MRT dan LRT Beroperasi 2019, Kemacetan Ditentukan Warga Jakarta
JAKARTA, KOMPAS — Rampungnya pembangunan infrastruktur transportasi pada 2019 akan signifikan mengurangi kemacetan di Jakarta. Meski demikian, kondisi itu dapat terjadi apabila masyarakat Jakarta dan sekitarnya mau beralih menggunakan transportasi umum.
Setidaknya ada tiga proyek transportasi berbasis rel yang selesai pada 2018-2019. Pada Agustus 2018, kereta ringan atau light rail transit (LRT) Kelapa Gading-Velodrome mulai beroperasi.
Selain itu, pada pertengahan 2019, LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) tahap 1 akan mulai beroperasi. Rutenya antara lain, Cawang-Cibubur, Cawang-Dukuh Atas, dan Cawang-Bekasi Timur. Diikuti dengan mass rapid transit (MRT) yang juga akan melayani penumpang dengan rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia.
Sabtu (14/4/2018), di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyampaikan, kehadiran MRT dan LRT dapat menjadi solusi kemacetan. Warga Jakarta dan sekitarnya dapat memanfaatkan transportasi umum dan menjadikannya gaya hidup.
”Masyarakat bisa mulai menggunakan kendaraan berbasis rel. Itu akan mengurangi kemacetan. Sebab, kemacetan telah menimbulkan ketidakefisienan ekonomi mencapai Rp 100 triliun per tahun,” ucap Sandi dalam acara kerja sama OK OCE dengan perusahaan teknologi finansial Zahir Simply.
Sandi memperkirakan kehadiran MRT dan LRT membuat 50-60 persen warga Jakarta menggunakan transportasi umum. Bahkan, seiring waktu berjalan, dia yakin penggunaan mencapai 70-80 persen. Adapun saat ini hanya 20-30 persen warga Jakarta yang memanfaatkan transportasi umum.
Masyarakat bisa mulai menggunakan kendaraan berbasis rel. Itu akan mengurangi kemacetan. Sebab, kemacetan telah menimbulkan ketidakefisienan ekonomi mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Secara terpisah, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Karlo Manik lebih realistis. Dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), target penggunaan transportasi umum sebesar 40 persen pada 2019 dan 60 persen pada 2029.
”Sebenarnya pengguna transportasi umum hanya sekitar 20 persenan. Namun, kami yakin bisa di atas 30 persen nanti dalam kurang dari satu tahun. Sebab, kami melihat ada LRT dan MRT yang akan selesai,” kata Karlo.
Meskipun tidak bisa memperkirakan persenan kemacetan yang berkurang, Karlo menilai bertambahnya pengguna transportasi umum akan mengurangi kemacetan. Untuk itu, penggunaan transportasi umum terus didorong untuk menyelesaikan kemacetan parah di Jakarta.
Berdasarkan data BPTJ, pada kondisi pagi saat pergi kantor, hanya 9 persen yang dapat memacu kendaraan bermotornya dengan kecepatan rata-rata di atas 30 kilometer per jam. Sementara itu, pada sore hari, hanya 3 persen yang dapat memacu kendaraan dengan kecepatan itu.
Pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai, peningkatan kecepatan kendaraan di Jakarta bergantung pada peningkatan pengguna transportasi umum. ”Kalau pengguna transportasi umum bisa naik 20-30 persen, kemungkinan kecepatan rata-rata kendaraan bisa naik dari 20-30 km per jam saat ini menjadi 40-50 km per jam,” ujarnya.
Sulit berpindah
Tidak mudah, kata Karlo, untuk memindahkan warga menggunakan transportasi umum. Namun, hal itu harus terus didorong agar pengguna kendaraan pribadi berpindah.
”Siapa yang bisa mengalahkan kenyamanan dari mobil pribadi? Tidak ada. Namun, harus kita push, tentunya dengan menyediakan kendaraan umumnya juga,” ucapnya.
Hadirnya MRT dan LRT akan membuat warga memiliki alternatif transportasi yang lebih nyaman. Selain itu, integrasi antarmoda transportasi juga telah dikerjakan oleh BPTJ. Menurut rencana, akan ada 44 titik transit-oriented development (TOD) di seluruh Jabodetabek.
TOD akan memudahkan masyarakat berpindah transportasi. Salah satu TOD yang dalam proses pengerjaan adalah Stasiun Dukuh Atas. Stasiun itu direncanakan menjadi titik kumpul enam moda transportasi, yakni MRT, LRT Jabodetabek, kereta rel Listrik, kereta bandara, transjakarta, dan LRT Velodrome-Kelapa Gading.
Sementara itu, berdasarkan data BPTJ 2015, jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 31.077.315 jiwa dengan jumlah kendaraan bermotor sebanyak 24.897.391. Kendaraan bermotor tersebut terdiri dari 2 persen angkutan umum, 23 persen mobil pribadi, dan 75 persen sepeda motor.
Yayat mengucapkan, perlu biaya transportasi umum yang murah untuk memindahkan masyarakat dari kendaraan pribadi. Masyarakat tidak akan berpindah jika biaya kendaraan pribadi lebih murah dari transportasi umum.
”Misalnya, nanti harga MRT berapa? Bilang saja Rp 25.000, belum lagi dengan transportasi pengumpan atau penyambung lainnya. Sementara itu, kalau naik motor cukup membeli bensin dan bayar parkir,” kata Yayat.
Oleh karena itu, pemerintah provinsi harus memikirkan lebih lanjut untuk menyubsidi biaya MRT dan LRT. ”Pemerintah beraninya bantu berapa, itu harus dipikirkan. Atau sebaliknya, diberlakukan tarif tambahan untuk pengendara pribadi, seperti parkir dan pengaktifan electronic road pricing,” ucap Yayat.
Sebelumnya, pengamat transportasi Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, dari berbagai studi disebutkan biaya transportasi umum yang ideal seharusnya tidak melebih 15 persen dari pendapatan per bulan. Dengan kondisi upah minimum Provinsi DKI Jakarta pada 2018 sebesar Rp 3,6 juta, biaya transportasi seharusnya tidak lebih dari Rp 540.000.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai, perlu ada transportasi yang disediakan dari perumahan-perumahan warga. Hal itu akan mempermudah masyarakat menggunakan transportasi umum
”Sekarang perumahan-perumahan sangat jarang yang langsung ada transportasi umum. Padahal, ini sangat penting kalau mengharapkan masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi. Biasanya, mereka tidak suka yang repot-repot, apalagi untuk jalan jauh ke stasiun atau terminal,” tutur Djoko.