Makin Kuat Desakan Agar Ketua MK Arief Hidayat Mundur
JAKARTA, KOMPAS – Desakan berbagai pihak termasuk sejumlah dari kalangan akademisi agar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dari mundur dari jabatannya semakin menguat. Sebanyak 54 guru besar dari berbagai perguruan tinggi membangun gerakan moral yang menuntut Arief Hidayat tidak memertahankan jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi.
Guru besar-guru besar itu berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Jenderal Soedirman. Mereka menyusun surat desakan pengunduran diri yang akan disampaikan kepada Arief Hidayat dengan tembusan kepada delapan hakim konstitusi, sekretaris jenderal MK, dan ketua DPR.
Sebelumnya, desakan dilakukan oleh Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia yang berlangsung di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Kompas, 6/2). Di Jakarta, Koalisi Masyarakat Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) pun menemui Juru Bicara MK Fajar Laksono dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat MK Rubiyo untuk menyampaikan desakan serupa (Kompas, 7/2). Menurut Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, di Malang pekan lalu dan di Surabaya, hari ini, para akademisi menggelar forum yang mendesak Arief Hidayat untuk mundur.
Arief Hidayat telah dua kali menerima sanksi etik dari Dewan Etik MK berupa teguran lisan. Sanksi pertama dijatuhkan pada 2016 karena terbukti memberikan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono terkait jaksa muda dari Jawa Timur, Zainur Rohman. Sanksi kedua dijatuhkan karena bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, 23 Oktober 2017. Dalam pertemuan itu, Arief dan pimpinan Komisi III DPR membahas pencalonan kembali Arief sebagai hakim konstitusi yang akan habis pada April 2018.
Tidak berhenti pada dua sanksi etik tersebut, Kamis (1/2), peneliti MK Abdul Ghoffar melaporkan Arief ke Dewan Etik MK. Arief dilaporkan kembali melakukan pelanggaran etik karena mengucapkan pernyataan yang tidak benar mengenai Ghoffar di media massa (Kompas, 2/2).
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto di Jakarta, Jumat (9/2), menganalogikan, dalam sebuah negara terdapat dua kerajaan yang memiliki penjaga khusus. Pertama, kerajaan kebenaran yang dijaga oleh para ilmuwan. Kerajaan lainnya adalah keadilan yang dijaga oleh para hakim.
“Maka, hakim dan ilmuwan tidak boleh berbuat tidak jujur. Mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya kepada Tuhan dan masyarakat,” kata Sulistyowati dalam jumpa pers Perwakilan Profesor Peduli MK di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Dalam acara itu, hadir pula Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Mayling Oey, Herlambang Perdana Wiratraman, dan Pengajar STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti.
Menurut Herlambang, sikap Arief yang tidak kunjung mundur dari jabatannya tidak hanya menunjukkan ketiadaan marwah MK secara lembaga, tetapi juga merendahkan posisi etika dalam profesi hakim konstitusi. Dalam Pasal 24 C UUD 1945, hakim konstitusi diwajibkan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Perilaku hakim konstitusi pun diatur dalam Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi.
“Mudah-mudahan ajakan dari para guru besar ini akan mengetuk hati Pak Arief (untuk segera mengundurkan diri),” ujar Herlambang.
Kembali ke marwah
Meski profesi hakim konstitusi menyaratkan standar etika yang tinggi, pelanggaran etik bukan baru sekali terjadi. Berdasarkan catatan Kompas, pelanggaran etik oleh hakim konstitusi pertama kali dilakukan oleh Arsyad Sanusi, Februari 2011. Majelis Kehormatan (sebelum terbentuk Dewan Etik) saat itu menyatakan Arsyad melanggar kode etik ringan, karena membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara (Kompas, 25/1). Namun, berbeda dengan Arief, ia langsung mengundurkan diri setelah putusan diumumkan.
Setelah itu, pelanggaran kembali terjadi. Bukan hanya melanggar etika, bahkan dua hakim konstitusi terbukti terlibat kasus korupsi. Ketua MK periode 2008-2013 Akil Mochtar terbukti terlibat suap Pilkada Kabupaten Gunung Mas, 2013, kemudian dihukum penjara seumur hidup. Hakim konstitusi lainnya, Patrialis Akbar, ditangkap KPK pada 2017 karena kasus uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Menurut Sulistyowati, catatan hitam para hakim konstitusi itu tidak laik terjadi kembali. Lembaga yang bertugas menguji undang-undang itu, didirikan berkat gerakan 1998 yang menginginkan Indonesia menjadi negara hukum yang ideal. “MK dilahirkan oleh gerakan 1998 dan harus dibayar dengan meninggalnya para mahasiswa saat itu,” ucapnya.
Bivitri mengatakan, upaya untuk menciptakan kehidupan negara hukum yang ideal telah dilakukan sejak 1970-an. Beberapa ahli hukum telah memikirkan untuk membuat lembaga yang memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang.
Oleh karena itu, muncul gerakan yang hendak mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Saat itu, kewenangan untuk menguji konstitusionalitas rencananya akan diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) melalui pengubahan UU 14/1970, akan tetapi gagal,” kata Bivitri.
Ide pengubahan itu kembali muncul pada awal 1990-an dan memuncak pada 1998. “Ketika gerakan reformasi bergulir, kemudian dilakukan amandemen UUD 1945 pada 1999, kami telah memikirkan dua alternatif, yaitu memberikan kewenangan kepada MA atau membuat lembaga baru,” kata Bivitri yang saat itu aktif dalam Koalisi Konstitusi Baru.
Setelah melalui kajian selama tiga tahun, pada 2002 rumusan mengenai pemberian kewenangan kepada MA atau pembuatan lembaga baru itu diserahkan kepada MPR. “Politisi waktu itu memilih untuk membuat lembaga baru, yaitu MK, agar benar-benar bersih sejak awal, karena MA dianggap sudah sangat bobrok waktu itu,” ujar Bivitri. “Akan tetapi ada negosiasi politik yang menyebabkan sembilan hakim konstitusi itu dipilih oleh MA, DPR, dan Presiden. Setiap pihak berhak memilih tiga hakim konstitusi,” tambahnya.
Bivitri menambahkan, terjadi ironi dalam perjalanan MK yang didirikan dengan semangat perbaikan Indonesia sebagai negara hukum. Pada 2006, MK mengeluarkan putusan agar Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang untuk mengawasi MK. Oleh karena itu, MK tidak memiliki lembaga pengawas yang konsisten dan permanen.
Pengawasan MK pun dilakukan oleh Dewan Etik yang anggotanya berasal dari internal MK. Menurut dia, sistem pengawasan yang dilakukan oleh pihak internal cenderung tidak independen dan tidak kuat. Akibatnya, pelanggaran akan lebih mudah terjadi. “Selain pembenahan individu hakim konstitusi, MK juga memerlukan perubahan sistem,” ujar Bivitri. (DD01)