyidikan kasus tersebut tetap berjalan. Pihaknya masih menunggu hasil penyidikan di KPK, terutama keterangan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. ”Nanti akan kami tindak lanjuti kalau ternyata ada kaitannya dengan TNI,” kata Fadhilah.
Sebelumnya, KPK menyatakan masih menunggu koordinasi dengan TNI AU karena ada beberapa unsur TNI AU yang perlu dimintai keterangan. Terakhir, KPK memeriksa mantan KSAU Marsekal (purn) Agus Supriatna yang menolak memberi keterangan dengan alasan rahasia militer.