Revisi UU Narkotika Akan Diprioritaskan
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak menutup mata terhadap kondisi darurat narkotika dan obat-obatan terlarang yang terjadi di Tanah Air. Terkait dengan hal itu, pemerintah berupaya mempercepat penyusunan draf revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tertunda karena pembahasan beberapa regulasi lain.
Dalam draf revisi itu, pemerintah akan menggunakan pendekatan dan paradigma baru dalam perang melawan narkoba. Pasal-pasal yang lebih tegas akan dimasukkan dalam draf revisi demi menanggulangi maraknya peredaran narkoba.
Di sisi lain, pemerintah merasa optimalisasi rehabilitasi pencandu serta program pendidikan dan pencegahan kepada masyarakat tentang bahaya narkoba juga harus dijalankan secara sinergis dengan penegakan hukum.
”Saya akan mengingatkan lagi pihak-pihak yang mengerjakan revisi UU Narkotika,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yassona H Laoly, Senin (5/3), di Jakarta.
Secara terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo juga menyatakan, lembaganya siap berjihad melawan narkoba. DPR, tambahnya, akan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan revisi UU Narkotika. Namun, jika pemerintah tidak kunjung menyelesaikannya, DPR akan mengambil inisiatif untuk merevisi UU tersebut dan akan menjadikannya sebagai usul inisiatif DPR.
”Revisi UU Narkotika penting karena aturan yang ada sekarang tak lagi bisa memberikan efek jera,” kata Bambang dalam pidato pembukaan masa persidangan DPR pada Rapat Paripurna DPR yang dihadiri 295 anggota dari total 560 anggota DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Revisi UU Narkotika penting karena aturan yang ada sekarang tak lagi bisa memberikan efek jera
Undang Dubes China
Menurut Bambang, pimpinan DPR akan meminta Badan Legislasi DPR untuk mengkaji beberapa ketentuan penting. Sejumlah ketentuan yang perlu dikaji dalam UU Narkotika itu antara lain percepatan eksekusi mati bandar narkoba. Selain itu, aturan perlunya pengguna narkoba direhabilitasi dipikirkan sehingga tidak dijadikan sebagai alat untuk memeras.
Tak hanya itu, Bambang mengatakan, pimpinan DPR pun meminta Komisi I DPR agar segera mengundang Duta Besar China untuk Indonesia. Ini penting untuk menjelaskan tentang masifnya penyelundupan narkoba dari China ke Indonesia.
Sebelumnya disebutkan, dalam dua bulan terakhir, aparat keamanan berhasil menggagalkan upaya penyelundupan hampir 3 ton sabu ke Indonesia.
Kondisi ini tak hanya mengundang perhatian Ketua DPR, tetapi juga sejumlah anggota DPR lain, seperti anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Henry Yosodiningrat, dan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPR, Reni Marlinawati. ”Saya mendukung jika UU Narkotika segera dibahas. Kita perlu pastikan Indonesia bebas narkoba,” ujar Reni.
Sementara itu, pemerintah memandang perang melawan narkoba tidak cukup dilakukan hanya melalui upaya yang bersifat punitif. Pengurangan jumlah pemakai melalui kampanye antinarkoba besar-besaran harus disusun sehingga pasar narkoba di dalam negeri menyusut. Pada akhirnya, hal ini nantinya memangkas masuknya narkoba ke Indonesia.
”Kalau mau serius memberantas narkoba, tidak bisa hanya menggantungkan pada penindakan semata, tetapi juga pencegahan dan pendidikan. Jangan sampai pasar narkoba di Indonesia ini terus membesar. Apabila pasar atau jumlah mereka yang menjadi pemakai narkoba tetap besar, hukum ekonomilah yang berlaku, yakni supply dan demand. Sepanjang masih ada permintaan, bandar narkoba internasional akan melakukan segala cara memasukkan barangnya ke sini,” kata Yasonna.
Yasonna juga akan bertemu dan berkoordinasi dengan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur Jenderal Heru Winarko guna membahas hal-hal krusial terkait dengan pemberantasan narkoba.
Pemerintah menyepakati usulan agar pemakai narkoba tidak dipidanakan, melainkan direhabilitasi. Pemenjaraan pemakai narkoba selama ini telah memberikan beban berat kepada negara lantaran lembaga pemasyarakatan (LP) kelebihan penghuni (overcrowded). Kondisi kelebihan penghuni itu sangat buruk di banyak LP, dan tidak diimbangi dengan ketersediaan petugas keamanan LP.
“Sekarang ini kondisinya sangat mengerikan, dan LP mana pun tidak mampu menampung (pemakai narkoba). Kita tidak punya kemampuan finansial menangani ini, karena kita tidak punya uang untuk membangun penjara baru dan merekrut pegawai baru,” tutur Yasonna.
Sekarang ini kondisinya sangat mengerikan, dan LP mana pun tidak mampu menampung (pemakai narkoba). Kita tidak punya kemampuan finansial menangani ini, karena kita tidak punya uang untuk membangun penjara baru dan merekrut pegawai baru
Fasilitas rehabilitasi bagi para pemakai narkoba pun diharapkan bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Jangan sampai hanya orang-orang tertentu dengan kemampuan finansial tinggi yang bisa mengakses bantuan rehabilitasi, sedangkan kelompok lainnya tidak menerima perawatan medis yang memadai.
Tim assesment
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choky Risda Ramadhan mengatakan, dalam salah satu usulan revisi UU Narkotika yang naskah akademiknya sedang disusun MaPPI dan sejumlah lembaga nonpemerintahan lainnya, keberadaan tim penilai atau assessment mendapatkan porsi utama. Tim penilai ini diusulkan beranggotakan ahli medis dan hukum, yang bertugas memilah dan menentukan apakah seseorang yang terkait dengan kasus narkoba itu merupakan pengguna ataukah bukan.
“Selama ini sudah ada tim assessment itu, tetapi dasar hukumnya adalah Peraturan Bersama tujuh kementerian/lembaga (BNN, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kemenhukam). Dasar hukum ini kurang kuat, sehingga dalam tataran implementasi kurang optimal. Banyak penegak hukum tidak memahami atau tak acuh karena tidak diatur dalam UU,” kata Choky.
Di dalam revisi UU Narkotika, tim penilai diusulkan agar diperkuat perannya guna membantu penegak hukum memilah pengguna narkoba dari pengedar atau bandar. Mereka yang tergolong pengguna bisa segera mendapatkan fasilitas rehabilitasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya, tanpa perlu menunggu proses hukum.
Selain itu, MaPPI memandang perlu agar seluruh perkara narkotika didampingi oleh penasihat hukum. Pelanggaran prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial) kerap terjadi dalam kasus yang menyangkut narkotika karena adanya stigma kepada para pengguna narkoba.
(REK/APA/AGE)