SEMARANG, KOMPAS — Kalangan ulama Partai Persatuan Pembangunan diharapkan mampu merumuskan dua hal penting yang lahir dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama se-Indonesia di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pertama, bagaimana hukum Islam menghadapi konstelasi politik yang diwarnai perilaku negatif memenangi pemilihan umum. Kedua, merumuskan kriteria pemimpin di daerah majemuk untuk kepentingan pemilu legislatif, kepala daerah, dan presiden.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP Romahurmuziy menegaskan, pada Munas PPP I, partai berlambang Ka’bah tersebut jelas mendukung kepemimimpinan Presiden Joko Widodo. Untuk Munas II ini, didukung oleh kalangan ulama, PPP ingin merumuskan secara tegas kriteria dan prasyarat kepemimpinan di masa mendatang.
”Rumusan soal kepemimpinan itu penting setelah kasus pilkada di DKI Jakarta. Persoalan yang berkembang di lapangan butuh kreteria tertentu, seperti calon kepala daerah non-Muslim di daerah yang mayoritas Muslim. Juga keberadaan calon legislatif Muslim di daerah non-Muslim. Begitu pula kombinasi keduanya untuk daerah majemuk. Ini harus menjadi rumusan fatwa ulama,” kata Romahurmuziy, Jumat (13/4/2018), sesaat setelah membuka Munas Alim Ulama PPP di Hotel Patrajasa, Kota Semarang.
Pada Munas Alim Ulama ini, hadir tak kurang dari 190 ulama, pengurus wilayah dan pengurus cabang PPP dari 34 provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Tampak di antaranya undangan yang hadir Ketua Majelis Syariah DPP PPP KH Maimoen Zubair dari Sarang, Rembang; Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Suharso Monoarfa; calon wakil gubernur Jateng, Taj Yasin; pimpinan dan pengurus DPP PPP; sejumlah anggota legislatif di DPR; serta anggota DPRD Jateng dan tokoh PPP dari sejumlah daerah.
Romahurmuziy mengatakan, para alim ulama di PPP tergerak untuk menuntaskan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat terkait kontestasi politik yang akhir-akhir ini justru sangat merugikan umat Islam. Ada unsur-unsur fitnah, ujaran kebencian, dan kabar palsu (hoaks) yang merebak di media sosial digunakan oleh lawan politik meski satu agama untuk kemenangan politik tertentu. Padahal, semua itu terjadi dalam bingkai agama yang sama, tetapi saling menjatuhkan dan menghancurkan.
Di tengah upaya membangun bangsa, melalui proses demokrasi yang terbuka ini, PPP ingin Indonesia membuka lembaran baru untuk kontestasi pemilihan umum, baik pemilihan presiden, legislatif, ataupun kepala daerah yang penuh martabat. Tentunya kemenangan bermartabat itu perlu diraih dengan elegan, menekan ujaran kebencian, tidak menebar kebencian lewat isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Ketika ditanya terkait keinginan kader dan pengurus PPP mendorong dirinya mendampingi Presiden Joko Widodo sebagai calon Wakil Presiden pada Pemilu Presiden 2019, Gus Romi, panggilan akrab Romahurmuziy, mengemukakan, dirinya tidak punya hak untuk menonjolkan diri. Terlebih lagi, PPP merupakan partai politik didirikan oleh para kiai dan para ulama, dibesarkan oleh ulama dan para pengasuh pondok pesantren, dengan pengorbanan besar. Untuk itu, hal semacam itu tentu dikembalikan pada fatwa ulama di partai ini.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP Achmad Baidowi menjelaskan, kehadiran para alim ulama di kalangan PPP sangat penting. Tidak hanya topik yang dibahas mengenai penguatan nilai-nilai kebangsaan dalam lingkup fikih Islam, tetapi musyawarah kali ini juga menguatkan bahwa PPP sampai kapan pun sangat menghormati dan pro-ulama.
Ada tudingan sebelumnya PPP sudah tidak pro-ulama. Untuk itu, melalui musyawarah ulama ini, PPP ingin citranya sebagai partainya para ulama kembali menguat. ”Hasil dari munas ini diharapkan bisa menjadi fatwa yang harus ditaati oleh semua kader dan pengurus PPP. Hasil ini juga kami sampaikan kepada pemerintah,” ujar Baidowi.