JAKARTA, KOMPAS — Posisi perempuan masih tidak nyaman di ranah publik, privat, dan negara. Tren kekerasan terhadap perempuan pun kian meningkat dengan beragam bentuk. Hal itu menunjukkan belum ada upaya pencegahan yang serius untuk memutus rantai kekerasan itu.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, pada 2017, jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 348.446 kasus atau meningkat 25 persen dibandingkan tahun 2016 yang jumlahnya 259.150 kasus.
Sementara itu, dari 13.384 kasus yang ditangani 237 lembaga mitra layanan di 34 provinsi, kasus kekerasan yang paling banyak terjadi di ranah privat tercatat mencapai 9.609 kasus, di ranah publik 3.528 kasus, sedangkan di ranah negara 247 kasus. Kekerasan yang dialami baik dalam bentuk fisik, seksual, ataupun psikis.
National Program Officer for Safe Cities, Gender, and HIV dari UN Women Indonesia, Iriantoni Almuna, mengatakan, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan tersebut menunjukkan negara belum bisa memberikan rasa nyaman terhadap masyarakatnya.
”Angka kasus kekerasan itu makin meningkat dan itu baru yang dilaporkan secara nasional. Masih banyak kasus yang belum bisa tertangani dengan baik dan negara terlambat menanganinya,” ujar Iriantoni, dalam diskusi Indonesian Youth Diplomacy bertajuk ”Women, What’s Next?” di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (10/3).
Kenyamanan di ranah publik termasuk yang perlu mendapatkan perhatian yang serius. Berdasarkan hasil survei Thomson Reuters Foundation yang diterbitkan Oktober 2017, Jakarta menempati urutan ke-9 dari 10 kota besar di dunia yang paling berbahaya. Salah satu indikator survei itu adalah risiko kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan hingga pemerkosaan.
Hal tersebut diperkuat laporan penelitian UN Women berjudul ”Scooping Study: Audit Keamanan di Tiga Wilayah Jakarta” yang dirilis November 2017, menunjukkan Jakarta hanya memiliki skor 2,5 dari 5 dalam hal kenyamanan perempuan di ruang publik dan fasilitas publik.
Iriantoni mengatakan, skor itu menunjukkan masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan pemerintah Jakarta, seperti penerangan yang belum cukup di jalan dan gang, tidak ada kamera pengawas di tempat strategis, dan transportasi publik yang kurang aman.
”Perempuan kerap merasa tidak nyaman pada waktu sore hingga malam hari. Kalau semua aspek itu bisa terpenuhi, pelaku kemungkinan akan menjadi sangsi untuk melakukan niat buruknya,” ujar Iriantoni. ”Asumsinya, apabila suatu tempat itu sudah aman untuk perempuan, berarti tempat itu juga aman untuk semuanya karena perempuan sering sekali menjadi korban,” katanya.
Iriantoni juga mendorong agar perempuan berani bersuara untuk memutus rantai kekerasan. ”Tidak mudah untuk menceritakan hal traumatis. Karena itu, perlu juga mekanisme pelaporan yang bisa dipercaya, mudah diakses, dan tidak mendiskreditkan perempuan,” kata Iriantoni.
Menurut Co-Director Hollaback! Jakarta Anindya Restuviani, perempuan masih menjadi korban paling rentan dalam kekerasan dan pelecehan seksual di ruang publik. Korban kerap tak melapor karena malu dan takut.
”Ruang perempuan untuk bercerita atas apa yang dialami tanpa ada penghakiman itu sangat minim. Masalahnya adalah orang sering kali menyalahkan dan membuat perempuan bertanggung jawab atas kekerasan yang dialami. Padahal, harusnya yang bertanggung jawab adalah pelaku,” ujar Anindya.
Berawal dari pelecehan
Anindya juga mengatakan, fenomena pelecehan verbal bisa memicu terjadinya pelecehan yang lebih parah. Apalagi, ia melihat pelecehan verbal kerap masih dianggap sebatas kebiasaan oleh masyarakat, termasuk perilaku catcalling, yakni berupa panggilan, teguran, atau bahkan siulan dengan kecenderungan melecehkan dan merendahkan martabat perempuan.
”Saya takut ini sudah menjadi budaya, budaya yang tidak baik untuk diteruskan. Padahal, itu sudah jelas-jelas tidak melihat perempuan sebagai manusia, tetapi obyek. Terlihat sepele, tetapi kalau itu dibiarkan, pelaku akan merasa tidak apa-apa kalau melakukan hal yang lebih dari itu,” kata Anindya.
Karena itu, Anindya mendorong agar perempuan berani bersikap ketika ada pelecehan yang kerap dilakukan di ruang publik tersebut. Masyarakat pun perlu meningkatkan kesadaran untuk ikut saling mengawasi pelecehan yang masih kerap terjadi di ranah publik.
Anindya juga berharap agar DPR tidak terlalu terburu-buru dalam mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Anindya melihat ada beberapa detail persoalan yang kerap dialami perempuan belum dapat terakomodasi dalam RKUHP tersebut.
”RKUHP ini paling urgent karena kesannya DPR sangat terburu-buru untuk mengesahkan. Padahal, banyak pekerjaan rumah yang harus kita tinjau ulang. Kalau ini disahkah, jelas dampaknya kepada perempuan akan sangat terasa,” kata Anindya.