Becermin pada Rumah Sakit Apung
Pertengahan Agustus 2017, tiga kepala daerah terpencil mengeluh, angka kematian ibu dan anak di daerah mereka tinggi karena langkanya pelayanan kesehatan. Bagi mereka, Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga atau PIS-PK yang diluncurkan pemerintah tak lebih dari angin sorga semata.
Salah satu di antara kepala daerah itu adalah Bupati Kepulauan Sangihe, Jabes Gaghana. Dari 30 pulau berpenghuni di wilayahnya hanya ada 15 orang dokter umum. Untuk mendapatkan layanan kesehatan seringkali warganya harus menyeberang lautan selama berjam-jam menuju rumah sakit di ibu kota kabupaten, Tahuna.
Sementara di Maluku, 14 orang dokter harus melayani sekitar 100.000 jiwa penduduk. Idealnya, mereka dilayani setidaknya oleh 40 dokter. Warga di Kecamatan Aru Selatan Timur, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku misalnya, harus menempuh perjalanan dengan kapal motor nelayan lebih dari 12 jam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Dobo, ibu kota kabupaten.
Bagi warga yang tinggal di kawasan Indonesia bagian timur, dengan kondisi geografis yang terdiri dari banyak pulau di antara dominasi perairan, pelayanan kesehatan bisa diberikan dengan rumah sakit apung (RSA). Salah satu rumah sakit apung yang telah beroperasi sejak tahun 2013 adalah kapal RSA dr Lie Dharmawan.
Sejak beroperasi sampai sekarang, ribuan warga telah merasakan manfaat “mampirnya” RSA dr Lie Dharmawan ke kampung mereka. Namun apa yang dilakukan para dokter dan paramedis itu seringkali luput dari pemberitaan yang hingar bingar. Kalah dengan hiruk pikuk pilkada dan nafsu sebagian politisi yang dengan segala daya berusaha meraih kekuasaan.
Padahal para dokter dan tenaga medis itu sungguh-sungguh menjalankan amanat kemanusiaan. Tak seperti koruptor yang tega mencuri uang rakyat untuk hidup bermewah-mewah, para dokter dan tenaga kesehatan itu berjuang di tengah gelombang perairan berusaha memberi pelayanan kepada warga di daerah terpencil. Upaya mereka meningkatkan kesehatan sesama anak bangsa, itulah kebahagiaan sejati.
Kapal bocor
Berita tentang kegiatan RSA dr Lie Dharmawan antara lain muncul saat kapal itu mogok dan bocor di tengah perairan Kecamatan Batang Dua, Kota Ternate, Maluku Utara, Juli 2017. Misi pengobatan ke pulau-pulau terpencil menjadi terhambat, dan awak kapal diselamatkan kapal Tiongkok MV Great Song.
Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, dan 17 orang dokter berhasil dievakuasi. Namun bertahun-tahun kegiatan mereka memberi pelayanan kesehatan untuk warga di daerah terpencil seringkali terlewatkan dalam berita. Mereka tak peduli, karena hakikat pengabdian yang tulus menjadi landasannya. Bukan seperti sebagian politisi dan pejabat yang berusaha memegang kekuasaan demi menumpuk kekayaan bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya.
RSA dr Lie Dharmawan pertama kali melayani warga di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada 16 Maret 2013. Setelah itu mereka berlayar dan melayani kesehatan warga di Belitung Timur, Bangka Belitung, dan Ketapang, Kalimantan Barat. Sampai pertengahan 2017 lebih dari 20 propinsi sudah disinggahi RSA dr Lie Dharmawan, dan ribuan orang pun mendapat pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan seperti yang diberikan RSA dr Lie Dharmawan, sebenarnya menjadi kebutuhan Indonesia sebagai bangsa maritim. Kondisi ini sesungguhnya sudah disadari pemerintah setidaknya sejak tahun 1970-an.
Harian Kompas yang terbit 23 Maret 1972 atau 46 tahun lalu, antara lain memuat berita berjudul “Poliklinik Terapung di Seluruh Kalbar”. Poliklinik terapung yang digerakkan tenaga motor itu diberi nama Kapuas VII. Kapal khas Kalimantan Barat (Kalbar) yang bagian atasnya berupa rumah dan bawahnya tongkang itu digunakan sebagai klinik untuk melayani warga di daerah perhuluan Kabupaten Kapuas Hulu.
Sebelumnya, awal Maret 1972 poliklinik terapung yang diberi nama Kutai juga dioperasikan untuk warga di sepanjang sungai Mahakam, Kalimantan Timur (Kaltim). Poliklinik terapung Kutai yang dibuat dengan biaya Rp 1.730.000, merupakan patungan antara pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Kutai dan Dinas Kesehatan Propinsi Kaltim.
Selain itu, Ditjen Perhubungan Laut (Perla) juga memiliki poliklinik terapung Mandalika. Salah satu tugas kemanusiaan yang pernah dijalankan Mandalika adalah ke perbatasan Timor pada 1975.
Jauh sebelumnya, tahun 1968 Indonesia menerima sumbangan kapal rumah sakit dari Jerman. Kapal seharga Rp 136 juta itu secara resmi diserahkan Pemerintah Jerman kepada Pemerintah Indonesia pada 5 Agustus 1968. Kapal dengan berat 135 ton dan panjang 35 meter (m) itu antara lain dilengkapi peralatan untuk pengobatan gigi, kamar bedah, rontgen, dan laboratorium. Kapal rumah sakit yang diberi nama Palwa Nirmala ini, tugas pertamanya di perairan kepulauan Maluku yang terdiri dari sekitar 900 pulau.
Kalimantan
Sejak lama sungai menjadi sumber air sekaligus urat nadi transportasi di Kalimantan. Ironisnya, perkembangan industri juga mengakibatkan air sungai tercemar. Sungai Mahakam misalnya, tercemar antara lain karena limbah rumah tangga dan industri. Padahal aliran air yang sama digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga angka penderita diare di kalangan warga setempat relatif tinggi.
Diare menjadi penyakit endemik di Kaltim. Survei tahun 1990 menunjukkan, diare pada anak usia balita mencapai 41,09 persen. Untuk mengatasi masalah kesehatan warga Kaltim, sempat muncul berita kapal rumah sakit Sendawar akan menyusuri sungai Mahakam demi mendekatkan pelayanan kesehatan bagi warga di daerah pedalaman Kalimantan.
Kapal rumah sakit Sendawar dibuat di Tenggarong, Kutai dengan biaya sekitar Rp 550 juta. Kapal dengan panjang 33 m dan lebar 7 m itu bertingkat tiga, dilengkapi generator serta bermesin 280 PK. Kapal rumah sakit Sendawar juga dilengkapi antara lain ruang bedah, rontgen, laboratorium, ruang periksa dan apotek.
Tak jelas apakah kapal rumah sakit Sendawar sempat beroperasi. Namun Kompas, 17 Februari 1995 mencatat tentang diresmikannya Rumah Sakit Terapung (RST) dr Soewondo untuk melayani kesehatan warga di pedalaman Kaltim. Untuk kapal dan perlengkapan peralatan medisnya, Pemda Kabupaten Kutai mengeluarkan dana dari APBD sekitar Rp 1 miliar. Sedangkan biaya operasional RST dr Soewondo setiap bulan sekitar Rp 220 juta.
RST dr Soewondo bertugas menyusuri sungai Mahakam. Sebelum kapal tiba, warga yang memerlukan pelayanan kesehatan berkumpul di tempat-tempat yang sudah disepakati bersama. Hal ini dilakukan agar pelayanan bisa menjangkau lebih banyak warga. Setidaknya setiap tiga bulan sekali RST dr Soewondo akan kembali ke tempat semula.
Persoalannya, apakah warga yang sakit bisa menunggu tiga bulan, sampai RST dr Soewondo kembali bersandar di kampung mereka? “Kami menaruh harapan besar pada RST dr Soewondo. Mudah-mudahan Pemda Kutai konsisten terus menyediakan dana operasional yang cukup besar,” kata Drs Firminus Kunum, pengurus Persekutuan Dayak Kalimantan Timur atau PDKT.
Nama dr Soewondo diabadikan di rumah sakit terapung tersebut, karena almarhum pada tahun 1938 mengabdikan diri bagi masyarakat pedalaman Kaltim. Soewondo tinggal di Longiram, sekitar 450 km dari Samarinda. Ketika itu perjalanan dari Samarinda ke Longiram bisa berminggu-minggu.
Krisis ekonomi
Krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998 dan disusul berakhirnya era Orde Baru (Orba) memengaruhi kegiatan RST dr Soewondo. Rumah sakit terapung dengan 5 orang dokter ini kesulitan dana sehingga tak bisa beroperasi. Untuk melayani ribuan warga di tujuh kecamatan, dalam sekali pelayaran selama seminggu diperlukan sekitar Rp 75 juta.
Baru pada 1999 RST dr Soewondo kembali melayani warga di pedalaman Kutai. Namun dua tahun kemudian, seiring dengan pemekaran Kabupaten Kutai menjadi tiga bagian (Kabupaten Kutai, Kutai Barat dan Kutai Timur), muncul wacana memberhentikan pelayanan kesehatan dengan RST dr Soewondo.
Pemekaran kabupaten itu berdampak pada pelayanan masyarakat, karena masing-masing kabupaten tak bisa bekerja sama untuk memanfaatkan RST dr Soewondo bagi warga yang wilayahnya dikelola oleh masing-masing bupati. Padahal warga di Kutai Barat misalnya, masih mengharapkan pelayanan kesehatan dari RST dr Soewondo.
Tahun 2001 Kapal itu dibiarkan “nongkrong”, dan peralatan kesehatan yang menunjang kerja para dokter dipindahkan ke sejumlah puskesmas di Kabupaten Kutai. Puskesmas apung yang kemudian melayani kesehatan warga Kutai Barat sejak 2008 ini, nasibnya pun serupa. Tahun 2018 puskesmas apung itu tak lagi beroperasi karena tingginya biaya yang diperlukan.
Di sisi lain, mulai tahun 2016 Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu, kabupaten pemekaran dari Kutai Barat, mengoperasikan dua perahu cepat sebagai puskesmas apung. Satu perahu untuk mengangkut 15 orang tenaga medis, dan perahu lainnya diisi dengan peralatan medis dan obat-obatan.
Satu tim berkeliling di hulu sungai Mahakam yang panjangnya sekitar 920 km selama 10-14 hari dalam sebulan. Setiap kali mengarungi sungai, satu perahu menghabiskan sekitar 400 liter solar. “Tim medis ini mengunjungi kampung-kampung untuk memberi pelayanan kesehatan dan penyuluhan,” kata Agustinus Teguh Santoso, Kepala Dinas Kesehatan Mahakam Ulu.
KRI dr Soeharso
Indonesia juga memiliki kapal bantu rumah sakit (BRS) dengan nama KRI dr Soeharso. Kapal dengan panjang 122 m dan lebar 22 m ini, dalam keadaan darurat bisa menyediakan sampai 400 tempat tidur lipat. KRI dr Soeharso juga dilengkapi antara lain dengan unit gawat darurat (UGD), kamar operasi, poliklinik anak, gigi, mata, telinga hidung tenggorokan (THT), saraf, apotek, kamar jenazah dan ruang rontgen.
KRI dr Soeharso yang diresmikan penggunaannya pada 2007 ini, antara lain berjasa dalam menangani para korban gempa di Padang, Sumatera Barat yang terjadi tahun 2009. KRI dr Soeharso diperkuat 11 dokter dengan berbagai keahlian, 64 orang tim medis, dan 126 orang anak buah kapal.
KRI dr Soeharso kembali menjalankan misi kemanusiaan dan pelayanan kesehatan saat Kalimantan Tengah (Kalteng) berselimut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan di sejumlah tempat, termasuk kota Palangkaraya pada Oktober 2015. Kali ini tak kurang dari 28 orang tenaga medis dilibatkan, di antaranya dokter spesialis paru, dokter gigi dan bidan.
Dari Kalteng, KRI dr Soeharso berlayar ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Di sini, bersama KRI Banda Aceh dan KRI Teluk Jakarta, KRI dr Soeharso menjadi tempat evakuasi warga yang menjadi korban asap. Berbagai penyakit yang muncul, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pun mereka tangani.
Pada keadaan “tenang” KRI dr Soeharso memberi pelayanan kesehatan bagi warga di pulau terluar dan terpencil. Kompas, 5 September 2009 mencatat, dalam kegiatan Bhakti TNI Terpadu 2009 misalnya, mereka memberi pelayanan kesehatan di kota Tahuna, Pulau Kawaluso, Pulau Marore, Pulau Miangas, dan Pulau Marampit, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Dokter dan tenaga medis di rumah sakit apung ini harus mampu melakukan tugas, meski kapal dihajar ombak hingga setinggi sekitar 4 m. Sebagai tanda terima kasih, warga setempat membekali awak kapal dan tenaga medis KRI dr Soeharso dengan hasil bumi seperti pisang, kelapa, kedondong sampai tanaman anggrek.
KRI dr Soeharso juga menjadi “wajah” bangsa Indonesia saat menjalankan misi kemanusiaan di negara lain. Pada 2016 misalnya, KRI dr Soeharso merapat di Pelabuhan Dili, Timor Leste. Pelayanan kesehatan diberikan oleh 400 personel KRI dr Soeharso untuk 1.500 warga Timor Leste.
Solidaritas
Rumah sakit apung atau RSA juga berjasa saat gempa bumi dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akhir Desember 2004. Operasi Bantuan Kemanusiaan Tentara Jerman dengan kapal perang FGS Berlin yang dikhususkan untuk RST turut membantu menangani korban.
Solidaritas kemanusiaan juga ditunjukkan kapal RSA USNS Mercy dari Amerika Serikat (AS) yang berlabuh di Aceh awal Februari 2005. Mercy menggantikan kapal induk USS Abraham Lincoln yang tiba di Aceh pada 1 Januari 2005 dan telah merawat sekitar 2.200 pasien korban tsunami.
Ketika bencana datang, USS Abraham Lincoln dengan 5.300 personel sedang berada di Hongkong dan bersiap-siap kembali ke AS untuk liburan Natal. Tsunami membuat mereka berganti haluan, menuju Aceh untuk tugas kemanusiaan. Mercy menggantikannya dengan lebih dari 40 dokter, lebih dari 100 perawat serta lebih dari 100 petugas lainnya untuk membantu para korban.
Berbagai pelayanan kesehatan pun dilakukan, seperti menangani abses pada luka, luka bakar, paru-paru yang penuh air, pneumonia, kasus-kasus trauma, gangguan jantung, operasi usus buntu, bedah saraf sampai operasi tumor. Mercy juga memberi pelayanan kesehatan bagi warga Nias, Sumatera Utara yang menjadi korban gempa pada 2005.
Mercy adalah salah satu dari dua RSA milik Angkatan Laut AS yang biasanya berlabuh di San Diego. Kapal RSA lainnya, USNS Comfort berlabuh di Baltimore. Mercy mulai beroperasi pada 8 November 1986.
Tak beda dengan rumah sakit di daratan, Mercy dilengkapi antara lain dengan peralatan diagnosis, CT scan, bangsal untuk perawatan intensif, bangsal operasi, dan ruang rawat inap yang bisa menampung sekitar 1.000 pasien. Biaya operasional RSA ini sekitar 750.000 dollar AS per hari.
Terlepas dari besarnya biaya operasional RSA, tantangan cuaca dan alam yang harus dihadapi para tenaga medis, manfaatnya jelas dirasakan sesama anak bangsa yang tinggal di daerah terpencil dan pulau terluar wilayah Republik Indonesia. Tak ada hiruk pikuk dalam tugas kemanusiaan itu, tetapi mereka tetap mengabdi dengan tulus.
Sumber: Arsip harian Kompas 20 Juni 1968 – 17 Januari 2018