RUU Masyarakat Hukum Adat Tidak Bisa Mundur
Sekjen Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo (kiri) bersama Dirjen Bina Pemerintah Desa Nata Irawan dalam jumpa pers tentang RUU Masyarakat Hukum Adat, Senin (16/4/2018) di Jakarta.
Tak ada kata mundur untuk membahas Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. UU tersebut dibutuhkan untuk menyelesaikan kekisruhan.
JAKARTA, KOMPAS -- Undang-undang itu dibutuhkan karena merupakan mandat konstitusi. Hal itu ditegaskan oleh pendiri dan peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat Yando Zakaria, Senin (16/4/2018), saat dihubungi dari Jakarta.
Sementara itu Kementerian Dalam Negeri memastikan Rencana Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat akan dibahas di rapat terbatas. Perlu atau tidaknya UU itu belum bisa diputuskan.
Sekjen Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hadi Prabowo bersama Dirjen Bina Pemerintahan Desa (Dirjen Bina Pemdes) Nata Irawan, dalam jumpa persnya kemarin menjelaskan posisi Kementerian Dalam Negeri terkait Rencana Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA).
Dalam penjelasannya, mereka menegaskan, Kementerian Dalam Negeri tetap mendukung dan menindaklanjuti RUU MHA. Nata Irawan menggarisbawahi, "Yang harus kita pahami bersama adalah komitmen kementerian dalam negeri untuk mendukung apa yang menjadi kebijakan Presiden Joko Widodo."
Pada 11 April 2018, Menteri Dalam Negeri melalui surat bernomor 189/2257/SJ, perihal penyampaian Daftar Isian Masalah (DIM) RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) kepada Menteri Sekretaris Negara, menyebutkan RUU MHA belum merupakan kebutuhan konkret bagi masyarakat adat.
Disebutkan juga, RUU tersebut berpotensi menyebabkan konflik baru, membuka/menghidupkan kepercayaan yang belum diatur dalam kesatuan NKRI, dan akan memberikan beban yang sangat berat bagi APBN.
Tanggal 16 April 2016, Mendagri mengirimkan surat terkait RUU Masyarakat Hukum Adat. Di dalamnya ditegaskan bahwa Menteri Dalam Negeri mendukung dan melaksanakan kebijakan Presiden RI untuk penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Tentang rumusan DIM disebutkan akan ada beberapa pasal yang harus dihapuskan karena sangat bersifat teknis. Selain itu, terdapat beberapa pasal yang harus disesuaikan karena sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur.
"Memang ada yang kita hapus karena bersifat amat teknis, dan ada yang perlu kita harmonisasikan, Jadi ada yang perlu didiskusikan dengan kementerian dan lembaga yang terkait. Jangan menyimpulkan dalam DIM, bahwa semuanya harus setuju," tambah Nata Irawan.
Sementara, "Kalau ternyata ada kebutuhan, itu harus ada fakta-fakta," katanya.
Hasil DIM yang disampaikan tersebut merupakan hasil kajian enam kementerian/lembaga (K/L) yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rancangan UU MHA sudah diajukan sejak tahun 2012 dengan nama RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA). Namun hingga akhir tahun 2014 RUU tersebut tidak kunjung disahkan.
Lama tertunda
Menurut Yando, undang-undang tersebut telah menjadi komitmen Presiden Jokowi sehingga harus selesai tahun depan. Pada Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah ada upaya membuat undang-undang tersebut.
"Ini sudah terlalu lama tertunda. Jangan sampai seperti Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sampai akhirnya waktunya lewat untuk penyusunan RUU dan tidak berhasil. Kami tidak tahu proses politik yang terjadi," tambah Yando.
"Sangat terlambat, bahkan sudah sejak kemerdekaan dan dari janji Presiden Jokowi," tambahnya.
Menurut Yando, peluangnya ada pada masa sidang sekarang sampai akhir tahun. "Ini akan bagus karena di samping DPR, Dewan Pimpinan Daerah juga sedang menggodok RUU yang sama. Jadi berbagai komponen masyarakat sudah terlibat," katanya.
Peraturan yang sekarang berlaku mensyaratkan peraturan daerah tentang pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat adat sebelum mereka dapat mengajukan permohonan atas hak-hak mereka terkait wilayah adat, dan hak lainnya sebagai warga negara.
Sebelumnya, Rukka Sombolinggi, Sekretaris Pengurus Besar AMAN, menyatakan, kehadiran UU MHA menjadi jawaban terhadap persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi pemerintah dalam mengurus masyarakat adat. Selain itu, penetapan undang-undang ini menjamin kepastian hukum bagi masyarakat adat, pemerintah, dan dunia usaha. (Kompas, 16/11).