Jakarta, Kompas – Kementerian Kesehatan merespon cepatnya perkembangan narkotika jenis baru dengan menerbitkan peraturan menteri kesehatan tentang penggolongan narkotika secara berkala. Sebuah kajian ilmiah oleh komite nasional yang merupakan perwakilan sejumlah lembaga pemerintah, akademisi, dan profesi tenaga kesehatan menjadi dasarnya.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang, Senin (5/3).
Linda mengatakan, sepanjang 2017 lalu Kemenkes telah mengeluarkan tiga peraturan menteri kesehatan (Permenkes) tentang penggolongan narkotika, yakni Permenkes Nomor 2, 41, dan 58 serta dua permenkes tentang penggolongan psikotropika, yaitu Permenkes Nomor 3 dan 57. Ini merupakan upaya merespon kecepatan perkembangan
“Perubahan permenkes tentang penggolongan narkotika yang terbaru akan segera keluar. Sekarang sedang dalam proses pengundangan,” kata Linda.
Menentukan apakah satu zat termasuk dalam narkotika golongan I, II, atau III tidaklah mudah. Apalagi jika zat tersebut masih digunakan dalam pelayanan kesehatan. Setiap zat yang diusulkan masuk dalam narkotika golongan I kemudian akan dilihat karakternya yang meliputi aspek fisika, farmakokinetik, farmakodinamik, juga dilihat apakah dipakai untuk pelayanan kesehatan atau tidak.
Apabila ada jenis narkotika tertentu yang dipakai untuk obat tapi sering disalahgunakan maka tidak bisa begitu saja dilarang. Hak pasien untuk mendapatkan pengobatan perlu juga diperhatikan.
Oleh karena itu, dalam menentukan golongan Kemenkes membentuk Komite Nasional yang terdiri dari perwakilan sejumlah lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), juga tenaga kesehatan.
Merujuk apa yang disampaikan oleh BNN bahwa ada delapan narkotika jenis baru yang belum digolongkan ke dalam narkotika berdasarkan permenkes (Kompas, 23/02/2018), Linda menyatakan, lima di antranya sudah masuk dalam golongan narkotika menurut Permenkes 58 Tahun 2018, yakni mimosa tenuiflora, ayahuasca, 4-chloro alpha pvp, n-etilheksedrone, dan FDU-FB 22.
Tiga jenis lainnya yakni kratom, ketamin, dan alphapropylamino-penthiophenone. Untuk kratom saat ini sudah ada kajian dan masih perlu pembahasan lebih lanjut. Sedangkan ketamin di Indonesia saat ini masih tergolong obat keras, masuk dalam Formularium Nasional, dan masih dipakai untuk pelayanan kesehatan. Adapun alphapropylamino-penthiophenone akan dibahas tahun 2018 ini.(ADH)