JAKARTA, KOMPAS — Undang-undang tentang narkotika rawan salah sasaran dan perlu direvisi. Banyak pengguna narkotika yang dipenjarakan karena pemidanaan berdasar pada barang bukti. Pemenjaraan justru memperburuk kondisi mental para pengguna narkotika tersebut.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan mengatakan, ada pasal karet dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 111, 112, dan 114. Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan orang yang sekadar memiliki dan menguasai narkotika bisa dikenai pidana setara dengan pengedar.
”Sebenarnya, secara definisi sudah ada pemisahan tentang pengguna, pencandu, penyalah guna, dan pengedar narkotika. Tetapi, ketika masuk ke dalam ketentuan pidana, rumusan unsurnya memungkinkan pengguna untuk dihukum layaknya pengedar,” kata Choky di Jakarta, Kamis (8/3).
Choky menambahkan, sebenarnya Mahkamah Agung (MA) memiliki mekanisme yang dapat membedakan antara setiap jenis pengguna berdasarkan seberapa banyak kepemilikan narkotika itu.
Semakin banyak barang yang dimiliki, hukumannya akan semakin berat. Namun, mekanisme tersebut masih berupa surat edaran MA dan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat.
”Surat edaran itu harus ditingkatkan ke level UU. Selama ini, implementasi surat edaran itu terkesan tidak dianggap oleh penegak hukum,” ujar Choky.
Akibat diberlakukannya UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jumlah pengguna dan pengedar narkotika yang dipenjara meningkat 2.847 persen dari tahun 2010-2017. Pada Desember 2010, jumlah tahanan dan terpidana narkotika 3.183 orang. Jumlah itu bertambah hingga 90.616 orang pada 2017.
Douglas Husak (2003) menyatakan, hukuman berdurasi lama terhadap pengguna narkotika tidak memiliki korelasi dalam mengurangi penggunaan narkotika.
Pada 2015, Badan Narkotika Nasional(BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia meriset, jumlah pengguna narkotika ada 3,8-4,1 juta orang atau memiliki prevalensi 2,10 persen dari total penduduk Indonesia pada 2014.
Angka prevalensi itu relatif stabil, yaitu 2,2 persen pada 2011. Kontribusi terbesar adalah pengguna coba pakai.
Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Baby Rivona mengatakan, pengguna coba pakai itu bisa semakin tertekan secara psikologis jika dihukum penjara.
”Ada stigma negatif yang disematkan masyarakat kepada mereka. Tidak mudah untuk kembali ke masyarakat setelah mereka dipenjara,” kata Baby.
”Pertama, mereka dinilai buruk karena menjadi pengguna narkoba. Kedua, mereka juga merupakan residivis yang menambah beban psikologis mereka,” kata Baby. ”Padahal, seharusnya para pengguna itu direhabilitasi saja. Bukannya dipenjara.”
Kamis siang, Mappi menyerahkan naskah akademik untuk merevisi UU tentang Narkotika kepada Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat. Choky mengharapkan UU itu direvisi supaya tidak salah sasaran dalam memidanakan seorang pengguna narkoba.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Firman Soebagyo menerima langsung naskah akademik tersebut. Ia mengatakan, narkotika telah menjadi perhatian pemerintah dan anggota Dewan.
Ia mengakui, UU itu masih lemah dan harus segera direvisi agar penindakan hukum itu jelas. Ia menambahkan agar penindakan hukum itu juga diberlakukan kepada aparat yang membiarkan peredaran narkotika itu terjadi.
”Kita harus memberi sanksi berat kepada aparat penegak hukum yang membiarkan itu. Bahkan, hukuman pun harus diberikan lebih berat karena adanya pembiaran itu,” kata Firman. (DD16)