JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah segera merampungkan draf revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam waktu dekat dapat mulai membahasnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu poin revisi yang cukup disoroti adalah rencana penguatan kewenangan Badan Narkotika Nasional untuk menetapkan narkoba jenis terbaru, serta sejumlah kewenangan baru lainnya.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3), mengatakan, draf RUU oleh pemerintah sebenarnya sudah rampung, tetapi perlu dimatangkan lagi, khususnya untuk menyikapi peredaran narkoba jenis terbaru atau new psychoactive substance (NPS).
Salah satu aspek ketertinggalan Indonesia dalam menangani peredaran narkoba adalah beredarnya narkoba jenis terbaru atau new psychoactive substance (NPS) di masyarakat, yang tidak terdaftar dalam undang-undang maupun peraturan menteri kesehatan. Hingga Februari 2018, terdapat 71 narkoba jenis baru di Indonesia dari sekitar 800 narkoba jenis baru yang beredar di dunia. Jumlah itu juga jauh tertinggal dari laporan United Nations Office on Drugs and Crime, yang mendata ada 541 narkoba jenis baru.
Enny mengatakan, akibat tidak terdatanya narkoba jenis terbaru itu, aparat penegak hukum cukup kesulitan menindak dan menjerat peredaran narkoba dengan zat terbaru itu. “Bayangkan saja, peredaran narkoba jenis baru ini cukup banyak, dan kita tidak bisa menjerat lewat hukum. Ini jauh sekali dibandingkan jenis yang sekarang sudah beredar di dunia,” kata Enny.
Selama ini, mekanisme penentuan NPS harus melalui uji laboratorium oleh Kementerian Kesehatan terlebih dahulu setelah ada pengajuan dari BNN. Setelah uji lab, narkoba jenis terbaru itu disahkan oleh Menteri Kesehatan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan. Namun, keseluruhan proses itu bisa memakan waktu sampai dua tahun sehingga menghambat penindakan kasus narkoba.
Dalam draf RUU Narkotika, pemerintah mengusulkan kewenangan bagi BNN untuk menguji zat narkotika jenis terbaru tanpa uji laboraotrium di Kementerian Kesehatan. BNN saat ini sudah mempunyai Fasilitas Pusat Laboratorium Narkotika BNN di Lido, Kabupaten Bogor. Dengan memberi BNN kewenangan untuk menguji sendiri zat-zat terbaru itu di laboratorium khusus, proses pendataan NPS bisa lebih cepat sehingga peredarannya lebih cepat ditindak oleh aparat penegak hukum.
Lampiran data NPS pun tidak perlu dituangkan di dalam undang-undang, tetapi cukup didelegasikan melalui Peraturan Menteri Kesehatan, agar prosesnya lebih cepat. “Jadi, RUU ini akan bicara beberapa perubahan menyangkut NPS. Harus ada norma khusus, penguatan bagi BNN, agar punya kewenangan untuk menjerat tindak pidana narkoba dengan lebih sigap,” katanya.
Beragam jenis NPS di Indonesia, antara lain metilon, ganja sintetis untuk membuat tembakau super serta dijadikan bahan cairan untuk rokok elektronik, flakka, khat, dan blue safir.
Namun, NPS di dunia lebih luas lagi dan terbagi dalam sembilan golongan: ganja sintetis, katinona sintetis, ketamin, dan phencyclidine-type substances, triptamin, piperazin, zat berbasis tanaman, aminoindanes, serta golongan zat-zat NPS lain (Kompas, 6/3).
Enny mengatakan, Kemenkes sebenarnya menawarkan untuk memproses uji lab NPS selama enam bulan, bukan dua tahun. “Tetapi, itu masih terlalu lama juga. Kita butuh mekanisme lebih cepat. Karena tidak mungkin kita menjerat orang tanpa ada aturan,” ujarnya.
Dalam keadaan mendesak, kita bisa melakukan revisi secara terbatas dan cepat, sehingga tidak harus memakan waktu lama
Usulan pemerintah itu disambut positif oleh DPR. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, selain kewenangan untuk menguji laboratorium NPS, RUU Narkotika dapat dijadikan dasar untuk memperkuat kewenangan lainnya BNN. Menurutnya, dalam diskusi yang berkembang di internal Komisi III, ada tiga skema penguatan BNN yang diusulkan.
Pertama, BNN tetap berfungsi seperti saat ini untuk menjalankan tugas pencegahan, rehabilitasi, dan penindakan, melalui koordinasi dengan institusi lainnya seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kepolisian. Kedua, BNN fokus hanya pada urusan pencegahan dan rehabilitasi, sementara penindakan diserahkan sepenuhnya ke Kepolisian. Ketiga, kewenangan pencegahan, rehabilitasi, dan penindakan, sepenuhnya diserahkan kepada BNN tanpa ada dualisme kewenangan dengan institusi lain.
“Pemikiran ini sempat didiskusikan secara informal di Komisi III. Ini harus dibahas dengan hati-hati karena dalam beberapa hal bisa terjadi kompetisi antarlembaga karena ini menyangkut kebanggaan institusi juga,” kata Arsul.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi PAN Totok Daryanto mengatakan, dengan perkembangan penyusunan draf RUU Narkotika oleh pemerintah, pembahasan dengan DPR diharapkan dapat dimulai di masa sidang DPR ke-IV, yang akan berakhir akhir April mendatang. “Dalam keadaan mendesak, kita bisa melakukan revisi secara terbatas dan cepat, sehingga tidak harus memakan waktu lama. Ke depannya, undang-undang ini bisa terus direvisi sesuai perkembangan kondisi peredaran narkoba di Tanah Air,” katanya.