JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan keuangan inklusif mencakup 75 persen penduduk pada tahun 2019. Saat ini, lebih dari setengah populasi belum memiliki akses perbankan. Peran perusahaan rintisan di bidang teknologi finansial semakin dibutuhkan untuk mencapai target tersebut.
Berdasarkan catatan TCash Telkomsel, perusahaan rintisan teknologi finansial (tekfin) dari Telkom Indonesia, 60 persen populasi di Indonesia belum terjangkau akses perbankan. Angka itu lebih besar dari negara lain yang hanya sekitar 39 persen.
Adapun dari situs Bank Indonesia, keuangan inklusif dapat berarti proses pemastian akses pelayanan dan produk keuangan yang dibutuhkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok dengan penghasilan rendah dan belum memiliki akses (unbanked).
Manfaat program tersebut antara lain meningkatkan efisiensi ekonomi, stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan.
Sebesar 60 persen populasi di Indonesia belum terjangkau akses perbankan.
Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Start Up Indonesia (Amvesindo) dan Partner Convergence Ventures Donald Wihardja menyatakan, perusahaan rintisan tekfin dapat berperan menjadi perantara akses bagi masyarakat yang belum terjangkau bank.
”Perusahaan rintisan dapat membantu di dua bidang, yaitu sebagai tempat tabungan dan peminjaman uang,” ujar Donald seusai acara Hunindotech Business Forum 2018 antara Hongaria dan Indonesia, di Jakarta, Rabu (14/3).
Perusahaan rintisan tidak mewajibkan calon pelanggan memiliki rekening bank. Calon pelanggan dapat menginstal langsung aplikasi dan mendaftar melalui ponsel pintar. Mereka dapat menggunakan fitur dompet elektronik (e-wallet) yang ada sebagai tempat tabungan dan alat transaksi keuangan.
Ditambah lagi, perusahaan rintisan tekfin dapat memberikan bantuan pinjaman kepada masyarakat tanpa akun bank. Hal itu dimungkinkan asalkan mereka telah bertransaksi menggunakan e-wallet perusahaan itu selama beberapa bulan.
Perusahaan rintisan tidak mewajibkan calon pelanggan memiliki rekening bank. Calon pelanggan dapat menginstal langsung aplikasi dan mendaftar melalui ponsel pintar.
”Masih banyak masyarakat yang tidak percaya dengan lembaga keuangan. Saya pernah bertemu dengan pengemudi taksi yang tidak memiliki rekening bank karena merasa rugi uangnya dipotong untuk biaya administrasi,” tutur Donald.
Ia melanjutkan, perusahaan rintisan juga dapat menjadi jembatan bagi masyarakat terhadap bank. Bisa saja, ujarnya, terdapat suatu transaksi yang mewajibkan pelanggan untuk bertransaksi dalam jumlah besar ketika membeli suatu produk sehingga ia harus memiliki akun bank.
Head of Lifestyle TCash Telkomsel Herman Suharto mengutarakan, peran perusahaan rintisan untuk menjangkau daerah yang terpencil semakin dibutuhkan.
”TCash, misalnya, menggunakan jaringan Telkom sehingga menjangkau hampir seluruh daerah di Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 143,26 juta orang, meningkat dari 2016 yang sebanyak 132,7 juta orang. Adapun yang diolah oleh Convergence Ventures menyebutkan, 28,1 juta orang merupakan pengguna dagang.
Menurut dia, mayoritas penduduk mengakses internet menggunakan ponsel pintar. Meningkatnya penggunaan ponsel turut membantu pertumbuhan perusahaan tekfin. Laporan Asosiasi Fintech (Aftech) per Desember 2017 menyebutkan, 235 perusahaan tekfin beroperasi di Indonesia.
Fithri Hadi dari Direktur Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menambahkan, hambatan yang dihadapi pemerintah terkait perkembangan tekfin saat ini adalah pembuatan regulasi yang masih memiliki basis pemikiran fisik, bukan digital.
Hambatan yang dihadapi pemerintah terkait perkembangan tekfin saat ini adalah pembuatan regulasi yang masih memiliki basis pemikiran fisik, bukan digital.
”Banyak institusi keuangan beralih menuju digital. Dalam membuat kebijakan, kami kini berusaha menyambut inovasi tanpa meninggalkan stabilitas,” ucap Hadi.
Terkait hal itu, OJK menambah kajian dari preferensi masyarakat untuk membuat sistem yang lebih relevan, seperti mendukung tekfin.
Menurut Herman, pemerintah sebenarnya memberikan dukungan yang cukup baik terhadap perkembangan industri tekfin. Berbagai peraturan telah diterbitkan untuk mengatur dan mendorong tekfin.
Bank Indonesia (BI), misalnya, merilis peraturan bahwa uang elektronik sebagai metode pembayaran yang sah pada tahun 2007. Dua tahun kemudian, BI merilis regulasi terkait uang elektronik.
Pada 2014, BI menambahkan peraturan tentang transfer dana pada uang elektronik. Tahun 2016, OJK merilis Laku Pandai, program yang memungkinkan masyarakat menabung dan menarik dana melalui perantara agen bank, serta BI menerbitkan peraturan bagi LKD (Layanan Keuangan Digital).
Transaksi luar negeri
Business Development and Sales Executive Cellum/Festipay Daniel Kaderjak menyebutkan, berkembangnya pembayaran uang digital saat ini membuka kemungkinan agar transaksi juga dapat dilakukan antarnegara.
”Dari sudut pandang sebagai seorang pebisnis, tidak ada batasan dalam bertransaksi,” ujarnya. Namun, hal yang membatasi adalah regulasi suatu negara.
Indonesia saat ini dinyatakan belum memiliki landasan hukum yang cukup kuat terkait perlindungan data pribadi dan transaksi elektronik. Kondisi itu dapat menjadi salah satu faktor utama dalam menghambat transaksi elektronik lintas negara.
Menurut Daniel, Indonesia perlu segera membuat peraturan itu. Apalagi, saat ini Indonesia merupakan salah satu pelaku dan pasar ekonomi digital terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Hal senada dinyatakan Owner dan Online Marketing Expert Outrun Media/Threenovation, Trevor Hawley, CEO Element Inc Adam Perold, dan Co-Founder and CEO HalloService Gabriel Banreti.