Saksi: Terdakwa Berpaham Aparat Harus Diperangi
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu paham yang dianut terdakwa kasus bom Thamrin dan Kampung Melayu, Jakarta, ialah aparat kepolisian dan tentara harus diperangi. Pemahaman ini menjadi motivasi aksi teror di kedua tempat tersebut.
Selain itu, terdakwa Aman Abdurrahman alias Oman Rochman juga disebut sebagai pemimpin sayap Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Indonesia.
Fakta itu muncul dalam sidang lanjutan kasus bom di Jalan MH Thamrin tahun 2016 dan di Kampung Melayu tahun 2017 dengan terdakwa Aman Abdurrahman, yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (3/4/2018).
Agenda sidang kali ini menghadirkan saksi-saksi, termasuk Kurnia Widodo, eks terpidana terorisme bom Cibiru, Bandung, pada 2010.
Aman didakwa sebagai dalang serangan teror bom di Jalan MH Thamrin pada 14 Januari 2016 dan Terminal Kampung Melayu pada 24 Mei 2017. Dalam dua serangan itu, pos polisi menjadi target.
Dalam sidang lanjutan kasus bom Thamrin dan Kampung Melayu, Akmad Jaini bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim. Ia didampingi tiga hakim anggota, yakni Irwan, Aris Bawono Langgeng, dan Ratmoho.
Kepada majelis hakim, saksi Kurnia mengaku mengenal terdakwa Aman Abdurrahman alias Oman Rochman. Ia pernah mengikuti pengajian yang dibawakan Aman pada 2006 di Masjid As-Sunah, Cileunyi, Bandung.
Kurnia juga pernah ditahan bersama Aman dalam satu blok yang sama di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, pada 2011.
Kurnia mengatakan pernah sepaham dengan terdakwa yang menentang sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia karena dibuat manusia. Akhmad bertanya, ”Apakah yang tidak sealiran perlu diperangi dalam pemahaman itu?”
”Ya. Contohnya, polisi dan tentara yang harus dilawan,” jawab Kurnia.
Dalam sesi yang berbeda, salah seorang anggota jaksa penuntut umum bertanya kepada Kurnia, ”Adakah yang berbeda dari pemahaman terdakwa yang disampaikan melalui tulisan-tulisan sejak 2006 hingga sekarang?”
”Saya membuka kajian terbaru pada 2017. Saat ini, menurut terdakwa dalam kajiannya, pegawai negeri sipil termasuk dalam golongan kafir,” kata Kurnia.
Pemahaman tersebut, menurut Kurnia, menjadi motif aksi terorisme di Thamrin dan Kampung Melayu. ”Sekarang (aksi-aksi terorisme) itu mengarah ke penyerangan kepada aparat,” ujarnya.
Kurnia mengenal empat terdakwa dan terpidana peristiwa terorisme di sejumlah daerah, antara lain Jalan MH Thamrin dan Kampung Melayu. Dia mengenal mereka pertama kali saat mengikuti ceramah terdakwa Aman pada 2006.
Beberapa di antara mereka juga sering mengadakan pertemuan dengan terdakwa Aman saat ditahan di LP Cipinang. Menurut Kurnia, hubungan Aman dengan mereka seperti guru dan murid, dengan Aman sebagai guru.
Hakim Aris mengonfirmasi kepada Kurnia, ”Jadi, penyerangan yang dilakukan mereka ini sesuai dengan ajaran terdakwa Aman?”
”Ya, itu sesuai dengan ajaran terdakwa Aman,” jawab Kurnia.
Di dalam sidang, Kurnia berpendapat, paham Aman menjadi referensi sejumlah kelompok terorisme karena Aman menerjemahkan tulisan-tulisan ulama yang ahli dalam jihad.
Hal itu dilihat sebagai nilai jual pemahaman Aman. Aman juga dianggap berani untuk tetap menyampaikan pemahamannya meskipun berada di dalam penjara.
Pemimpin NIIS
Ketika bersaksi, Kurnia juga mengatakan pernah mendengar isu yang menyatakan Aman sebagai pemimpin sayap NIIS di Indonesia.
Hakim Ratmoho bertanya, ”Siapa saja yang mengakui terdakwa Aman sebagai petinggi NIIS di Indonesia?”
”Saya tidak tahu karena hanya mendengar dari beberapa ikhwan. Tetapi, fatwa-fatwa Aman didengarkan,” jawab Kurnia.
Paham-paham Aman tidak hanya didengarkan, tetapi juga menjadi referensi. Kurnia menambahkan, dirinya juga mendengar, Abu Bakar Ba’asyir berpihak kepada NIIS karena dipengaruhi oleh Aman.
Saat Akhmad memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menanggapi, Aman menyangkal dengan mengatakan dirinya bukan pemimpin sayap NIIS di Indonesia. ”Tetapi, kalau ada yang merujuk ilmu pada saya, itu saya akui,” ujar Aman.
Aman juga menyanggah dirinya memengaruhi Abu Bakar Ba’asyir. Dia menyatakan tidak pernah berinteraksi dengan Ba’asyir.
Dimusuhi
Saat ini, Kurnia sudah bebas dari penjara. Hakim Akhmad bertanya, ”Apakah sekarang pemikiran Anda masih sama?”
”Saya sudah tidak memiliki paham seperti dulu,” jawab Kurnia.
Sejak pemahamannya berubah, Kurnia menceritakan, dirinya dimusuhi oleh kelompok yang sealiran dengan terdakwa Aman. Bahkan, saat masih di LP Cipinang, dia pernah menerima tindak kekerasan karena pemahamannya sudah berubah.
Selepas dari tahanan, Kurnia bergabung dengan tim perdamaian yang bergerak di bidang terorisme. ”Saya bertemu dengan keluarga korban terorisme dan mendengarkan kisah mereka. Dari sanalah empati saya tumbuh,” lanjutnya.
Terkait perubahan pemahaman Kurnia, Hakim Ratmoho bertanya, ”Seperti apa ajaran sebenarnya?”
”Agama saya tidak menentang demokrasi. Itu tertuang dalam sifat musyawarah yang diajarkan dalam agama,” katanya.
Menurut Kurnia, pemahaman terdakwa Aman tidak logis, sesat, dan berbahaya. Dalam sidang, Kurnia menertawakan dirinya sendiri saat mengingat-ingat dirinya yang memiliki paham seperti terdakwa Aman.