159 Tahun Sidoarjo, Butuh Akselerasi Infrastruktur
Kabupaten Sidoarjo, Rabu (31/1), berulang tahun ke-159. Daerah yang pernah menjadi pusat Kerajaan Jenggala itu memilih tema ”Bekerja Bersama demi Terwujudnya Infrastruktur yang Berkualitas dan Pemerataan Ekonomi yang Berdaya Saing Global”.
Secara geografis, letak Sidoarjo sangat strategis sebab menjadi pintu masuk Provinsi Jatim melalui jalur darat ataupun udara.
Jalur darat pun terbagi melalui jalan umum dan jalur kereta api. Di jalan umum, pengunjung bisa memilih moda transportasi massal atau kendaraan pribadi.
Sidoarjo memiliki semua sistem transportasi, kecuali transportasi laut, angkutan sungai, dan penyeberangan, meski cikal bakalnya sebenarnya sudah ada dan menunggu dikembangkan.
Di sinilah terdapat Bandara Internasional Juanda dan terminal bus terbesar di Jatim, yakni Purabaya.
Setiap tahun, tak kurang dari 33 juta penumpang menggunakan jasa bandara dan Terminal Purabaya.
Jumlah pelintas dengan kendaraan pribadi pun tak kalah tinggi sebab Sidoarjo menjadi bagian terpenting dalam sistem transportasi di Jatim.
Setiap tahun, tak kurang dari 33 juta penumpang menggunakan jasa bandara dan Terminal Purabaya.
Dari ibu kota provinsi, yakni Surabaya, ke arah timur atau kawasan tapal kuda, seperti Pasuruan, Probolinggo, Jember, dan Banyuwangi, harus melalui Sidoarjo.
Demikian pula dari Surabaya menuju arah barat dan selatan Jatim, seperti Mojokerto, Jombang, Nganjuk, serta Malang.
Letak yang strategis itu membuat lalu lintas kendaraan di Sidoarjo tinggi. Dengan asumsi 33 juta orang menggunakan jasa bandara dan terminal bus setiap tahun, itu berarti setiap hari ada 92.000 orang.
Apabila mereka menggunakan motor, berarti ada 46.000 sepeda motor per hari atau 1.916 kendaraan per jam.
Namun, apabila menggunakan mobil dengan asumsi per kendaraan berisi empat orang, berarti sedikitnya ada 23.000 kendaraan roda empat yang melintas.
Itu baru volume kendaraan dari para pengunjung dan belum termasuk aktivitas warga Sidoarjo sendiri.
BPS menyebut, jumlah penduduk ”Kota Delta”, julukan Sidoarjo, karena berada di delta Sungai Brantas, mencapai 2,5 juta jiwa pada siang hari dan 3 juta pada malam hari.
Hal itu karena banyak orang yang bekerja di Surabaya tetapi tinggal atau tidur di Sidoarjo.
Dengan asumsi 50 persen warga Sidoarjo memerlukan mobilisasi setiap hari, itu berarti ada 750.000 motor atau 375.000 mobil yang mereka perlukan.
Apabila dirata-rata, total kendaraan yang melintas di Sidoarjo setiap hari minimal 800.000 unit motor atau 376.000 unit mobil.
Sektor usaha
Itu baru kendaraan untuk orang, belum termasuk angkutan barang. Sebagai gambaran, di kabupaten terkecil di Jatim dengan luas 719,63 kilometer persegi ini terdapat 5.000 pabrik skala kecil, sedang, dan besar serta 260.000 lebih usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Jumlah pabrik itu tiga kali lipat dari jumlah pabrik di Kabupaten Gresik yang hanya 1.500 unit.
Apabila satu pabrik mengoperasikan minimal 10 kendaraan angkutan barang, berarti ada 50.000 kendaraan yang beroperasi setiap hari.
Kendaraan angkutan barang untuk pabrik ini minimal truk bergardan tunggal dan maksimal kontainer sepanjang 40 kaki.
Kendaraan angkutan barang tidak hanya diperlukan oleh pelaku industri manufaktur, tetapi juga lebih luas lagi oleh sektor properti, pelaku usaha jasa, perdagangan, sektor usaha hotel dan restoran, serta UMKM.
Sektor properti yang berkembang pesat di Sidoarjo, misalnya, setiap hari memerlukan angkutan tanah uruk dan bahan material lain, seperti semen, bata, serta pasir.
Sebenarnya hampir semua sektor usaha ada dan berkembang di sini. Contohnya, perikanan tangkap dan perikanan budidaya, produksi garam konsumsi, pertanian tanaman pangan dan hortikultura, jasa pendidikan, pariwisata, serta usaha tambang.
Salah satunya tambang migas yang dikelola Lapindo Brantas Inc dengan 30 sumur pengeboran.
Pembangunan stagnan
Tingginya aktivitas penghuni dan pendatang menuntut mobilitas yang luar biasa. Tak heran, lalu lintas kendaraan pengangkut orang ataupun barang sangat padat.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo kurang bagus. Pabrik tersebar di mana-mana, berimpitan dengan perkampungan padat, sekolah, dan sawah.
Tak ada zonasi atau pengaturan mana kawasan industri, permukiman, dan perkantoran. Tak heran jika truk kontainer besar kerap masuk keluar gang kampung.
Seperti yang tampak di Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, dan kawasan industri logam di Desa Ngingas, Kecamatan Waru.
Semrawut, padat, dan bising pun berpadu menjadi sajian rutin warga yang tinggal di sana.
Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sidoarjo, panjang jalan kabupaten sekitar 1.000 km, jalan tol 63 km, dan jalan provinsi hanya 31 km.
Jalan kabupaten merupakan jalan dengan kualitas kelas tiga yang hanya mampu dilewati kendaraan dengan berat maksimal 8 ton.
Faktanya, sedikit kendaraan yang membawa muatan 8 ton. Rata-rata kendaraan angkutan barang yang melintas bermuatan lebih dari 10 ton per sumbu, bahkan untuk kontainer muatannya hingga 20 ton per sumbu.
Bisa dibayangkan saat kendaraan itu melaju di atas jalan kelas tiga, maka yang tertinggal adalah kerusakan berupa permukaan yang bergelombang, aspal yang mengelupas, dan lubang yang mengaga.
Ketimpangan antara beban dan kualitas jalan memperpendek umur jalan (lifetime). Hal itu setidaknya tecermin dari laporan tentang jalan rusak yang masuk setiap hari ke Pemkab Sidoarjo.
Selain kerusakan, minimnya penambahan jalan baru juga dikeluhkan masyarakat.
Bagi rakyat biasa, kerusakan jalan mengancam keselamatan jiwa mereka karena rentan menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Bagi pelaku usaha, jalan rusak juga bencana karena menyebabkan biaya tinggi.
Selain kerusakan, minimnya penambahan jalan baru juga dikeluhkan masyarakat.
Jalan rusak memperpendek umur kendaraan, setidaknya umur suku cadang (sparepart), memperlama waktu tempuh, dan boros bahan bakar.
Kerugian bahkan bisa lebih besar lagi bagi kendaraan yang mengangkut barang segar, seperti sayuran, cabai, dan buah-buahan.
Keterlambatan pengiriman karena perjalanan yang memakan waktu lama akibat jalan rusak menyebabkan sayuran menjadi busuk dan tak laku dijual.
Dengan demikian, tampak jelas, kepadatan lalu lintas dan kondisi jalan yang tak layak menjadi problem utama.
Handoko, pengusaha, mengatakan, dulu pengiriman barang dari Kecamatan Gedangan ke Sidoarjo yang berjarak 7 km hanya butuh 20 menit. Namun kini, butuh 1-1,5 jam.
Infrastruktur, terutama jalan, berdampak besar terhadap sektor ekonomi. Infrastruktur bagus, daya saing akan tinggi.
Hal ini karena biaya transportasi menguasai 20-30 persen dari total komponen biaya produksi. Pembangunan infrastruktur juga berarti pembukaan akses bagi daerah yang terisolasi, seperti kawasan pesisir.
Di Sidoarjo, kawasan pesisir tidak hanya sumber produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya, seperti udang, bandeng, dan mujair.
Pesisir Sidoarjo juga menghasilkan garam konsumsi, rumput laut, serta potensial dikembangkan wisata memancing dan kuliner.
Di Desa Kalanganyar, Sedati, setiap akhir pekan dan hari libur dijejali wisatawan yang menginginkan jeda dari rutinitas harian.
Iktikad kuat
Nah, jika infrastruktur utamanya jalan sangat penting, mengapa tak menjadi program prioritas Pemkab Sidoarjo.
Bupati Saiful Ilah dan Wakil Bupati Nur Achmad Syaifuddin dalam berbagai kesempatan mengatakan, pembangunan jalan menjadi salah satu program utama. Namun faktanya, masih jauh panggang dari api.
Sebagai gambaran, APBD Sidoarjo 2016 mengalami sisa sebesar Rp 500 miliar dan APBD 2017 sisanya hampir Rp 1 triliun.
Dengan dana menganggur yang besar, Sidoarjo seharusnya sudah punya dua sisi frontage road atau jalan paralel dengan jalan utama, seperti Kota Surabaya.
Satu sisi frontage road sepanjang 9,2 km dengan lebar 10 meter hanya butuh Rp 250 miliar-Rp 300 miliar.
Faktanya, proyek yang sudah digembar-gemborkan sejak 2012-2013 itu kini tak kunjung ada wujudnya.
Pembebasan lahan yang tidak mudah selalu dijadikan kambing hitam meski alasan itu rasanya kurang rasional sebab pembangunan jalan paralel ini tidak mengundang kontroversi.
Kalaupun ada sedikit kesalahpahaman, pemda dan Bupati Saiful Ilah yang dikenal luas oleh warganya, termasuk pengusaha, tidak akan kesulitan mengatasinya.
Pria berusia 68 tahun ini telah menjabat Wakil Bupati Sidoarjo selama 10 tahun dan menjabat Bupati Sidoarjo selama dua periode.
Saiful berpengalaman 17 tahun memegang tampuk kepemimpinan di Kota Delta.
Sebaliknya, pembangunan jalan paralel akan mendapat dukungan penuh masyarakat karena mereka telah melihat sendiri dan merasakan secara langsung manfaat pembangunan jalan serupa di Kota Surabaya.
Mengundang investor pun jadi lebih mudah jika jalan ini terwujud sebab pengusaha yang mendapat manfaat pasti tidak keberatan jika diminta membagikan pengalamannya.
Berbicara tentang infrastruktur, tentu bukan hanya jalan. Namun, hal itu setidaknya bisa dijadikan cermin.
Tak hanya jalan paralel, jalan lingkar luar timur dan jalan lingkar luar barat pembangunannya juga jalan di tempat atau stagnan.
Contoh lain, pembangunan tempat pengelolaan akhir sampah rumah tangga di Jabon yang tak kunjung terealisasi meski mendapat bantuan dari pemerintah pusat.
Program pengelolaan sampah sistem sanitary landfill itu telah dicanangkan sejak 2012 dengan total anggaran Rp 200 miliar dari APBN.
Sidoarjo hanya diminta menyediakan lahan 20 hektar senilai Rp 35 miliar. Dari luasan 20 hektar, sebanyak 13 hektar sudah dibebaskan tinggal tersisa 7 hektar.
Namun, sisa 7 hektar itu gagal dibebaskan selama 2017. Sekali lagi, penyebabnya bukan karena tidak mampu, melainkan masih dibutuhkannya iktikad yang kuat dari para pemangku kepentingan yang terlibat. Kalau soal urgensi, kehadiran pengelolaan sampah sangat mendesak.
Penduduk Sidoarjo menghasilkan sampah rumah tangga 1.226 meter kubik per hari dan dibuang ke TPA Giri Mulyo Jabon yang merupakan tempat pengelolaan satu-satunya.
Kondisi TPA sudah overload dengan tinggi gunungan sampah 20 meter. Letusan gunungan itu tinggal menunggu waktu.
Di luar jalan dan sampah, infrastruktur yang dinanti masyarakat Sidoarjo adalah pembangunan dam atau bendungan kecil pengendali banjir sebab bencana yang terjadi semakin parah setiap tahun. Pembangunannya diwacanakan pada 2016, tetapi tak kunjung terealisasi.
Kondisi TPA sudah sangat penuh dengan tinggi gunungan sampah 20 meter.
Di sisi lain, pemda lebih fokus dengan rencana membangun gedung pemerintahan terpadu 18 lantai yang diprediksi menelan dana Rp 800 miliar.
Padahal, pemda baru menuntaskan pembangunan gedung serbaguna dengan total biaya sekitar Rp 150 miliar.
Gedung serbaguna ini, menurut rencana, untuk menampung kebutuhan warga yang ingin menggelar acara, seperti pernikahan.
”Pembangunan gedung pemerintahan terpadu ini penting untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Apabila gedungnya bagus, masyarakat yang memerlukan pelayanan pemerintah akan merasa nyaman,” ujar Saiful Ilah kepada wartawan dalam berbagai kesempatan.
Seiring bertambahnya usia, semoga bertambah pula kemajuan yang dicapai Pemkab Sidoarjo.
Setidaknya telah ada keinginan untuk bekerja bersama demi terwujudnya infrastruktur yang berkualitas dan pemerataan ekonomi yang berdaya saing global di bumi Jenggala.