BNN Telusuri Aset Pencucian Uang Rp 6,4 Triliun di Luar Negeri
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Narkotika Nasional mengungkap tindak pidana pencucian uang dengan nilai transaksi Rp 6,4 triliun. Praktik pencucian uang ini terkait dengan peredaran narkoba. Badan Narkotika Nasional menjadikan temuan ini sebagai jalan untuk mengungkap sindikat pengedar narkoba yang terindikasi masuk jaringan internasional.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Arman Depari di Jakarta, Rabu (28/2), menyatakan, BNN akan menelusuri aliran dana dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari tiga tersangka yang telah ditangkap pertengahan Februari lalu. BNN mengamankan tersangka di tempat dan waktu yang berbeda. Tersangka utama Devy Yuliana ditangkap pada Selasa (13/2), Fredy Hersonusa Putra sehari setelahnya, dan Hendy Rumli sehari sebelumnya.
Arman menjelaskan, kasus ini merupakan kejahatan lintas negara. Transaksi keuangan yang dilakukan menyasar 14 negara, di antaranya China, India, Jerman, hingga Australia. Tersangka menggunakan beberapa karyawannya yang berada di dalam dan luar negeri untuk membuka rekening di negara tujuan. Modus operandi yang digunakan adalah dengan memalsukan invoice atau tanda terima transaksi impor fiktif dari perusahaan tersebut.
Sambil memamerkan barang bukti, Arman berujar, dari Rp 6,4 triliun uang yang tersebar, hampir semuanya berada di luar negeri. Saat ini BNN telah menyita beberapa aset dengan jumlah lebih kurang Rp 65,9 miliar, yang terdiri dari uang tunai, apartemen, mobil, rumah, serta sebidang tanah di Jakarta Selatan.
BNN mengindikasi TPPU ini masuk ke dalam jaringan narkotika internasional, karena beberapa pihak yang terlibat pencucian uang merupakan bandar narkoba. Beberapa bandar yang berkaitan dengan tersangka dalam kasus ini adalah Togiman alias Toge, Pony Chandra, dan Fredy Budiman. Ketiganya merupakan bandar besar narkotika yang telah ditangkap dan diadili.
Oleh karena itu, tutur Arman, BNN menjadikan ini sebagai jalan untuk mengungkap sindikat narkotika internasional karena hampir semua aset TPPU ini berada di luar negeri. Untuk mendapatkan itu, lembaga ini akan menjalani proses Mutual Legal Assistance in Criminal matters atau pertukaran informasi antar negara untuk menegakkan hukum.
“Kami akan telusuri dengan melihat transaksi di luar negeri. Apakah mereka yang di luar negeri merupakan pembeli atau produsen. Dengan pengungkapan ini kami berharap sindikat akan runtuh, karena uang yang dimiliki sangat besar. Tidak hanya follow the man, kami juga follow the money,”tuturnya.
Selain BNN, konferensi pers ini dihadiri oleh pihak-pihak dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Direktorat Tindak Pidana bidang ekonomi, keuangan, dan khusus (Tipideksus).
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menyatakan, transaksi narkotika menempati posisi kedua dalam TPPU setelah Korupsi, lalu menyusul penggelapan pajak di posisi ketiga. Dengan nilai mencapai Rp 6,7 triliun, angka ini merupakan yang terbesar dari kasus narkotika.
Direktur Pemeriksaan dan Riset Ivan Yustiavandana menambahkan, PPATK melihat lebih dari 5.000 transaksi yang dilakukan oleh tersangka dalam waktu 2 tahun. Dana sebesar Rp 6,4 triliun ini sendiri berasal dari Informasi Hasil Pemeriksaan (IHP) PPATK dari PT Prima Sakti Sejahtera (PT PSS) dengan 2.136 invoice fiktif.
Transaksi yang bersentuhan dengan sistem perbankan mengharuskan adanya tagihan, sehingga para tersangka memalsukan itu. Dari penelusuran tersebut, ujar Ivan, ada irisan antara penerima dana dengan tersangka pada kasus narkotika sebelumnya.
Identitas palsu
Arman menjelaskan, BNN bekerja lebih dari satu tahun mengungkap kasus ini karena tersangka sering berganti identitas. Hal ini membuat sulitnya mengidentifikasi jika hanya melihat dari rekening dan aset-aset di lapangan.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Irjen Pol Rokhmad Sunanto dalam konferensi pers menambahkan, identitas yang masih mudah dipalsukan membuat OJK sulit melihat keaslian dari kartu identitas tersangka. Ia berharap, rancangan satu identitas melalui e-KTP bisa dilaksanakan dengan efektif untuk mengurangi kejahatan perbankan.
“Kalau dilihat asli, tapi ternyata palsu. Satu orang bisa banyak identitas. Kalau dengan e-KTP, semuanya terkoneksi, mulai dari Kepolisian hingga Imigrasi,” tuturnya. (DD12)