Jurang Persepsi antara Pemerintah dan Pelaku Serta Korban
Oleh
Edna Caroline
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sementara pemerintah berwacana tentang persatuan dan visi keindonesiaan, para pelaku dan korban terorisme berharap dukungan nyata berupa bantuan kesehatan, beasiswa, dan pekerjaan. Pemerintah diharapkan merealisasikan janji-janjinya.
Perbedaan persepsi ini membutuhkan upaya keras pemerintah untuk merealisasikan janji dan membuat penyelesaian yang nyata dan komprehensif. Hal ini terlihat jelas dalam forum tanya jawab dalam acara Silaturahmi Kebangsaan NKRI-Satukan NKRI yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rabu (28/2).
Dalam acara yang mempertemukan 124 mantan pelaku terorisme dan 51 korban terorisme, hadir beberapa pejabat Negara, yaitu Menko Polhukam Wiranto, Menristek Dikti Muhammad Nasir, Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Chusnul Khotimah yang merupakan korban bom Bali I meminta pemerintah memudahkan korban memperoleh pelayanan rumah sakit. Ia berharap ada jaminan kesehatan dari Kementerian Kesehatan untuk seumur hidup.
Selama 15 tahun ini, ia berobat dengan biaya sendiri. Setelah terus-menerus meminta bantuan, dua tahun yang lalu ia mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dengan antusias ia lalu ke rumah sakit untuk mengobati keloidnya. Ternyata KIS tidak bisa digunakan untuk mengobati keloid karena dianggap kebutuhan untuk kecantikan. Chusnul juga meminta asuransi kesehatan untuk anak-anaknya karena setelah tragedi bom Bali ia tidak bisa bekerja. ”Saya single parents, tidak bisa kerja dan menjadi cacat seumur hidup,” kata Chusnul.
Fifi Norma Sari, korban bom Marriott, bahkan mengatakan, dari total 1107 korban terorisme selama belasan terakhir ini, ada 335 orang yang mengajukan permohonan. Sebagian besar terkait dengan kebutuhan medis. ”Di Jakarta saja, dari 46 korban hanya tiga orang yang dapat layanan kesehatan dari pemerintah,” kata Fifi.
”Di Jakarta saja, dari 46 korban hanya tiga orang yang dapat layanan kesehatan dari pemerintah,” kata Fifi.
Fifi juga meminta bantuan dari Kementerian UKM. Menurut dia, banyak korban yang menjadi penyandang disabilitas seumur hidup. Beberapa bahkan sudah belasan tahun menganggur. ”Sudah 15 tahun berjalan, belum ada juga layanan psikososialnya. Korban bom banyak yang kena PHK karena dianggap tidak mampu bekerja,” ujar Fifi.
Achmad Yurianto selalu Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan yang diminta menanggapi hal ini mengakui memang masih ada kelemahan dari sisi penanganan aspek medis. Ia berharap forum yang diadakan BNPT ini bisa menemukan jalan keluar, di mana ada koordinasi penangan semua aspek dalam bidang kesehatan. Sementara, Menristik dan Dikti Nasir mengatakan, bagi para korban dan pelaku, anaknya akan diberikan beasiswa kuliah.
Deradikalisasi
Syaiful Amir, warga Parepare yang pernah menjadi narapidana dalam kasus terorisme, mengatakan, ia meminta ada definisi yang jelas dan informasi yang valid. Jangan hanya karena ada irisan kekeluargaan, seseorang bisa menjadi terpidana terorisme. Ia mempertanyakan apakah hak-hanya sebagai warga negara masih ada. Menurut dia, untuk bisa terus menjadi warga masyarakat, dibutuhkan juga kehadiran negara secara nyata. ”Apa kami bisa lapor ke Kementerian Sosial atau mendapat beasiswa,” katanya.
Upaya deradikalisasi kerap kali hanya menjadi pameran kepada publik, tanpa realisasi yang nyata. Ali Fauzi, pimpinan Yayasan Lingkar Perdamaian di Lamongan yang juga adik Ali Guhfron dan Ali Imron, mengatakan, ia tidak ingin ada dendam. Namun, ketika ia ingin bangkit dan hidup sebagai warga biasa berbagai tantangan menerpa. Beberapa waktu lalu, setelah diekspos media bahwa Yayasan Lingkar Perdamaian mendapat dana bantuan pemerintah Rp 300 juta, ternyata tidak ada yang sampai kepada dirinya karena dianggap tidak layak.
Beberapa waktu lalu, setelah diekspos media bahwa Yayasan Lingkar Perdamaian mendapat dana bantuan pemerintah Rp 300 juta, ternyata tidak ada yang sampai kepada dirinya karena dianggap tidak layak.
Ali Fauzi juga menggarisbawahi bahwa banyak teroris yang sudah tidak radikal butuh pekerjaan untuk hidup. Ia berusaha membantu mereka lewat yayasan yang ia dirikan. Kalau mereka mengganggur, tidak saja kebutuhan ekonomi tidak terpenuhi, tapi juga stres. Ali mengucap terima kasih pada Polres Tuban dan Lamongan yang mencarikan pekerjaan. ”Tapi ini, kan, harusnya bagian kerja Kemenaker, beri kami kail dan jala biar kami bisa ambil ikan sendiri,” kata Ali.
Merespons permintaan para mantan pelaku terorisme ini, baik Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dan Menteri Sosial Idrus Marham mengatakan, pihaknya siap memfasilitasi. Hanif meminta ia diberikan data, termasuk kompetensi dari para mantan pelaku dan korban yang menyandang disabilitas ini biar bisa disalurkan ke perusahaan-perusahaan.
Sementara, Idrus Marham menekankan tentang kesenjangan antara niat berbangsa dan pentingnya kesatuan visi sebagai Indonesia. Ia baru mendapat sambutan tepuk tangan dari hadirin ketika menyatakan komitmennya untuk memberi bantuan sosial dan beras serta modal.
Menko Polhukam Wiranto membanggakan penanganan terorisme di Indonesia. Menurut dia, penanganan terorisme dengan pendekatan lunak atau soft approach lebih tepat sasaran. Dibanding hard approach atau pendekatan keras, pendekatan lunak lebih efektif. Ia mengharapkan, sejumlah instansi pemerintah merealisasikan janji-janjinya.