JAKARTA, KOMPAS – Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada para calon kepala daerah dinilai tidak mengganggu proses demokrasi langsung yang tengah berjalan di masyarakat. OTT justru dapat memberikan pembelajaran kepada masyarakat untuk mengetahui kepribadian calon pemimpin di daerahnya.
“OTT itu kewenangan KPK. Tidak perlu dipersoalkan. Justru dengan OTT semestinya para penyelenggara negara harus intropeksi diri, karena perilakunya selalui diawasi KPK. OTT tidak mengganggu demokrasi, justru bagus, karena masyarakat tahu perilaku tidak terpuji dari kepala daerahnya,” ujar Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani saat ditemui di Kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (12/2).
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pada Minggu (11/2) KPK melakukan OTT terhadap Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae terkait dugaan kasus korupsi beberapa proyek pembangunan di Ngada senilai Rp 54 miliar. Marianus merupakan calon gubernur NTT yang diusung PDI-P dan PKB.
Satu pekan sebelumnya, KPK juga melakukan OTT terhadap Nyono Suharli Wihandoko yang juga merupakan calon bupati Jombang. Nyono diduga melakukan korupsi dana kapitasi BPJS Kesehatan.
Saat ditangkap, Nyono merupakan Ketua Dewan Pimpinan Partai Golkar Provinsi Jawa Timur. Selain didukung Golkar, Nyono juga diusung PKB, Nasdem, PKS, dan PAN.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan, ada dugaan tindakan korupsi yang dilakukan dua kepala daerah tersebut terkait dengan pembiayaan pencalonan mereka di pilkada serentak 2018.
”Pesan kami di KPK adalah tolong teman-teman yang ikut di dalam proses pilkada, terutama yang masih menjabat (petahana), tolong dijaga betul agar tidak menggunakan dana publik, dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk membiayai mereka di dalam pilkada,” kata Agus.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menilai, biaya politik yang tinggi membuat para kepala daerah kerap terjerat kasus korupsi. Tito menyebut biaya yang harus dimiliki oleh calon kepala daerah paling sedikit Rp 20 milyar. Untuk itu, ia mengusulkan adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pilkada langsung.
Dipilih DPRD
Terkait adanya wacana pemilihan kepala daerah yang dilakukan kembali dengan mekanisme dipilih oleh DPRD, Arsul Sani menilai itu hal yang tepat.
“Kalau itu (pemilihan kepala daerah oleh DPRD) saya setuju secara pribadi, karena mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya. Manfaatnya itu kan hanya 5 tahunan saja (pesta demokrasi), toh masyarakat pada akhirnya bukan memilih kepala daerah yang terbaik juga kan,” kata Arsul.
Senada dengan Arsul, anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Eva Kusuma Sundari menilai, pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih tepat diterapkan di Indonesia saat ini. Hal itu mengingat kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang belum sejahtera. Dengan kondisi demikian, masyarakat cenderung memilih calon pemimpin berdasarkan uang yang diberikan kepada masyarakat, bukan program yang ditawarkan.
“Biarkan yang gila 40 orang (rata-rata jumlah anggota DPRD) kalau memang gila, tetapi jangan semuanya memanfaatkan kesempatan ini (pilkada langsung) untuk memeras, sehingga tidak peduli pemimpinnya jelek atau bagus, pokoknya yang memberi duit itu yang dipilih,” ujar Eva.
Menurutnya, sistem pemilihan kepala daerah langsung dapat berjalan baik ketika kesejahteraan masyarakat sudah baik. Kesejahteraan masyarakat yang baik juga harus didukung dengan adanya integritas politik, ditandai dengan kesadaran politik yang kuat.
Namun demikian, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Bidang Penggalangan Media dan Opini Partai Golkar TB Ace Hasan Syadzily menilai, wacana pemilihan kepala daerah melalui mekanisme di DPRD tidak perlu dimunculkan hanya karena ada beberapa kasus negatif di pilkada langsung.
“Pilkada secara langsung ternyata juga memunculkan para pemimpin pemimpin daerah yang baik. Presiden Jokowi misalnya itu kan hasil dari pilkada langsung,” tutur Ace.
Menurutnya, jika pilkada kembali menggunakan mekanisme hanya dipilih oleh DPRD, itu akan mengancam kualitas demokrasi di Indonesia. “Kualitas demokrasi itu ditentukan sejauh mana publik atau rakyat terlibat langsung dalam proses menentukan secara langsung siapa kepala daerahnya,” kata Ace.
Cabut dukungan
PDI-P sebagai partai pengusung Marianus hari ini telah menyatakan mencabut dukungannya. PDI-P hanya mengatakan, pada pilgub NTT Juni mendatang, pendamping Marianus, Emiliana Nomleni yang merupakan kader PDI-P adalah satu-satunya representasi PDI-P. Hal itu disampaikan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dalam siaran persnya.
Hasto juga mempertanyakan komitmen Marianus saat pencalonan kepala daerah selama ini. Marianus disebut Hasto tidak pernah mengikuti sekolah partai yang diadakan oleh PDI-P khusus untuk calon kepala daerah. PDI-P menurut Hasto telah mengimbau seluruh kader dan calon kepala daerahnya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya, seperti melakukan tindakan korupsi.
Adapun Daniel Johan, Kepala Desk Pilkada PKB mengatakan, partainya akan tetap mendukung pasangan Marianus–Emil. Hal itu karena sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang pilkada yang tidak memungkinkan partai politik mencabut dukungan secara resmi setelah paslon mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum.
Dalam UU No. 10 Tahun 2016, penggantian calon kepala daerah dimungkinkan ketika calon kepala daerah meninggal, tidak memenuhi persyaratan kesehatan, dan berhalangan tetap akibat dari keputusan hukum yang tetap. Adapun, status tersangka tidak termasuk dalam keputusan hukum yang tetap.
Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, status sebagai tersangka tidak menggugurkan status sebagai calon kepala daerah. Oleh karena itu, calon kepala daerah tetap dapat mengikuti proses kampanye.
Namun demikian, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang berpendapat, calon kepala daerah dengan status tersangka akan mengganggu proses penyidikan apabila diperkenankan mengikuti proses kampanye. “Saya tidak merekomendasikan lah,” ujar Saut. (DD14)