Interaksi Pembaca Meningkat dengan Fitur Media Sosial
Oleh
DD13
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Interaksi pembaca berita dengan media dapat semakin meningkat melalui fitur media sosial dan gim. Fenomena tersebut muncul akibat berubahnya narasi pemberitaan media daring dalam era digital ini.
International Knight Fellow untuk Indonesia dari International Center for Journalists (ICFJ) Antoine Laurent menyatakan, disrupsi digital menciptakan format baru dalam distribusi konten berita. Media sosial merupakan salah satu di antaranya.
”Hubungan pembaca dengan media akan semakin berkualitas ketika pembaca berinteraksi melalui fitur media sosial,” ujar Laurent, seusai menghadiri diskusi dengan tema ”Tantangan Profesionalisme Jurnalis di Tengah Disrupsi Digital” yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di Jakarta, Sabtu (14/4/2018). Adapun ICJF adalah organisasi jurnalis dari Washington, Amerika Serikat.
Ia mencontohkan, fitur respons, seperti tombol like dalam Facebook atau pemilihan (polling) dalam Instagram dan Twitter, dapat dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan pembaca. Media luar negeri, seperti The Guardian, dan BBC News, kerap mengadakan polling di media sosial sehingga dapat berinteraksi dengan pembaca.
Melalui fitur tersebut, terutama polling, perusahaan dapat mengetahui jumlah dan jenis pembaca berita. Namun, Laurent menilai, kebanyakan perusahaan media di Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan fitur-fitur itu.
”Padahal, pasar media sosial Indonesia sangat besar,” ucapnya. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 143,26 juta orang, meningkat dari 2016 yang sebanyak 132,7 juta orang.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), pengguna media sosial di daerah pedesaan mencapai 90,18 persen dan perkotaan 94,12 persen. Laurent juga menyebutkan, saat ini 75 persen orang Indonesia mengakses internet menggunakan ponsel pintar. Sisanya 20 persen menggunakan komputer dan 5 persen tablet.
Adapun metode pemberitaan baru yang juga mengundang interaksi dengan pembaca adalah gim berita digital. Laurent menjabarkan, terdapat sebuah aplikasi gim daring Bury Me, My Love berformat percakapan yang menceritakan tentang perjalanan pengungsi Suriah.
Aplikasi itu dibuat oleh mantan jurnalis, Florent Maurin, yang tinggal di Perancis. Pembaca dapat berbincang dengan karakter gim dan mengetahui perjuangan mereka.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika mengatakan, perubahan distribusi konten yang terjadi membuat pembaca menjadi lebih partisipatif. Semakin banyak juga teknik baru dalam pemberitaan konten guna menarik pembaca agar interaksi lebih optimal.
Misalnya, selain menggunakan teks, foto, dan video, The Washington Post dalam artikel ”The wounds they carry: For six teens at a Las Vegas high school, homecoming week started with a country music concert” menyelipkan rekaman suara dari narasumber.
Namun, terdapat dua hal lain yang juga terkena dampak, yaitu model bisnis dan proses produksi berita. Ia menyayangkan, semakin kreatifnya metode distribusi konten tidak diikuti dengan bertambahnya model pemberitaan.
”Mayoritas dari 2.000 media daring saat ini masih mementingkan kecepatan pengiriman suatu informasi dan jumlah pembaca yang mengakses. Era digital seharusnya membuat variasi model pemberitaan semakin banyak,” ujarnya.
Hal itu juga ia nilai merupakan salah satu faktor rendahnya literasi digital karena masih sedikitnya variasi model pemberitaan, seperti penekanan pada pemberitaan yang mendalam atau investigasi. Ia juga menyatakan, media dari negara di Amerika dan Eropa lebih memiliki keberagaman model pemberitaan.
Semakin banyak aduan
Sekretaris Jenderal AJI Revolusi Riza menyatakan, era digital membuat semakin banyak media daring bermunculan. Namun, dari sekitar 2.000 media daring yang ada, baru sekitar 200 media yang terverifikasi.
Ditambah lagi, angka pengaduan Dewan Pers terkait pemberitaan media daring naik dua tahun terakhir. Berdasarkan catatan AJI yang diolah dari Dewan Pers tahun 2017, terdapat 600 aduan pada 2017 dan 604 aduan tahun 2016.
”Angka itu tinggi karena, jika dibandingkan pada 2010-2012, jumlah berada di kisaran 144-176 aduan,” kata Revolusi. Aduan kebanyakan berkaitan dengan pelanggaran kode etik wartawan dan pemberitaan yang tidak berimbang.
Kendati demikian, jumlah aduan yang tinggi dinilai juga mencerminkan semakin sadarnya masyarakat untuk melaporkan permasalahan pemberitaan media kepada Dewan Pers, yang sebelumnya langsung ke kepolisian.