JAKARTA, KOMPAS -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berjanji akan meminta agar analisa jender masuk ke dalam dokumen analisa mengenai dampak lingkungan. Selain itu, hak pengelolaan pada program perhutanan sosial akan didorong untuk diberikan kepada perempuan kepala keluarga.
Sementara sebagai pendasaran pengarusutamaan jender dalam isu lingkungan, akan segera disusun konsep “ibu bumi” dalam memandang lanskap alam. Siti Nurbaya menegaskan janji-janji tersebut di hadapan sekitar 100 orang perwakilan perempuan dalam acara diskusi “Perempuan Pejuang Keadilan Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” di Jakarta, Rabu (28/3).
Saat ini, kata Siti, Kementerian LHK juga sedang meneliti amdal (analisa mengenai dampak lingkungan), “Amdal yang konyol-konyolan juga banyak. Ini akan menjadi PR kami untuk memasukkan analisis jender dalam amdal,” kataSiti.
Untuk menyusun konsep íbu bumi, Siti mengajak semua yang hadir, “Mari kita bersama-sama kerjakan.”
Menurut Siti, sudah waktunya Indonesia memasukkan konsep ibu bumi sebagai landasan kebijakan lingkungan hidup. Dalam melihat lanskap, katanya, konsep seperti itu merupakan kearifan lokal yang ternyata ada nyaris di seluruh daerah.
“Kita perlu menuliskan kearifan lokal tentang bagaimana melihat bumi dalam kultur Indonesia,” ujar Siti.
Dalam sambutannya, Siti menyebut sejumlah contoh dari berbagai suku bangsa dan kelompok masyarakat bagaimana dalam kultur mereka, bumi atau lanskap bumi diasosiasikan tentan perempuang, tentang dasar kultural dalam melihat bumi.
“Lanskap itu memiliki sejarah sosial, merupakan suksesi terstruktur, budaya manusia, dan sejarah evolusi sosial,”ujarnya.
Tentang perhutanan sosial, diperkirakan hingga akhir tahun 2019 baru sekitar 4,3 juta hektar bisa diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat. Alokasi keseluruhan untuk perhutanan sosial sekitar 12,7 juta hektar.
Perjuangan berlapis
Dalam kesempatan tersebut, para perempuan pejuang dari Aceh hingga Papua berkumpul dan memberikan kesaksian akan permasalahan yang mereka hadapi di depan Siti Nurbaya, anggota DPR Komisi VII Ari Yusnita (DPR-Dapil Kaltim), dan Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu.
Pada kesempatan tersebut, salah satu peneliti dari Sajogyo Institute, Siti Maimunah, menekankan, para perempuan tersebut melakukan perjuangan secara berlapis.
“Mereka berjuang berlapis. Mereka berjuang dalam kekurangan, yaitu kekurangan karena adat yang mengekang dan karena kurangnya pendidikan. (pertama-tama) Mereka berjuang untuk menyuarakan dirinya agar dianggap setara,” kata Maimunah.
Dalam kondisi seperti itu, dia mempertanyakan, “Lalu afirmasi seperti apa yang diperlukan?” Dia mengusulkan agar dapat dibuka jalur khusus hotline untuk laporan yang datang dari perempuan. Dia juga menekankan agar masalah perempuan menjadi salah satu indikator dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi pembangunan.
Nur Amalia, staf khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menekankan perlunya basis data kondisi perempuan yang jelas serta peta jalan yang jelas. “Agar pengarusutamaan jender bisa diukur dalam konteks tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB). Dengan data yang jelas maka pengawasan dan evaluasi mendatang bisa jelas,”ujar Nur Amalia.
Dalam penyampaian kesaksian antara lain dilaporkan tentang persoalan konflik yang muncul di lapangan karena perusahaan masuk ke kawasan hutan, persoalan perhutanan sosial, hutan adat, dan masalah penguatan kapasitas perempuan.