Pembangunan pemukiman di lokasi bekas kebakaran seolah berlangsung tanpa kendali. Pemukiman permanen bahkan dua lantai, tumbuh di banyak tempat. Penduduk kian padat dan instalasi listrik masih tidak standar.
Oleh
Windoro Adi/Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kebakaran di pemukiman padat hampir selalu diikuti pembangunan rumah permanen. Belum ada penertiban pembangunan di kawasan yang pernah terbakar.
Camat Tambora Djaharudin mengatakan, rumah permanen di lokasi yang pernah dilanda kebakaran bahkan dibangun dua lantai. Padahal sebelum kebakaran, warga hanya memiliki rumah semi permanen atau rumah permanen satu lantai.
Kecamatan Tambora di Jakarta Barat dikenal sebagai kawasan "arisan kebakaran" sejak puluhan tahun. Disebut demikian karena di Tambora tidak pernah sepi dari kasus kebakaran yang umumnya membuat puluhan rumah terbakar. Baru tahun 2015, peringkat tertinggal kebakaran berada di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.
Djaharudin mengatakan, penambahan lantai membuat jumlah penghuni bertambah. Kawasan pemukiman yang sudah padat pun kian padat disertai penambahan daya listrik yang seringkali tidak berizin. Peluang terjadi kebakaran karena korsleting pun kian besar.
"Petugas P2B (Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan) umumnya membiarkan warga menambah lantai rumahnya pasca kebakaran. Mereka tahu itu melanggar dan harus dihentikan, tetapi mereka tidak berani. Penambahan lantai biasanya dimanfaatkan untuk kamar-kamar kos. Lantai bawah dihuni keluarga pemilik rumah, sedang lantai dua dihuni para penyewa," papar Djaharudin, pekan lalu.
Satu rumah yang dulunya hanya dihuni empat sampai lima jiwa, misalnya, kini dihuni belasan jiwa setelah lantai rumah ditambah. Beban listrik pun bertambah. Apalagi kawasan pemukiman padat itu juga merangkap lokasi industri rumahan konveksi.
Gang-gang sempit di pemukiman pun makin semrawut karena dimanfaatkan untuk memarkir sepeda motor, gerobak, atau perangkat pikulan para pedagang kaki lima para penyewa kamar.
Lurah Pekojan, Tambora, Tri Prasetyo menyampaikan hal serupa. "Sejak saya jadi lurah di sini tahun 2015, saya sudah berulang kali mengingatkan warga, jangan memanfaatkan kebakaran untuk menambah lantai. Sebab, dampak sosial dan keamanannya akan bertambah besar," tegasnya.
Tri mendorong petugas P2B berani menegakkan peraturan. "Yang penting kan cara penyampaian kepada warga. Kalau sudah dikasih tahu sampai dua tiga kali dengan cara baik-baik masih ndableg, ya bongkar aja. Saya sendiri yang akan mendampingi mereka membongkar," ucapnya.
Ia mengakui, penambahan luas bangunan usai kebakaran seringkali menyebabkan selokan dan saluran air lainnya tertutup dan mampat. "Kalau sudah banjir, lurahnya yang kena kecaman," tutur Tri.
Pengamatan Kompas, tumbuhnya rumah dua lantai pasca kebakaran tidak hanya terjadi di kawasan pemukiman padat di Jakarta Barat saja, tetapi di seluruh Jakarta. Sebagian korban yang rumahnya terbakar mendapat pasokan modal dari keluarga atau kerabat di kampung. Dengan modal itulah mereka membangun kamar kos. Pendapatan dari menyewakan kamar, sebagian besar digunakan untuk mencicil pinjaman saudara dan kerabat di kampung.
Rumah kos umumnya semrawut dengan kabel-kabel listrik yang bebannya melampaui batas kekuatan tiang penyangga kabel listrik. Sering tampak, tiang listrik miring hampir roboh. Salah satu contoh ada di Jalan Syahdan, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat. Kawasan ini menjadi kawasan kos mahasiswa, dan toko.
Kepala Pencegahan Kebakaran Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta Jon Vendri mengaku, sudah beberapa kali melakukan penyuluhan mitigasi bencana kebakaran kepada warga.
Gerakan penyisiran (sweeping) sambungan illegal listrik pun sudah dilakukan bersama PLN. Namun, upaya penertiban itu terhalang kewenangan PLN yang hanya dari tiang listrik sampai ke meteran.