JAKARTA, KOMPAS- Amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 untuk memberikan kewenangan bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat menyusun dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara akan dikonsultasikan dengan Presiden Joko Widodo. Meski wewenang amendemen ada di MPR, dukungan Presiden sebagai kepala negara tetap dibutuhkan.
Rencana mengonsultasikan amendemen terbatas UUD 1945 tersebut diambil dalam pertemuan tertutup antara pimpinan MPR dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (14/3).
Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Ketua MPR Zulkifli Hasan; Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri; dan anggota Dewan Pengarah BPIP, Try Sutrisno; serta Kepala BPIP Yudi Latif.
Semua pihak yang hadir dalam pertemuan, kata Zulkifli, memandang penting adanya amendemen terbatas terhadap UUD 1945 untuk menghadirkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN dibutuhkan supaya pembangunan oleh pemerintah pusat ataupun daerah lebih terarah dan berkelanjutan. Kondisi yang terjadi tidak seperti kondisi saat ini, di mana ketika terjadi pergantian pemerintahan, ada kecenderungan rencana pembangunan juga berubah.
”Dalam pertemuan, Ibu Mega menjanjikan akan membicarakan hal ini dengan Presiden agar Presiden mengundang pimpinan MPR bersama dengan pimpinan partai politik yang memiliki kursi di parlemen. Ini untuk bisa menyamakan persepsi tentang perlunya amendemen terbatas itu,” tambah Ketua Fraksi PDI-P di MPR Ahmad Basarah.
Pembahasan amendemen terbatas untuk GBHN di MPR terhenti sejak muncul pertama kali tahun 2016 karena usulan amendemen kemudian meluas menjadi tidak terbatas soal GBHN.
Oleh karena itu, pertemuan Presiden dengan pimpinan partai tersebut diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan bahwa amendemen terbatas hanya untuk GBHN.
Dalam rencana amendemen, kata Basarah, MPR akan kembali diberi kewenangan menyusun dan menetapkan GBHN. Dengan demikian, MPR bisa saja kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Namun, pengembalian status MPR ini tidak lantas membuat Presiden kelak kembali menjadi mandataris MPR, apalagi membuat pemilihan presiden/wakil presiden kembali dilakukan oleh MPR.
Namun, yang perlu dipikirkan dan dikaji lebih lanjut adalah bagaimana agar GBHN yang dibuat MPR dipatuhi Presiden/Wakil Presiden dan para kepala/wakil kepala daerah. ” Jadi, rencana pembangunan lima tahun yang dibuat oleh Presiden atau kepala daerah tidak melenceng dari GBHN,” katanya.
MPR, lanjut Basarah, belum memikirkan adanya sanksi jika presiden atau kepala daerah melenceng dari GBHN. ” Namun, menurut pendapat saya, bisa juga ada sanksi. Sanksinya, MPR mengumumkan presiden atau kepala daerah tidak menjalankan garis-garis besar haluan negara. Kemudian silakan publik untuk menilainya, apakah mempertimbangkan untuk memilih mereka kembali dalam pemilu atau tidak,” ujarnya.
Implementasi
Dalam pertemuan antara pimpinan MPR dan BPIP tersebut, menurut Zulkifli, juga didiskusikan implementasi dari UUD 1945 setelah amendemen tahun 1999-2002.
”Kami mendiskusikan mana yang baik dan mana juga yang masih perlu disempurnakan,” kata Zulkifli.
Hal lain yang juga dibahas adalah tentang kewenangan Dewan Perwakilan Daerah serta aturan perundangan yang napasnya tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Turut dibahas pula tentang pemilu yang kini berbiaya tinggi dan maraknya ujaran kebencian di masyarakat.