Novanto Berusaha Naikkan Posisi Tawar untuk ”Justice Collaborator”
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setya Novanto terlihat berusaha menaikkan posisi tawarnya untuk menjadi justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatannya dalam perkara korupsi KTP elektronik. Dalam persidangan, Kamis (8/2), mantan Ketua DPR itu menyebut nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ikut mendapat bagian dari proyek tersebut.
Novanto mendapatkan informasi penerimaan imbalan diperoleh dari Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi adalah pengusaha yang telah dipidana dalam perkara korupsi KTP-el.
”Waktu Andi ke rumah saya, dia menyampaikan telah memberikan bantuan dana untuk teman-teman di Komisi II DPR, Badan Anggaran (Banggar) DPR, dan untuk Pak Ganjar sebesar 500.000 dollar AS. Hal itu disampaikan (Andi) kepada saya,” kata Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (Kompas, 9/2).
Novanto menambahkan, informasi penerimaan imbalan itu tak hanya didapatnya dari Andi. Informasi itu juga didapatkan dari dua anggota Komisi II saat itu, yaitu Mustoko Weni dari Fraksi Golkar dan Ignatius Mulyono dari Fraksi Demokrat. Namun, mereka sudah meninggal sehingga tak dapat dimintai keterangan.
Bivitri Susanti, Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera mengatakan, apa yang disampaikan Setya Novanto dalam persidangan itu baru bisa dilihat sebagai petunjuk. Namun, hal itu menunjukkan keinginannya untuk menjadi JC dengan menyeret nama lain untuk kasus itu.
”Itu baru petunjuk. Tidak bisa yang disampaikan di ruang sidang itu sebagai sebuah kebenaran. Jadi nanti penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menelusuri lagi,” kata Bivitri, saat ditemui di Jakarta Selatan, pada Jumat (9/2). ”Apakah ada kaitannya dengan JC? Ada kemungkinannya.”
Maqdir Ismail, tim kuasa hukum Setya Novanto, mengatakan, yang disampaikan Novanto dalam persidangan adalah sebuah konfirmasi dari adanya dugaan bahwa Ganjar menerima sejumlah imbalan terkait proyek KTP-el itu.
”Ini lebih pada pengungkapan fakta. Ini ada fakta yang terungkap di persidangan. Bagaimanapun juga dia bisa konfirmasi langsung tentang apa yang terjadi di Denpasar waktu itu,” kata Maqdir, saat dihubungi Jumat sore.
Terkait sikap Novanto yang mulai membuka peran pihak lain itu, Bivitri menduga, Novanto mulai menerima status dirinya sebagai tersangka dan berusaha kooperatif dengan penyidik. ”Dugaan saya, dia sudah ketangkap dan segala cara mencegah sudah gagal. Dia barangkali diberi nasihat oleh pengacaranya untuk mengakui kejadian-kejadian sebenarnya,” kata Bivitri.
Namun, hingga saat ini, Novanto belum mengakui tuduhan melakukan korupsi dalam pengadaan kartu tanda penduduk elektronik. Hal itu dinilai menyulitkan Novanto untuk mendapatkan status JC.
Sebab, seseorang yang berhak menjadi JC adalah pelaku yang mengakui perbuatannya, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. (Kompas, 27/1).
Terkait sikap Novanto yang mulai menyeret nama lain, peneliti Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, menyarankan agar KPK harus sangat berhati-hati dalam pemberian status JC. Lalola menilai, Novanto sangat tidak kooperatif semasa periode penyidikan.
”Jangan sampai ini menjadi preseden untuk tersangka lainnya. Bersikap tidak kooperatif di awal penyidikan, tetapi meminta status JC untuk meringankan hukumannya,” ujar Lalola.
Pada Kompas (27/1), Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Novanto masih berkelit dan mengaku tidak adanya penerimaan, termasuk penerimaan jam tangan. Hal itu berlainan dengan pernyataan saksi-saksi lainnya yang mengatakan adanya penerimaan serta kerja sama luar negeri untuk membuktikan penerimaan itu. (DD16)