Dua Anak Muda Memperjelas Potensi Pelanggaran Hak Konstitusional UU MD3
Oleh
DD06
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) kembali digelar oleh Mahkaham Konstitusi, Rabu (21/3). Dalam agenda itu, dua anak muda, Zico Leonard (20) dan Josua Satria (21), yang merupakan pemohon, memperjelas potensi pelanggaran hak konstitusional dalam Pasal 122 Huruf L UU No 2 Tahun 2018 tentang MD3.
Sidang ini merupakan yang pertama setelah UU MD3 mendapat penomoran menjadi UU No 2 Tahun 2018 tentang MD3. Agenda sidang adalah memperbaiki gugatan pemohon. Antara lain, memperkuat kedudukan hukum dan kerugian konstitusional serta memperjelas obyek yang pada sidang sebelumnya belum mendapatkan penomoran.
Sidang perbaikan permohonan itu diikuti oleh tiga pemohon. Selain mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Zico dan penulis kajian hukum Josua, dua pemohon lainnya adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
”Kami menambahkan bukti penguat dengan mencantumkan kajian dan tulisan kami (bersama Zico) mengkritik DPR yang masuk situs. Dan yang menambah kuat, sebagai mahasiswa kami sempat membuat acara diskusi yang mempertanyakan kinerja DPR sebagai wakil rakyat,” kata Josua, seusai sidang.
Hal itu dinilai Josua mampu memperjelas kedudukan hukumnya. Sebab, pada sidang sebelumnya, kedua pemuda ini diminta hakim MK untuk menunjukkan secara rinci kategori penulis yang dijalani. Kategori dinilai penting untuk mempertimbangkan potensi kerugian konstitusional yang dialami.
Lewat perbaikan itu, ucap Josua, potensi terlanggarnya hak konstitusional sangat jelas. Tulisan mereka yang mengkritik DPR berpotensi dibawa ke ranah hukum dengan pasal karet UU MD3. Potensi kriminalisasi itu dinilai tidak sesuai dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang menjamin terpenuhinya perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. ”Ancaman pidana itu sangat terbuka,” ujarnya.
Adapun, Josua dan Zico menggugat Pasal 122 Huruf L UU No 2/2018 yang memberikan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memproses hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Selain itu, Josua juga menyertakan artikel berita daring untuk membuktikan, konteks merendahkan kehormatan dalam pasal tersebut sangat multitafsir. Dalam pemberitaan itu, anggota DPR menilai KPK merendahkan kehormatannya karena hal kecil dan tidak berdasar.
”Saat itu, anggota DPR Arteria Dahlan tersinggung karena tidak dipanggil yang terhormat oleh KPK. Dia merasa itu merendahkan kehormatan DPR. Bayangkan jika Pasal 122 sudah ada saat itu, bisa-bisa dibawa ke ranah pidana. Menurut kami, ini tidak masuk akal karena konteks merendahkan bisa menjadi multitafsir,” kata Josua.
Kewenangan absolut
Zico menilai kewenangan MKD untuk menindak akan melewati batas lembaga legislatif tersebut. Menurut dia, kewenangan DPR adalah sebagai pembuat UU, bukan menjalankan dan mempertegasnya. Hal itu dapat mengganggu sistem negara yang menganut Trias Politika, yang memisahkan kekuasaan menjadi eksektutif, legislatif, dan yudikatif.
”Dengan adanya kekuasaan pada MKD untuk memproses hukum, ini sudah menjadi kerancuan pada tata negara,” kata Zico.
Menurut Zico, dengan kewenangan itu, DPR telah melanggar prinsip dari negara hukum, seperti tertera pada Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. ”Apalagi, menurut Friedrich J Stahl, negara yang tidak memenuhi prinsip negara hukum itu sebenarnya tirani yang berbalut demokrasi,” katanya.
Akibat dari Pasal 122 Huruf L tersebut, Zico menilai, DPR akan mendapat kekuatan absolut. Padahal, kekuasaan terlalu lebar dan besar tanpa besar itu akan diikuti pula dengan kepastian sifat korup.
Pergeseran pasal
Dua perkara lainnya, milik FKHK dan PSI, tidak mengubah gugatan secara substantif. Mereka hanya memperbaiki gugatan terkait penomoran obyek perkara dan pergeseran pasal dalam UU No 2/2018. Keduanya menggugat beberapa ayat dalam Pasal 73, 122, dan 245.
Kuasa hukum FKHK Andi Irmanputra Sidin mengatakan, perubahan dilakukan pada Pasal 122 Huruf L UU No 2/2018. Sebelum diresmikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, obyek itu berada pada Pasal 122 Huruf K. ”Pasal itu telah dikoreksi pemerintah karena sempat ada huruf B yang ganda. Karena itu, kami koreksi juga,” ucap pengamat hukum tata negara itu.
Selain itu, gugatan perkara pada Pasal 73 berubah dari hanya Ayat (3) dan (4), menjadi Ayat (3), (4), (5), dan (6). Jumlah obyek perkara ditambah karena hal itu merupakan satu rangkaian. ”Perubahan tidak ada yang substantif. Hanya pergeseran pasal dan koreksi,” ucap Andi.
Andi berharap, proses di MK bisa diselesaikan secepatnya. Hal itu untuk menghindari ketidakpastian hukum akibat beberapa pasal dalam UU No 2/2018. Sebab, jalur MK merupakan cara terakhir untuk membatalkan UU tersebut.
”Presiden sudah menyatakan tidak akan membuat peraturan pemerintah pengganti UU dan menyarankan masyarakat untuk menguji ke MK. Ketua DPR juga mengatakan akan menerima apa pun hasil putusan MK,” kata Andi.
Untuk itu, kata Andi, penting bagi MK untuk segera mengambil sikap. Hal itu untuk memastikan tidak adanya kekhawatiran bagi kelompok masyarakat terhadap wakil rakyat yang dipilihnya.
”Pasal ini seolah menghadapkan DPR dengan warga masyarakat. Padahal DPR seharusnya mewakili rakyat berhadapan dengan kekuasaan. Apalagi, ini memberi ruang juga pada DPR untuk melakukan upaya hukum pada masyarakat,” tutur Andi.
Hal berbeda disampaikan Josua. Dia masih memantau kemungkinan Presiden untuk menerbitkan perppu. ”Kalau perppu dikeluarkan, otomatis sidang ini batal demi hukum. Apabila diteruskan, kami sudah berkonsultasi dengan dosen. Ada beberapa dari mereka yang mau menjadi saksi ahli dalam persidangan,” katanya.
Sidang permohonan perbaikan pemohon itu dimulai pada pukul 14.00. Sidang dihadiri oleh tiga hakim MK, Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra. Ketiganya menerima perbaikan itu tanpa catatan.