JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah daerah dianggap memiliki peran krusial untuk merangkul mantan narapidana terorisme yang telah kembali ke lingkungan sosial. Kurangnya perhatian dari pemda tidak hanya merampas hak para mantan narapidana kasus teror sebagai warga negara, tetapi juga menutup ruang integrasi mereka dengan masyarakat.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie menuturkan, upaya pembinaan narapidana terorisme di dalam lembaga pemasyarakatan (LP) dan pasca keluar LP tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, terutama melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebab, BNPT tidak memiliki “kaki” di daerah yang dapat memastikan seluruh program pembinaan deradikalisasi efektif berjalan bagi mantan napi terorisme dan keluarganya.
Oleh karena itu, Taufik menekankan, perlunya peran pemda yang memiliki aparat hingga ke desa atau kelurahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, termasuk eks napi terorisme di lingkungan sosial. Tugas utama pemda, lanjutnya, ialah untuk memastikan mereka mendapat hak warga negara, seperti diberi kemudahan mengurus administrasi kependudukan. Dokumen kependudukan itu menjadi syarat awal bagi eks napi terorisme untuk mendapatkan kesempatan kedua di masyarakat, misalnya untuk mendapatkan pekerjaan layak serta memberikan jaminan kesehatan dan pendidikan kepada anak.
“Selama ini peran pemda masih minimal. Padahal, ratusan eks napi terorisme memerlukan perhatian dan dukungan pemda, mulai dari hal kecil, yakni memberikan administrasi kependudukan yang sulit mereka peroleh pasca keluar penjara,” kata Taufik, Rabu (28/3), di Jakarta.
Peran pemda masih minimal. Padahal, ratusan eks napi terorisme memerlukan perhatian dan dukungan pemda, mulai dari hal kecil, yakni memberikan administrasi kependudukan yang sulit mereka peroleh pasca keluar penjara
Perhatian pemda, tambahnya, juga menjadi faktor penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum agar dapat menerima keberadaan mantan napi terorisme di lingkungan. Taufik menjelaskan, penerimaan dari masyarakat juga menjadi poin penting lainnya untuk mengeluarkan mantan napi terorisme dari kelompok teroris yang bersifat ekslusif.
“Masyarakat juga perlu menerima sosialisasi dan kampanye terus-menerus. Tujuannya, agar masyarakat bersedia memberikan kesempatan kedua dan merangkul mantan napi terorisme kembali ke komunitas sosialnya,” ujarnya.
Menurut mantan napi terorisme, Arifuddin Lako, proses integrasi dengan lingkungan sosial pasca menyelesaikan masa hukuman penjara merupakan fase sulit. Masyarakat, lanjutnya, masih sulit menerima keberadaan mantan napi terorisme di tengah-tengah mereka.
“Padahal penerimaan baik dari masyarakat akan memicu para mantan napi terorisme untuk tidak mengulangi perbuatannya,” tutur Arifuddin yang merupakan mantan anggota Jamaah Islamiyah di Poso, Sulawesi Tengah. Ia telah menyelesaikan hukuman penjara pasca divonis 8,5 tahun penjara pada 2010 akibat membunuh seorang jaksa.
Kembali radikal
Secara terpisah, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengungkapkan, terdapat sekitar 600 mantan napi terorisme yang telah menghirup udara bebas. Ia pun berharap pemda memberi perhatian kepada mantan teroris di wilayah, sebab pemda memiliki akses langsung untuk bersinggungan dengan mereka.
Tidak hanya bantuan untuk mempermudah pengurusan administrasi kependudukan, pemda juga diharapkan membantu ekonomi keluarga mantan terorisme yang mayoritas tidak memiliki pendapatan tetap. Untuk itu, Suhardi menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan data keberadaan seluruh mantan napi terorisme, sehingga pemda masing-masing bisa memberikan perhatian.
“Kami berharap agar mereka (mantan napi terorisme) diperhatikan, jangan dimarjinalkan. Kalau dimarjinalkan di lingkungan sosial, maka mereka berpotensi kembali ke ideologi radikal,” ujarnya.
Dampak dari tidak pedulinya pemda dan masyarakat, Suhardi menuturkan, menjadi penyebab residivis terorisme untuk terlibat lagi dalam kelompok teroris, misalnya dalam aksi bom Thamrin (Jakarta), bom panci Cicendo, Bandung (Jawa Barat), serta bom Samarinda (Kalimantan Timur).