Lebih dari 400 Orang TKI Meninggal dalam Dua Tahun Terakhir
JAKARTA, KOMPAS - Dua tahun terakhir, jumlah kematian tenaga kerja Indonesia di luar negeri atau pekerja migran meningkat. Sepanjang 2016 hingga Januari 2018, tercatat lebih dari 400 orang tenaga kerja Indonesia meninggal dunia. Penyiksaan dan kecelakaan kerja tercatat menjadi penyebab utama kematian tenaga kerja Indonesia.
Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), secara keseluruhan, jumlah pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di seluruh negara penempatan pada tahun 2016 adalah 190 orang. Sementara TKI yang meninggal pada tahun 2017 adalah 217 orang. Pada tahun ini, sampai dengan bulan Januari tercatat sudah ada 21 orang TKI meninggal dunia.
“Angka tersebut fluktuatif. Sekitar 60-70 persen meninggal karena sakit, sisanya kecelakaan kerja,” kata Kepala Bagian Humas BNP2TKI, Servulus Bobo Riti, saat dihubungi, di Jakarta, Rabu (21/2). Menurut dia, korban yang meninggal akibat disiksa majikan, juga akan masuk ke dalam kategori sakit.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan, laporan jumlah TKI yang meninggal meningkat karena berbagai faktor. Misalnya, kesadaran masyarakat yang semakin meningkat sehingga mereka semakin sadar untuk melapor.
Faktor lainnya adalah belum adanya perubahan yang signifikan dari tata kelola migrasi pekerja dari negara asal ke negara tujuan. “Mekanisme perekrutan pekerja masih tidak sesuai prosedur dan pengawasan masih diwarnai suap dan korupsi oleh pejabat terkait,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Migrant Care, mayoritas penyebab kematian pekerja migran adalah karena kecelakaan kerja dan kekerasan majikan. Namun, laporan banyak berisi keterangan penyebab kematian yang tidak lengkap.
Ia menambahkan, kebanyakan TKI yang meninggal berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pekerja migran yang baru-baru ini meninggal dunia, Adelina Jemirah Sau (20). Adelina meninggal di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Penang, Malaysia, Minggu (11/2).
Menurut Wahyu, ia merupakan korban kesembilan dari kematian beruntun buruh migran Indonesia asal NTT di tahun 2018 ini hingga bulan Februari. Sebelumnya, terdapat 46 korban asal NTT meninggal tahun 2016 dan 62 korban meninggal tahun 2017.
Adapun korban meninggal terbaru lainnya adalah Stanis Meo (25), juga berasal dari NTT. Ia meninggal akibat disiram air keras oleh majikannya di Kinabalu, Malaysia Timur, pada Minggu (18/2). Stanis merupakan buruh di perkebunan kelapa sawit. (Kompas, 21/2)
Menurut Wahyu, terjadi peningkatan migrasi pekerja dari NTT selama 10 tahun terakhir. Jika sebelumnya tradisi migrasi yang dilakukan berdasarkan asas kekerabatan, saat ini pekerja migran menggunakan jasa agen.
Akan tetapi, agen-agen tersebut dinyatakan juga merekrut calon pekerja di bawah umur karena dinilai lebih produktif daripada calon pekerja usia dewasa. Hal tersebut membuat calon menjadi pekerja ilegal sehingga mereka berpotensi besar untuk luput dari pengawasan pemerintah yang juga masih lemah.
Adelina dinilai merupakan salah satu contoh kasus dimana perekrutan dilakukan di bawah umur. “Banyak kasus serupa, yaitu perekrutan di bawah umur, terjadi di NTT. Saya tidak tahu apakah karena pengaruh budaya, sehingga orang tua kebanyakan tidak melaporkan setelah diberikan uang sirih pinang,” kata Wahyu.
Servulus menambahkan, status Adelina sebagai pekerja migran ilegal dan korban perdagangan manusia masih dikaji lebih jauh. Secara hukum, batasan umur minimal pekerja informal, seperti asisten rumah tangga, adalah 21 tahun. Sementara pekerja di sektor formal adalah 18 tahun.
“Data yang kami peroleh dari KJRI Penang menemukan paspor dan KTP Adelina menyatakan ia lahir pada 27 April 1992,” tutur Servulus. Hal itu berarti, Adelina secara administrasi tidak bekerja secara ilegal. Kendati demikian, BNP2TKI sama sekali tidak memiliki catatan terkait Adelina.
Adapun pihak keluarga Adelina menyatakan, Adelina berusia 17 tahun saat pertama kali berangkat pada Agustus 2015 oleh calo (Kompas, 19/2). Calo tersebut membawanya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Calo juga memberikan uang Rp 500.000 kepada orang tua Adelina, yang dinyatakan sebagai uang sirih pinang atau uang adat. Nama Adelina kemudian diubah saat ke luar negeri menjadi Adelina Lisao.
Berkas akan dilimpahkan
Terkait kematian Adelina, Pemerintah Indonesia menyatakan akan mengawal terus persidangan kasus ini. Berkas perkara Adelina akan segera dilimpahkan oleh kepolisian Malaysia kepada jaksa penuntut umum. Saat ini, enam orang telah ditangkap terkait dugaan penyiksaan yang mengakibatkan Adelina meninggal.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyatakan, pemerintah melalui staf di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) untuk Malaysia terus berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan Malaysia. “Saat ini, baru ditetapkan tiga tersangka di Malaysia,” kata Iqbal. Pemerintah menyatakan akan terus memastikan proses hukum untuk Adelina terus berjalan demi keadilan.
Adapun tiga tersangka perekrut Adelina, kini ditahan di Markas Polres Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka diduga memberangkatkan Adelina secara ilegal dan memalsukan usia. Ketiga tersangka itu adalah FL, HP, dan JD. (Kompas, 20/2)
Iqbal melanjutkan, keluarga Adelina telah mendapatkan kompensasi dalam bentuk uang pada hari ketiga setelah kejadian. Tetapi, ia tidak menyebutkan berapa jumlahnya.
Sebelumnya, kasus Adelina menjadi perhatian setelah diketahui oleh anggota Parlemen Malaysia dari Bukit Mertajam, Steven Sim Chee Kong. Menurut Wahyu , hasil identifikasi fisik setelah meninggal (postmortem) menunjukkan bekas cedera berbentuk parut di belakang tangan kiri dan bekas cedera berbentuk gigitan di belakang tangan kanan.
Ada juga bekas cedera luka terkena bahan kimia, seperti asam, di kedua kaki. Selain itu, terdapat infeksi kulit pada kedua paha atas Adelina. Hasil pemeriksaan dokter Amir Saad bin Abdul Rahim di Malaysia, tutur Wahyu, adalah korban meninggal karena multiorgan failure secondary to anemia atau kegagalan fungsi organ akibat kekurangan darah. Kemungkinan besar korban diabaikan ketika terluka.
Malaysia belum serius
Wahyu menilai, kerap terjadinya masalah penyiksaan majikan terhadap TKI seperti di Malaysia, menunjukkan bahwa negara tersebut belum serius untuk melanjutkan nota kesepahaman terkait perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) dengan Indonesia.
Data dari BNP2TKI menyebutkan, dari sekitar 200 kasus kekerasan TKI selama tahun 2017, 69 kasus berasal dari Malaysia. Untuk tahun 2016, terdapat 72 kasus kekerasan TKI di negeri jiran ini.
Dalam nota kesepahaman tersebut, terdapat empat kewajiban utama yang harus ditunaikan oleh majikan dari Malaysia. Empat kewajiban itu adalah pekerja migran berhak memegang paspor, memeroleh hari libur, berorganisasi, dan dibayar sesuai standar upah.
Ia mengatakan, para majikan di Malaysia cenderung keberatan dengan isi nota kesepahaman tersebut sehingga masih enggan untuk diperbaharui kendati Indonesia telah menyampaikan draf perjanjian bilateral baru sejak berakhirnya nota kesepahaman pada Mei 2016.
“ASEAN Consensus on Protection and Promotion on Human Rights of Workers yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga harus dijadikan dasar dalam pembuatan nota kesepahaman yang baru,” tutur Wahyu. (DD13)