JAKARTA, KOMPAS — Transformasi penyebaran ajaran agama Islam yang membawa nilai kedamaian dan toleransi diperlukan pada era digital saat ini. Metode dakwah melalui sosial media yang membuka ruang dialog dinilai dapat diminati oleh generasi muda yang lekat dengan kehidupan di media sosial.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menilai, radikalisme yang menjurus ekstremisme saat ini telah bertransformasi dari yang sebelumnya berkembang di kelompok-kelompok kecil ke arah penyebaran di ranah sosial media yang dapat menjangkau banyak orang.
”Para ustaz dari organisasi Islam besar di Indonesia, seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, harus bertransformasi (berdakwah) dari cara pandang sebelum adanya kemajuan teknologi digital dan sesudah adanya teknologi digital. Mereka punya sumber daya dan jaringan yang luas,” tutur Noor saat menjadi pembicara dalam workshop ”Counter Violence and Extremism” yang diselenggarakan YPP di Jakarta, Rabu (14/3).
Menurut Noor, kehidupan sosial media sudah tidak dapat dibendung. Sosial media akan menjadi bagian hidup masyarakat. Mengatasi radikalisme atau berita bohong di media sosial tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan. Perlu narasi alternatif untuk mengimbanginya.
Kehidupan masyarakat Indonesia semakin lekat dengan internet, penetrasi internet di Indonesia meningkat di tahun 2017 yang mencapai 54,68 persen dengan populasi 143,26 juta orang. Hampir setengahnya merupakan generasi milenial, berusia 19-34 tahun (Kompas, 20/2).
Noor mengatakan, berbagai cara dapat dilakukan di dunia digital dalam rangka berdakwah mengajarkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan kekerasan. Menyebarkan pesan dakwah dengan menyebarkan film pendek atau video singkat juga dinilai efektif. Bentuk dakwah seperti itu dapat disebarkan dengan mudah di berbagai platform media sosial.
Muhammad Ali Ghifar, pendiri Film Maker Muslim, menilai, generasi muda saat ini lebih menggemari model dakwah melalui metode baru seperti film atau video pendek. Hal itu karena film atau video singkat dapat lebih membawa penonton merasa dilibatkan dalam cerita yang ditayangkan.
”Dengan film atau video, orang juga tidak merasa diajari sehingga pembelajaran bisa lebih menyenangkan,” ujar Ali.
Berubah
Ahmad Shodiq, pengurus bidang dakwah dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sepakat bahwa model dakwah harus bergerak ke arah digital. Dengan demikian, narasi dakwah di media sosial yang selama ini cenderung didominasi oleh ajaran Islam yang provokatif dapat diimbangi.
”Memang salah satu kelemahan kami di bidang media sosial. Mereka (kelompok radikal) sudah lebih awal melakukan dakwah di medsos sejak awal 2000, sedangkan kami, khususnya di NU, baru mulai sekitar tiga tahun yang lalu,” ujar Shodiq.
Meski begitu, Shodiq menilai, saat ini konten di media sosial semakin berimbang antara sebaran dakwah Islam yang cenderung provokatif dan ajaran Islam yang toleran terhadap perbedaan.
”Kami sudah mulai melakukan pelatihan mulai dari tingkatan cabang NU di daerah. Setiap cabang, misalnya, ada 10 orang dilatih untuk dapat mengisi media sosial dengan ajaran Islam yang toleran. Bagaimana cara mengemasnya agar menarik menjadi salah satu materi pelatihan,” tutur Shodiq.
Sementara itu, Alimatul Qibtiyah, anggota Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengakui, berbagai konten dakwah yang mengajarkan bahwa Islam mengajarkan kedamaian telah tersedia. Namun, cara penyebaran konten tersebut di media sosial memang belum efektif menjangkau warganet.
”Ajaran tersebut (Islam toleran) tidak tersosialisasikan secara intensif dan strategis ke bawah. Dengan demikian, terkadang elite bilangnya apa, masyarakat di grassroot (kalangan bawah) menyebarkan di media sosialnya apa (berbeda),” tutur Alimatul.
Alimatul memandang perlunya transformasi model dakwah ke arah digital. Tantangan utama yang kini dihadapi dalam proses tersebut adalah bagaimana cara menyebarkan dakwah secara digital dengan kemasan yang menarik.
Lebih bervariasi
Nursadrina Khaira Dhania, salah satu remaja Indonesia yang pernah menjadi simpatisan Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengatakan, dirinya terjerumus ke dalam kelompok radikal karena dampak media sosial. Saat itu, ia tertarik bergabung dengan NIIS hingga berangkat ke Suriah karena mendapatkan informasi dari media sosial.
”Mereka (kelompok NIIS) di media sosial mampu menampilkan hal yang indah, seolah sesuai dengan ajaran agama. Padahal, pada kenyataannya itu tidak benar. Tidak sesuai dengan ajaran agama,” kata Dhania.
Dhania menyampaikan, saat itu ia lebih tertarik belajar agama menggunakan media sosial karena model yang tersedia bervariasi, misalnya ada ajaran dakwah yang dikemas dengan model komik.
”Mungkin itu lebih asyik dan pas bagi anak seumuran saya,” kata Dhania.
Dhania berharap sejumlah organisasi Islam besar di Indonesia yang mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang damai dapat mengembangkan metode digitalisasi dakwah. Hal itu perlu untuk mengimbangi banyaknya berita bohong atau ajaran agama yang cenderung radikal yang kini banyak tersebar di media sosial.
”Jangan sampai ada lagi orang yang terjerumus ke organisasi radikal karena media sosial seperti saya ini,” ujar Dhania.