Tol Laut Sulit Berhasil, Kemenhub Akui Tak Mungkin Kerja Sendirian
JAKARTA, KOMPAS — Program tol laut saat ini dinilai belum efektif mengurangi perbedaan harga komoditas dari daerah pusat dengan daerah pinggir, terutama di kawasan Timur Indonesia. Untuk itu, sinergi antarlintas sektor diperlukan untuk mengoptimalkan program ini. Tanpa sinergi lintas sektor ini, mustahil program tol laut yang dicanangkan pemerintah bisa berhasil.
Program tol laut merupakan program Presiden Joko Widodo yang mulai dijalankan pada 2015 untuk mengurangi disparitas atau perbedaan antara harga bahan pokok di daerah Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa.
Kepala Subdirektorat Angkutan Laut Dalam Negeri Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Wisnu Handoko saat ditemui di Jakarta, Senin (5/2), mengatakan, tujuan dari program tol laut baru bisa optimal jika didukung dari berbagai lintas sektor kepentingan. ”Kami (Kemenhub) tidak bisa kerja sendiri,” katanya.
Menurut dia, subsidi pemerintah atas program tol laut melalui Kemenhub terbatas pada subsidi pengoperasian kapal saat pelayaran dan bongkar muat. Sementara dari gudang bongkar muat hingga distribusi ke masyarakat seharusnya diawasi oleh pemerintah daerah.
”Pemerintah daerah harus berperan dalam proyek ini. Kementerian lain yang terkait dengan pengontrolan harga juga perlu hadir agar saat sampai ke masyarakat harga tetap stabil,” ujar Wisnu.
Saat ini, lanjutnya, subsidi angkutan barang di laut hanya membantu sekitar 50 persen dari seluruh biaya logistik. Bantuan ini untuk memangkas biaya tambang atau ocean freight. Untuk itu, harga barang di daerah yang dekat dengan dermaga tol laut bisa ditekan 20-30 persen, tetapi semakin jauh dari area pelabuhan, penurunan harga menipis hanya sekitar 5 persen.
Dari pantauan di sejumlah daerah selama dua pekan dalam Kompas (5/2), beberapa harga barang kebutuhan pokok masih tinggi. Pantauan dilakukan di Manokwari (Papua Barat), Saumlaki (Maluku Tenggara Barat, Maluku), Wanci (Wakatobi, Sulawesi Tenggara), dan Tahuna (Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara). Ada pula di Mentawai (Sumatera Barat), daerah di kawasan barat yang juga disinggahi tol laut. Di Pasar Sanggeng, Manokwari, misalnya, harga beras Rp 15.000 per kilogram, gula pasir Rp 19.000 per kg, minyak goreng Rp 18.000 per liter, daging sapi Rp 120.000 per kg, dan ayam ras Rp 45.000 per kg. Adapun harga semen Rp 80.000-Rp 90.000 per zak.
Wisnu mengatakan, dari hasil evaluasi pada 2017, sistem tata niaga yang berlangsung saat ini perlu dibenahi. Nantinya, akan dibangun gudang-gudang penyimpanan untuk tempat penumpukan kontainer sementara sebelum barang didistribusikan ke masyarakat.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Humas PT Pelni (Persero) Ahmad Sujadi menyampaikan hal serupa. Keterbatasan tempat penumpukan kontainer merupakan satu kendala yang dihadapi saat tiba di pelabuhan tujuan. PT Pelni merupakan salah satu operator tol laut yang melayani angkutan barang pada enam trayek yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan.
Rumah Kita
Untuk itu, sebanyak 19 lokasi gudang sentra logsitik atau yang disebut sebagai Rumah Kita disiapkan untuk menyimpan barang pokok yang menampung dan mendistribusikan barang logistik di setiap wilayah.
Adapun penanggung jawab Rumah Kita adalah BUMN di bidang transportasi laut seperti PT. Pelindo I untuk wilayah Nias dan Mentawai, PT Pelindo II (Natuna dan Tahuna), PT Pelindo III (Dompu, Waingapu, Rote dan Kalabahi), PT Pelindo IV (Nabire, Tobelo, Sebatik, Tidore dan Sangatta/Lhoktuan), PT Pelni (Morotai, Saumlaki, Manokwari, dan Timika), dan PT ASDP (Merauke, Namlea).
Setiap penanggung jawab Rumah Kita memiliki tugas menyiapkan rencana kerja dan fasilitas yang dibutuhkan. Selain itu juga perlu berkoordinasi dengan pemda serta pemangku kepentingan untuk pendistribusian barang pokok di daerah sekitar lokasi Rumah Kita khususnya daerah 3TP (tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan). Program ini diharapkan bisa menjadi bagian penting dari aspek pengendalian disparitas harga.
”Perlu keterlibatan serta komitmen BUMN logistik yang lebih besar dalam membangun dan memaksimalkan program Rumah Kita guna menyukseskan program tol laut. Kerja sama dengan pemerintah daerah melalui BUMD juga sangat diperlukan,” kata Wisnu.
Wisnu menambahkan, selain kurangnya kontrol atas distribusi, ketidakteraturan jadwal singgah kapal juga menjadi kendala dalam proyek ini. Beberapa hal dikatakan menjadi penyebabnya.
”Kami akui kondisi kapal yang tersedia selama ini kurang baik sehingga tidak semua kapal siap untuk dioperasikan. Namun, tahun 2018 ini kami sudah pastikan kapal dalam kondisi optimal,” katanya.
Beberapa rute yang terlalu jauh dari pelabuhan asal, kata Wisnu, juga menjadi penyebab jadwal singgal tidak teratur. Cuaca yang tidak menentu juga dinilai menjadi penyebab yang dihadapi di lapangan.
15 trayek dijalankan
Beberapa pola pendistribusian akan diubah pada 2018. Jika pada 2017 ada 13 trayek yang dijalankan, tahun 2018 akan ada 15 trayek dalam penyelenggaraan angkutan barang dalam program tol laut. Dari trayek tersebut, pelaksanaan tujuh trayek melalui mekanisme penugasan dan delapan trayek melalui pelelangan umum. ”Paling lambat akhir Maret 2018, seluruh trayek akan dijalankan,” kata Wisnu.
Tahun ini, pola operasi tol laut juga akan diubah dengan menggunakan skema pengumpul dan pengumpan atau hub and spoke. Pada tahun sebelumnya, pola operasi yang dilakukan menggunakan skema pelayaran langsung dengan menempatkan kapal tol laut di pelabuhan pangkal dan langsung berlayar ke pelabuhan di wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal. Untuk itu, akan disediakan tiga kapal pengumpan yang berfungsi untuk mendistribusikan logistik ke tempat yang lebih jauh.
”Kapal feeder (pengumpan) ini diharapkan agar jangkauan distribusi bisa lebih luas,” kata Wisnu.
Anggaran yang disiapkan untuk program tol laut pada 2018 juga ditingkatkan menjadi sekitar Rp 447,6 miliar dari tahun sebelumnya sekitar Rp 355 miliar. Diharapkan, penyerapan anggaran pun bisa maksimal. Tahun lalu, penyerapan anggaran baru sekitar Rp 240 miliar.
Dari jumlah tersebut, dari target muatan keberangkatan tol laut sebanyak 517.000 ton, hanya terealisasi sekitar 212 ton. Sementara dari target muatan balik tol laut dari 517 ton hanya terealisiasi sebanyak 20.274 ton.
”Pemerintah daerah perlu lebih memanfaatkan muatan balik ini agar pergerakan ekonomi daerah juga bisa meningkat. Saat ini, efisiensi tersebut belum terlaksana dengan baik,” kata Wisnu.
Operasional tol laut di sejumlah wilayah di Indonesia memang diakui belum bisa berjalan mulus. Pemerintah seharusnya juga memberikan dukungan terhadap program ekonomi yang bisa ikut terdampak dengan adanya tol laut ini. Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Papua Rintar Agus Simatupang, seharusnya pemda di daerah tujuan tol laut memiliki program pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berkelanjutan. Tujuannya agar usaha-usaha itu bisa menyiapkan komoditas unggulan bernilai tinggi yang dapat dipasarkan ke luar daerah, seperti durian dan rambutan.
Namun, menurut dosen Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, informasi mengenai program tol laut perlu diperluas di kawasan timur Indonesia. Penyebaran informasi yang terbatas mengakibatkan akses penggunaan tol laut dari pengusaha di kawasan tersebut juga minim.
Beny Aryo, salah satu pengusaha ekspedisi di Surabaya yang menggunakan tol laut, mengatakan, selama ini load factor kapal tol laut saat kembali ke Surabaya tidak lebih dari 30 persen dari kapasitas kapal. Komoditas yang dibawa antara lain pala, kopra, ikan teri asin, mente, dan garam.
Masalah lain yang menghambat optimalisasi arus balik tol laut adalah keteraturan jadwal kapal. Di Mentawai, Sumatera Barat, sejak beroperasi pada Maret 2017, tol laut hanya berjalan tujuh kali. Sejak Agustus, kapal tak pernah singgah lagi.
Akibatnya, komoditas yang sudah sempat memanfaatkan pengangkutan balik tol laut di Mentawai baru kelapa. Itu pun hanya satu kali pengiriman. ”Setelah itu tidak ada lagi kapal,” kata Kepala Dinas Perhubungan Mentawai Edi Sukarni.
Di Tahuna, Kabupate Sangihe, Sulawesi Utara, selama 20 bulan tol laut berjalan, kapal tak menyinggahi daerah itu sebanyak tujuh kali. Akibatnya, barang yang diangkut dari Tahuna menuju Surabaya selama ini hanya berjumlah 12 ton.
Michael Thugaris, Direktur PT Pancaran Berkat Mulia, salah satu pengirim barang di Tahuna, mengatakan, kalau jadwal kapal teratur, pihaknya bisa mengirim lebih banyak barang. Biaya angkutan Tahuna-Surabaya dengan tol laut lebih murah 50 persen dari harga pengangkutan nonsubsidi. Angkutan juga lebih cepat sampai karena tidak lagi melalui Pelabuhan Bitung. (DD04)