Gigih Petani Hanjeli Melawan Ironi
Bermodal sabar dan inovasi, petani di Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Sumedang membudidayakan hanjeli. Sejumlah tantangan dihadapi dengan berani demi menyumbang secuil kedaulatan pangan untuk negeri ini.
Mendung menyelimuti langit di Desa Sukajadi, Minggu (25/2). Namun, wajah cerah Sutarya (71) tak kunjung berpaling dari kebun di belakang rumahnya. Kebun itu ditanami jagung, di pinggirnya ditanami hanjeli atau jali (Coix lacryma-jobi), tanaman yang membawa ingatan Sutarya ke masa 20 tahun silam.
- English Version: Farmers\' Persistence in Face of Irony
“Orangtua dulu menjadikan hanjeli salah satu makanan pokok. Tetapi, sekarang sudah dilupakan dan terlalu mengandalkan beras. Kami ingin mengingat kembali kenangan itu,” ujar Sutarya, yang menanam lagi hanjeli setahun terakhir.
Sutarya bercerita, saat dirinya masih kanak-kanak, masyarakat di Sukajadi mengandalkan beragam bahan makanan seperti padi, hanjeli, jagung, dan ubi. Hal ini agar warga tidak bergantung pada satu jenis pangan. Jadi saat pangan tertentu langka, masih tersedia pangan lain.
Dahulu masyarakat di Sukajadi mengandalkan beragam bahan makanan seperti padi, hanjeli, jagung, dan ubi. Hal ini agar warga tidak bergantung pada satu jenis pangan.
Namun seiring waktu, hanjeli mulai ditinggalkan karena dianggap tidak praktis. Masa panennya mencapai enam bulan, lebih lama dibandingkan padi dan jagung. Apalagi, peminatnya terbatas sehingga tidak mempunyai nilai jual yang baik.
Akibatnya, warga pun beralih mengonsumsi beras sepenuhnya. Hanjeli hanya dimanfaatkan beberapa warga untuk membuat kue dan kerupuk saat hajatan. Harga bahan pangan yang terus meroket saat ini membuat sejumlah warga kembali menanam hanjeli. Kini, 150 rumah tangga menanam hanjeli di lahan seluas tiga hektar.
Usaha mereka tak langsung mulus. Hasil panen 2017 kurang memuaskan. Hasil panen hanjeli di lahan seluas 2.800 meter persegi milik Sutarya, misalnya, hanya menghasilkan 1,75 kuintal gabah dengan nilai Rp 700.000. Padahal, jika menanam jagung, dia bisa mendapat Rp 2 juta.
Hal itu tak lantas membuatnya menyerah. Sutarya menyadari, perubahan selalu memerlukan waktu penyesuaian. Tahun ini, dia dan sejumlah warga kembali menanam hanjeli dengan menerapkan sistem penanaman baru untuk menemukan pola tanam yang lebih baik.
Saat ini, bersama Sutarya ada 30 warga yang tergabung dalam Koperasi Warga Tani (KWT) Pantastik. Melalui koperasi itu, warga berupaya meningkatkan produksi hanjeli sekaligus mengenalkannya ke masyarakat.
Melalui Koperasi Warga Tani (KWT) Pantastik yang beranggotakan 30 warga, warga berupaya meningkatkan produksi hanjeli sekaligus mengenalkannya ke masyarakat.
“Kami memulai dari internal dulu. Warga menanam sekaligus mengonsumsinya. Walaupun masih memakan nasi, namun hanjeli perlahan jadi idola lagi,” ujar Ketua KWT Pantastik Anisa Choeriah.
Menurut Anisa, sebenarnya tak sulit menanam hanjeli. Cukup diberi pupuk kandang di awal penanaman. Berbeda dengan padi dan tanaman lain yang memerlukan aneka pupuk dan pestisida secara berkala.
Kaya gizi dan protein
Hanjeli kaya gizi dan protein. Berdasarkan penelitian Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Prof Tati Nurmala tahun 2013, hanjeli mengandung gizi setara beras. Dalam 100 gram hanjeli mengandung karbohidrat sebanyak 76,4 persen, protein (14,1 persen), lemak nabati (7,9 persen), dan kalsium (54 miligram). Dengan potensi sebesar itu, Tati menyayangkan, hanjeli ini belum mendapat perhatian serius.
Anisa merasakan benar kendala itu. Selain pengalaman dan literatur penanaman yang minim, tidak mudah mengajak warga beralih menanam dan mengonsumsi hanjeli. Sebab, warga sudah terbiasa hanya mengonsumsi nasi.
Anisa mencontohkan pengalaman tahun 2016 saat menanam hanjeli secara monokultur. Karena warga hanya mengandalkan hasil panen hanjeli, saat hasil tak memuaskan, warga tak mempunyai pemasukan dari hasil panen tanaman lain. Kala itu, dari 1 hektar hanjeli, hanya bisa dipanen 2,8 ton gabah setara 1 ton beras hanjeli.
Hal ini membuat harga beras hanjeli cukup tinggi, Rp 10.000 – Rp 15.000 per kg. Padahal, harga beras padi sekitar Rp 12.000 per kg. Imbasnya, peminat hanjeli hanya dari kalangan tertentu, terutama yang mengetahui kandungan protein nabati hanjeli lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung.
“Namun, kami tidak menyerah,” ujar Anisa. Belajar dari pengalaman itu, pada musim tanam 2017, KWT Pantastik bersama warga mulai menerapkan sistem tanam tumpang sari. Hanjeli ditanam bersama padi dan jagung. Hanjeli ditanam di pinggir ladang atau kebun.
Inovasi pascapanen juga terus dilakukan. Bermula dari kerupuk dan sereal, KWT Pantastik membuat makanan olahan lain berbahan hanjeli. Mulai dari brownies, aneka kue tradisional, hingga bubur hanjeli. Menurut Anisa, orderan hanjeli saat ini berpotensi mencapai lebih dari 200 kg per bulan.
Inovasi pascapanen terus dilakukan. Bermula dari kerupuk dan sereal, KWT Pantastik membuat makanan olahan lain berbahan hanjeli. Mulai dari brownies, aneka kue tradisional, hingga bubur hanjeli. Orderan hanjeli saat ini berpotensi mencapai lebih dari 200 kg per bulan.
Sosialisasi, kata dia, menjadi tantangan terbesar untuk mengenalkan hanjeli lebih luas. Saat ini, sosialisasi hanjeli lebih banyak dilakukan melalui pameran yang belum tentu dilakukan setiap sebulan sekali.
Peran teknologi juga belum banyak membantu. Internet yang potensial jadi jembatan hanjeli dengan konsumen di berbagai daerah, belum bisa terlalu banyak menolong para petani di daerah berjarak 100 kilometer dari Kota Bandung ini.
“Daerah di sini masih susah sinyal,” kata Anisa.
Kondisi itu menumbuhkan harapan sekaligus melecut semangat warga untuk tetap menanam hanjeli. Seperti nama hanjeli dalam bahasa Inggris, job’s tears, yang konon diambil dari nama Nabi Ayyub yang dikenal sangat sabar menghadapi beragam ujian, petani pun ingin terus kuat mewujudkan kedaulatan pangan di negeri sendiri.