Naturalisasi atau Normalisasi, Semua Tetap Butuh Relokasi
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program naturalisai sungai yang direncanakan Gubernur DKI Jakarta tetap membutuhkan relokasi warga dari bantaran sungai. Upaya naturalisasi diharap bisa membuat sistem aliran sungai menjadi lebih baik dibanding normalisasi. Butuh komitmen pemerintah agar program ini bisa berjalan.
Sebelumnya, Rabu (7/2), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, dirinya akan melakukan naturalisasi sungai untuk solusi banjir. Menurut dia, dengan naturalisasi, eksosistem di tepian sungai masih tetap terjaga.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menjelaskan, program naturalisasi ini dinilai lebih ideal dibanding program normalisasi.
”Saat ini, program normalisasi identik dengan ’betonisasi’. Padahal idealnya, tepian sungai itu merupakan ruang terbuka hijau, dengan ditanami sejumlah pepohonan dengan ekosistem sungai,” katanya saat dihubungi, Jumat (9/2).
Menurut Nirwono, program normalisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah memiliki sejumlah kekurangan. ”Tepian sungai yang dibeton membuat aliran sungai dari hulu menjadi semakin cepat dan menimbulkan daya rusak di daerah hilir. Kemudian, sedimentasi serta lumpur yang terbawa arus menjadi semakin banyak,” ucapnya.
Lumpur membuat daerah aliran sungai (DAS) menjadi lebih dangkal. ”Lumpur harus sering dikeruk, seharusnya pengerukan dilakukan lima tahun sekali, tetapi karena menumpuk jadi 1-2 tahun sekali,” tuturnya.
Idealnya, sungai di Jakarta selebar 30-35 meter, dengan wilayah hijau selebar 7,5 meter di sisi kiri dan kanannya. Nirwono mengatakan, untuk membuat ruang terbuka hijau ini, tetap membutuhkan proses relokasi.
”Warga bantaran sungai harus didata dan realistisnya harus dipindahkan ke rumah susun sewa (rusunawa), yang lokasinya tidak terlalu jauh dari lokasi asalnya,” katanya.
Nirwono menambahkan, sebenarnya tidak masalah jika pemerintah tetap mau melanjutkan program normalisasi sungai yang telah ada, tetapi harus konaisten. ”Biasanya, setelah surut, sudah tidak ada lagi rapat koordinasi untuk perencanaan solusi banjir. Oleh sebab itu, relokasi dari hulu hingga hilir perlu dilakukan,” ucapnya.
Sayangnya, pemerintah daerah di Kabupaten Bogor dan Kota Depok tidak memilki anggaran untuk melakukan relokasi. Nirwono mengatakan, jika warga bantaran sungai telah sanggup direlokasi, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bisa melakukan naturalisasi ini.
Menurut Nirwono, saat ini Pemprov DKI seakan tidak memiliki prioritas untuk menangani banjir. Hal ini terlihat dari program 100 hari Anies-Sandi yang tefokus pada permasalahan lain.
”Seperti masalah becak hingga Tanah Abang, seharusnya antisipasi banjir sudah disiapkan sejak Desember lalu,” katanya.
Kurang efektif
Berbeda pendapat dengan Nirwono, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Nasdem, Bestari Barus, mengatakan, naturalisasi sungai tidak ideal dilakukan di perkotaan.
”Kalau naturalisasi, seakan membuat konsep sungai seperti di daerah perdesaan, yang tepiannya ditanami sawah atau perkebunan. Jakarta tidak ada lahan untuk itu,” ucapnya.
Bestari mengatakan, program naturalisasi cocok jika dilakukan di daerah kabupaten yang lahannya masih luas. ”Sekarang di tepian sungai Jakarta sudah ada hotel, belum lagi di daerah Dukuh Atas yang di pinggir sungai ada rel kereta, apakah pemprov sanggup memindahkan itu semua?” katanya.
Menurut Bestari, sebaiknya pemerintah melanjutkan program normalisasi yang sudah ada. Pembebasan lahan harus segera dilakukan agar normalisasi bisa dikebut.
”Sudah ada anggaran untuk pembebasan lahan, kemudian, Pemprov DKI harus berkoordinasi dengan Pemkab Bogor untuk membangun bendungan, agar air dari Bogor tidak langsung mengalir ke Jakarta,” ucapnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2018 telah menganggarakan Rp 1,3 triliun untuk biaya pembebasan lahan. Upaya ini untuk mendukung program penataan bantaran atau normalisasi sungai.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendarwan, saat ditemui di Jakarta, Rabu, memastikan, program normalisasi akan dilanjutkan tahun ini. Masalah pembebasan lahan diharapkan tidak menjadi hambatan agar program strategis ini bisa mencapai sasaran hingga 2019. (Kompas 8/2).
Sebelumnya, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Jarot Widyoko menyampaikan, saat ini dari 35 kilometer (kanan-kiri sungai) panjang tanggul yang harus dikerjakan, baru 16 kilometer yang dinormalisasi. Jarot pun mengatakan, masalah pembebasan lahan menjadi kendala utama yang dihadapi.
Terkait pembangunan bendungan, lanjut Jarot, sudah ada dua lokasi yang sedang dikerjakan, yaitu Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Bendungan ini akan menahan aliran permukaan dari daerah hulu Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang mengalir ke Sungai Ciliwung melalui terowongan secara konstan dengan debit tertentu (Kompas 7/2). (DD05)