Jokowi Bidik Pendamping, Tokoh Islam atau Ekonom?
Elektabilitas Presiden Joko Widodo semakin membubung. Peluang untuk menjabat dua periode pada 2019-2024 sangat besar. Meski begitu, pilihan calon wakil presiden harus tepat karena isu Islam dan ekonomi menjadi senjata lawan pada Pemilihan Umum 2019.
Seusai Rapat Kerja Nasional PDI-P, Minggu lalu, di Denpasar, Jokowi resmi diusung kembali menjadi calon RI-1 oleh partai politik berlambang banteng itu. PDI-P merupakan partai kelima di dalam Parlemen yang mengusung Jokowi pada Pemilihan Presiden 2019 setelah Partai Golkar, Nasdem, Hanura, dan PPP. Ada pula dua parpol baru yang ikut ambil bagian, yakni Partai Solidaritas Indonesia dan Partai Persatuan Indonesia.
Jumlah dukungan itu terlihat sangat solid. Apalagi, dukungan masih bisa bertambah mengingat PKB, PAN, dan Partai Demokrat, serta dua parpol baru, Partai Berkarya dan Partai Garuda, belum menentukan arah. Sementara itu, di sisi lain Partai Gerindra baru memastikan koalisinya dengan PKS.
Banyaknya dukungan kepada Jokowi diikuti dengan tingginya elektabilitas dan kepuasan publik pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Tren itu terlihat pada survei terbaru Alvara Research Center. Survei itu dilakukan terhadap 2.203 responden sesuai kondisi demografi Indonesia dengan margin error 2 persen.
Disebutkan, kepuasan publik mencapai 77,3 persen. Hal yang mendorong kepuasan itu antara lain telekomunikasi dan internet, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi publik, serta kebebasan berpendapat. Mayoritas publik, sejumlah 68,4 persen, masih ingin dipimpin Jokowi pada 2019-2024.
Kepuasan tersebut turut mendorong elektabilitas. Jokowi memiliki elektabilitas 56,4 persen, disusul pesaingnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan 29,9 persen. Dua tokoh ini meninggalkan jauh peringkat ketiga, Agus Harimurti Yudhoyono yang hanya 2,6 persen.
Direktur Alvara Research Center Hasanuddin Ali, saat ditemui, Minggu (25/2), meyakini, Jokowi tetap menjadi kandidat terkuat untuk memenangi Pilpres 2019. Hal itu bisa dilihat dari kokohnya elektabilitas mantan Wali Kota Solo itu yang menembus 50 persen.
”Masalahnya hanya satu, Jokowi ingin menang mudah atau menang susah? Bila ingin menang mudah harus cermat dalam memilih cawapres” kata Ali.
Isu ekonomi
Menurut Ali, isu ekonomi perlu diprioritaskan dalam penentuan cawapres. Hal itu karena rekor kurang baik pemerintahan Jokowi-JK dalam masalah ekonomi. Tercatat, tiga sektor terendah dalam tingkat kepuasan adalah stabilitas harga kebutuhan pokok 55,7 persen, pengentasan rakyat dari kemiskinan 58,1 persen, dan kemudahan lapangan kerja 59,8 persen.
Permasalahan ekonomi itu, kata Ali, belum terselesaikan dalam tiga tahun lebih pemerintahan, terutama harga kebutuhan pokok yang sangat berpengaruh pada inflasi. Pada awal 2018, pemerintah harus mengimpor 500.000 ton beras untuk menurunkan harga beras. ”Kebijakan pembangunan infrastruktur tidak berdampak langsung pada pengentasan rakyat dari kemiskinan,” katanya.
Untuk itu, cawapres berlatar belakang ekonomi dapat dipertimbangkan. ”Kandidat yang berlatar ekonomi, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani (SMI), serta pengusaha media, Chairul Tanjung (CT) atau Hary Tanoesoedibjo (HT),” kata Ali.
Meski demikian, ketiga nama itu tidak memiliki nilai jual tinggi dalam elektabilitas cawapres, antara lain HT sebesar 5,6 persen, SMI sebesar 2,1 persen, sedangkan CT belum masuk bursa cawapres.
Ali menyarankan, pemilihan cawapres berbasis ekonomi sebaiknya dilakukan saat Jokowi sudah yakin menang. Kejadian itu seperti mengulang momen Pilpres 2009 saat presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mengusung Boediono sebagai cawapres.
”Pencalonan Boediono yang dari kalangan ekonomi itu dilakukan setelah SBY sudah yakin menang. Semua tergantung dari kepercayaan diri Jokowi,” kata Ali.
Isu Islam
Keyakinan untuk mengusung cawapres dari kalangan ekonomi itu penting. Sebab, di lain sisi Jokowi menghadapi isu populisme agama yang diperkirakan lebih masif dari 2014. Pada pilpres sebelumnya, tuduhan komunis dan anti-Islam sering dilemparkan kubu lawan.
Sepanjang menjabat pun, Jokowi masih terbelenggu tuduhan anti-Islam, terutama dari pergerakan media sosial. Teranyar, kehebohan ketika Jokowi menjadi imam saat shalat di Afghanistan. Banyak yang tidak percaya dan menuduh shalat tersebut diulang karena Jokowi salah saat menjadi imam.
Selain itu, kubu satunya, dikonfirmasi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono, partainya siap kembali mencalonkan Prabowo sebagai capres. Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpeluang mendampinginya sebagai cawapres.
Kekhawatiran dari Jokowi seharusnya lebih besar mengingat isu populisme agama yang dimainkan Anies-Sandiaga Uno sukses menggulingkan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada 2017.
Menurut Ali, peluang besar dimiliki Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar atau kerap disapa Cak Imin. Ali menilai Cak Imim memiliki pergerakan Islam dari akar rumput sampai elite. ”Cak Imin juga luas komunikasinya dengan komunitas Islam lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Islam yang agak kanan pun masih bisa dimasuki,” katanya.
Adapun dalam survei, Cak Imin merupakan tokoh Islam dengan elektabilitas tertinggi untuk menjadi cawapres, sebesar 21,7 persen. Jumlah itu di atas Anies dengan 14,9 persen. Sementara secara umum, elektabilitas Cak Imin menjadi cawapres sebesar 8,9 persen.
Cak Imin juga menjadi tokoh NU dan santri Indonesia paling layak menjadi cawapres, mengungguli Mahfud MD. Kedekatan dengan NU itu membawa keuntungan karena 66,2 persen dari 92 persen masyarakat Islam Indonesia mengaku memiliki kedekatan dengan NU.
Menanggapi kemungkinan mendampingi Jokowi, Wakil Sekretaris Jenderal PKB Nihayatul Wafiroh membenarkan adanya permintaan dari kelompok Nahdiyin agar Cak Imin mendampingi Jokowi.
”Cak Imin, kan, termasuk golongan muda dan religius nasionalis yang dianggap bisa mewakili masyarakat Indonesia. Itu juga yang menjadi harapan masyarakat untuk mendampingi Jokowi,” ucapnya.
Nihayatul mengatakan akan menampung aspirasi itu. Meski demikian, PKB belum memutuskan masalah pencalonan. Keputusan akan dikeluarkan paling lambat Juni 2018 setelah mekanisme musyawarah pimpinan internal PKB.
Islam militer
Dari segi elektabilitas cawapres keseluruhan, tokoh dengan peringkat teratas adalah AHY dengan 17,2 persen dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dengan 15,2 persen. Diikuti Anies dengan 9,3 persen.
Selain itu, duet sipil-militer merupakan yang paling diinginkan dengan 93,2 persen atau sedikit di atas nasionalis-Islam dengan 89,9 persen.
Menurut Ali, AHY dan Gatot berpeluang untuk mendampingi Jokowi. Hal itu karena keduanya dapat memenuhi kebutuhan sipil-militer dan mengurangi sensitif Islam terhadap petahana.
Harapan lebih besar terletak pada Gatot. Dia merupakan sosok cawapres yang paling diinginkan untuk mendampingi Jokowi, di atas Cak Imin. Ali menilai Gatot memiliki massa Islam yang solid. Hal itu dibuktikan saat masih menjadi Panglima TNI.
Sementara itu, AHY tidak kuat dalam basis Islam. Dia dinilai sebagai tokoh muda dan berlatar militer. Akan tetapi, SBY dekat dengan kelompok Islam. ”SBY yang akan menolong dari sisi Islam. Tetapi kembali lagi, apakah antara Megawati dan SBY sudah tidak ada masalah?” ucapnya.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan, masih membuka pintu untuk seluruh kemungkinan kerja sama. Namun, belum ada waktu pasti terkait pertemuan dengan PDI-P dan Jokowi untuk membahas permasalahan pilpres.
Agus menambahkan, aspirasi dari kader Demokrat ingin agar AHY menjadi pemimpin, baik capres maupun cawapres. Untuk itu, pengukuhan pencalonan AHY pada Pilpres 2019 akan dilakukan pada rakernas 11-12 Maret nanti. Menurut rencana, Jokowi akan diundang dalam acara itu.
Partai pengusung
Parpol pengusung lebih menyerahkan keputusan cawapres kepada Jokowi. Sekjen PPP Arsul Sani mengucapkan, sebagai parpol pendukung, PPP memberi kriteria kombinasi nasionalis agamis. Masalah pemilihan tokoh diserahkan langsung kepada Jokowi dengan proses musyawarah dengan parpol lainnya.
”Kriteria itu sesuai dengan narasi besar NKRI yang dibangun dengan nasionalisme dan agama. Sejak Bung Karno dan Bung Hatta, itu dimulai. Meski sempat terhenti pada Orde Baru, formasi itu kembali digunakan setelah reformasi,” kata Arsul.
Arsul menambahkan, PPP tidak ingin memaksa masuk dalam bursa cawapres. Adapun tokoh Islam sekaligus Ketum PPP Muhammad Romahurmuziy belum mampu muncul dalam 10 besar bursa cawapres.
Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan, pemilihan cawapres merupakan hak Jokowi. Belum ada rencana untuk mengajukan Ketum Golkar Airlangga Hartarto untuk menjadi cawapres.
”Kami serahkan ke beliau (Jokowi). Kriterita juga tidak ada, kami serahkan seutuhnya. Kami fokus untuk menghadapi Pilkada 2018 dan mengusung Jokowi pada Pilpres 2019,” kata Lodewijk.
Sebelum Rakernas PDI-P dimulai, Jokowi sudah intens berkomunikasi dengan sejumlah ketua umum partai pendukungnya. Pekan ini, secara berturut-turut, Jokowi bertemu tiga parpol, yaitu PAN, PDI-P, dan PPP, terkait sosok cawapres. Jokowi mengatakan, pendampingnya sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2019 baru akan ditentukan kriterianya setelah ia bertemu serta bersepakat dengan PDI-P dan partai pengusung lainnya (Kompas, 22/2).
Adapun pendaftaran capres dan cawapres 2019 akan dibuka pada 4-10 Agustus 2018. Sementara itu, pelaksanaan pilpres akan serentak dengan pilkada pada April 2019.
Sejauh ini, Jokowi bisa sedikit tenang dengan rekor mumpuninya dalam pemilihan umum. Sejak mengawali debut menjadi Wali Kota Solo sampai Gubernur Jakarta, dan akhirnya menjadi Presiden, dia tidak pernah kalah sekali pun. Bahkan, saat periode kedua pemilihan di Solo, Jokowi mendapatkan sekitar 90 persen suara, atau salah satu perolehan tertinggi dalam pilkada.
Namun, jangan sesumbar karena Prabowo dan mesin partainya belum bergerak. Mungkin saja, kejadian 2014 terulang saat elektabilitas Jokowi perlahan-lahan terkejar mendekati pemilu. Apalagi, Gerindra punya bintang baru yaitu Anies.
Jokowi masih memiliki waktu sekitar satu tahun untuk memperbaiki pekerjaan rumahnya, seperti masalah ekonomi. Bila persoalan ekonomi terselesaikan, tentunya mantan pengusaha kayu ini bisa menentukan sendiri nasibnya, ingin cawapres berlatar ekonomi atau Islam, menang susah atau mudah? (DD06)