PALU, KOMPAS — DPR didesak segera merampungkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah dibahas tiga tahun terakhir. Revisi tersebut penting untuk mengakomodasi berbagai perkembangan, termasuk soal televisi digital dan penguatan Komisi Penyiaran Indonesia di daerah.
Hal itu mengemuka dalam seminar Rapat Koordinasi Nasional Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2018 di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (2/4/2018). Narasumber dalam seminar tersebut adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Wakil Ketua Komisi I DPR Asril Hamzah Tandjung, serta pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie.
Rudiantara mengatakan, pemerintah sangat mengharapkan DPR segera menyelesaikan revisi UU Penyiaran. ”Namun, karena merupakan inisiatif DPR, kami hargai proses yang terjadi.
Ada wacana pemerintah untuk ambil alih karena sudah tiga tahun dibahas, tetapi kami harus berkoordinasi lebih dulu. Dari segi kesiapan, kami punya draf yang berisi substansi revisi,” katanya.
Selain pengelolaan frekuensi antara single mux dan multimux, isu penting lain yang dibahas dalam revisi menyangkut siaran digital dan penguatan KPI di daerah. Dengan sistem single mux, frekuensi dipegang oleh negara. Adapun pada multimux, swasta terlibat dalam penguasaan frekuensi.
Penguatan KPI
Sistem digital memungkinkan audiens menyaksikan siaran, dalam hal ini televisi, dengan gambar dan suara jernih. Sementara penguatan KPI daerah dimaksudkan agar optimal bekerja mengawasi konten penyiaran. Status KPI daerah selama ini otonom dari KPI pusat. Ini menyulitkan koordinasi pengawasan, selain masalah anggaran yang sangat bergantung pada hibah pemerintah provinsi.
Jimly mengatakan, isu-isu substansial tersebut menjadi keharusan di tengah terus berkembangnya pasar media penyiaran. ”Tetapi, faktanya instrumen untuk itu, yakni revisi UU Penyiaran, mandek. Ini hambatan besar. Semua pihak harus mendorong agar ada kemajuan pembahasan,” katanya.
Jimly bahkan setuju pemerintah mengambil alih pembahasan. Artinya, revisi tersebut menjadi inisiatif pemerintah. Ia ragu revisi tersebut bisa selesai pada 2018 dan 2019 kalau masih berada di tangan DPR karena kesibukan terkait pilkada, pemilu, dan pilpres.
Terkait masalah frekuensi, Jimly menegaskan, negara harus menguasainya (single mux) karena frekuensi adalah milik publik. Sementara itu, mandeknya pembahasan revisi UU Penyiaran diakui Asril Hamzah Tandjung. Namun, ia menegaskan, Komisi I sudah menyerahkan hasil revisi ke Badan Legislasi DPR untuk sinkronisasi.
Tentang apa kendala sehingga pembahasan mandek, Asril menyebutkan kemungkinan ada intervensi dari luar. Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut intervensi dimaksud.
Asril menyampaikan, Komisi I menghendaki negara memegang kendali frekuensi (single mux). Namun, pihak swasta tetap diberikan peluang untuk hak pengelolaan.
Terkait kemungkinan pemerintah mengambil alih pembahasan revisi UU Penyiaran, Asril menanggapi pemerintah tak berniat mengambil alih, tetapi membantu mempercepat pembahasan. Ia tetap optimistis revisi selesai tahun ini.
Menurut Ketua KPI Yuliandre Darwis, revisi UU Penyiaran merupakan kebutuhan untuk menjawab kondisi saat ini.
Sementara itu, Moeldoko berharap KPI optimal mengawasi konten penyiaran. Pengawasan konten terutama dalam konteks persatuan-kesatuan NKRI di tengah penyebaran informasi yang sangat cepat saat ini. Informasi kadang berisi hal-hal negatif, seperti fitnah, hoaks, dan provokasi.