Seberapa Rawan Pilkada Kota Cirebon?
Kota Cirebon, Jawa Barat, yang hanya seluas 37 kilometer persegi, termasuk dalam daerah rawan saat Pilkada 2018. Dua pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali kota bakal bertarung memperebutkan kursi pimpinan di ”Kota Wali” tersebut. Lalu, seberapa rawan pertarungan itu?
Kepala Kepolisian Daerah Jabar Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto mengatakan, daerah yang tingkat kerawanannya berpotensi tinggi terjadi di kabupaten/kota yang hanya memiliki dua pasangan bakal calon atau head to head. Hal itu disampaikan saat memimpin apel bersama dan Deklarasi Damai Pilkada di Yon Arhanudse 14, Kota Cirebon, Senin (29/1).
Badan Pengawas Pemilu mendefinisikan kerawanan sebagai ”segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis”. Dengan terdapatnya dua pasangan bakal calon di Pilkada Kota Cirebon, masyarakat rentan terpecah menjadi dua kubu.
Kedua pasangan tersebut adalah Nasrudin Azis-Eti Herawati dan Bamunas S Boediman-Effendi Edo. Azis adalah petahana, sementara Eti merupakan Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon. Mereka diusung Partai Demokrat, Nasdem, PKPI, PKB, dan Hanura dengan jumlah 13 kursi atau lebih dari 35 persen suara di DPRD setempat.
Adapun Bamunas, yang akrab disapa Oki, merupakan pengusaha terkemuka di Cirebon. Edo merupakan kader Golkar. Pasangan ini diusung PDI-P, PPP, dan Golkar dengan jumlah kursi yang sama, yakni 13. Artinya, kedua pasangan tersebut punya modal dukungan yang sama.
Dengan demikian, jika yang satu menang, yang lain pasti kalah. Perhatian juga tenaga publik setempat pasti terkuras. Bukan tidak mungkin, klaim kemenangan akan muncul dari kedua belah pihak.
Dengan demikian, jika yang satu menang, yang lain pasti kalah
Kondisi tersebut telah dipetakan Polda Jabar. Di Cirebon, simulasi pengamanan pilkada dari aksi kejar-kejaran provokator, penjarahan, dan penembakan secara tegas dan terukur digelar dua kali. Selain di lapangan Yon Arhanudse 14, simulasi juga dilakukan di Jalan Siliwangi, depan Balai Kota Cirebon.
Kemungkinan terburuk seperti dalam simulasi tersebut apakah akan terjadi? Agung mengatakan, apa pun itu, pihaknya telah mengantisipasi kemungkinan terburuk dari konflik pada pesta demokrasi tersebut. Selain di Cirebon, dua pasangan yang bertarung juga terjadi di Kota Bekasi, Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar.
Selain peningkatan keamanan, pihaknya juga telah bekerja sama dengan TNI, perwakilan masyarakat, dan partai politik. ”Parpol bahkan telah berdeklarasi untuk menjalankan tahapan pilkada damai,” ungkapnya.
Hingga saat ini, sekitar dua pekan menjelang penetapan calon wali kota dan wakil wali kota Cirebon, kondisi keamanan Kota Cirebon masih terkendali. Namun, aura persaingan mulai terasa. Secara simbolis, pertarungan kata-kata ramai di sejumlah kafe.
Pendukung Azis-Eti kerap menggunakan frase ”Pasti” (Pasangan Azis-Eti), sementara pendukung Bamunas-Edo memakai frasa ”Oke” (Oki-Edo). Ada anekdot, jika aparatur sipil negara di lingkup pemerintahan Kota Cirebon biasa menggunakan kata ”Pasti”, maka dia pendukung petahana. Sebaliknya, jika pakai kata ”Oke” adalah simpatisan pasangan lainnya.
Tidak hanya itu, 25 Januari lalu, Panitia Pengawas Pemilu setempat memanggil Azis. Pemanggilan tersebut terkait kebijakan Azis untuk memutasi 60 aparatur sipil negara pada pemerintahan di Kota Cirebon pada 19 Januari.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 Ayat 2, kepala daerah, termasuk wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri.
Ketua Panwaslu Kota Cirebon Susilo Waluyo mengatakan, pemanggilan tersebut dilakukan selain sebagai temuan Panwaslu juga berdasarkan laporan sejumlah masyarakat. Siapa yang melapor? Susilo tidak menjawabnya.
Azis mengatakan, mutasi dilakukan karena banyak pegawai yang memasuki usia pensiun. Sementara beberapa jabatan, seperti bendahara, tidak dapat dilimpahkan kepada pelaksana tugas.
Pak Bamunas itu punya sifat kenegaraan. Waktu almarhum Pak Ano menang, beliau yang pertama kali memberikan selamat. Hal itu juga akan saya lakukan jika memang saya kalah
”Mutasi ini tidak ada unsur politis. Jika ini untuk kepentingan saya, ya saya ganti saja lurahnya untuk pengondisian. Tetapi, kan tidak saya lakukan,” ujar Azis yang tidak mengetahui jumlah pasti pegawai yang pensiun.
”Head to head” sahabat
Lalu, apakah tensi politik yang mulai menghangat ini bakal ”mendidih” ke depannya? Azis mengatakan, pertarungan head to head dalam pilkada tidak serta merta menimbulkan kerawanan, apalagi konflik.
”Saya dengan Pak Bamunas adalah sahabat. Pak Bamunas itu punya sifat kenegaraan. Waktu almarhum Pak Ano menang, beliau yang pertama kali memberikan selamat. Hal itu juga akan saya lakukan, jika memang saya kalah,” ungkapnya.
Pada Pilkada Kota Cirebon 2013, pasangan Ano Sutrisno-Azis (Golkar dan Demokrat) terpilih sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cirebon. Mereka mengalahkan empat pasangan calon lainnya, termasuk Bamunas yang saat itu berpasangan dengan Priatmo Adji (PDI-P).
Namun, pada 19 Februari 2015, Ano meninggal sehingga kepemimpinan Kota Cirebon jatuh kepada Azis. Sejak saat itu hingga kini, Azis tidak didampingi wakil wali kota. Tarik-menarik kepentingan antarpartai yang dahulu mengusung Azis menjadi penyebabnya.
Azis saat itu mengusulkan dua nama, yakni Eti dan Toto Sunanto (Golkar). Namun, partai pengusung tidak menerima hal tersebut karena Eti dianggap tidak termasuk dalam pendukung pasangan Ano-Azis.
Kini, Golkar memilih berkoalisi dengan PDI-P. Kubu Azis-Eti dan Bamunas-Edo akan mencurahkan segala upaya untuk memperebutkan sekitar 230.000 suara di lima kecamatan yang ada di Kota Cirebon. Azis mengingatkan, kini kedua pasangan harus terus mengingatkan simpatisan untuk menjaga kondusivitas Kota Cirebon.
Politik identitas
Lalu, apakah pilkada serentak 2017 yang menyisakan catatan eksploitasi isu sensitif terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan terulang di Kota Cirebon? Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Adi Vivid Bachtiar mengatakan, polisi tengah mengantisipasi hal itu.
Keberagaman itu sudah tertulis dalam naskah Purwaka Caruban Nagari tahun 1720. Pangeran Arya Carbon menuliskan, Cirebon berasal dari kata ’Sarumban’ lalu diucapkan Caruban yang berarti campuran.
Salah satunya dengan patroli siber. Jika ditemukan unsur pelanggaran, seperti hoaks, ujaran kebencian, fitnah, ataupun penghinaan, pihaknya akan melakukan penyelidikan sampai penyidikan. ”Kami masih memantau. Saat ini, belum ada yang terindikasi,” ujarnya.
Seharusnya, politik identitas yang mengeksploitasi isu SARA tidak berlangsung di Cirebon. Sebagai daerah tempat berkumpulnya sembilan wali penyebar Islam melalui akulturasi budaya di tanah Jawa sekitar abad ke-15, seharusnya tak ada pertarungan politik yang menyeret SARA. Apalagi salah satu dari sembilan wali tersebut, Sunan Gunung Jati, pernah memimpin Cirebon.
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat menuturkan, sebagai pemimpin, Sunan Gunung Jati mewarisi nilai keberagaman dan sifat toleransi. Nama masjid yang dibangun, misalnya, tidak ada berbahasa arab. Tengoklah Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Keramik asal China juga menempel di bangunan masjid, tanpa mengganggu ibadah jemaah yang shalat.
Keberagaman itu sudah tertulis dalam naskah Purwaka Caruban Nagari tahun 1720. Pangeran Arya Carbon menuliskan, Cirebon berasal dari kata ’Sarumban’ lalu diucapkan Caruban yang berarti campuran. Orang berbagai etnis, dari Jawa, Tionghoa, hingga Arab yang berada di wilayah Panjunan bercampur di kota ini.
Jadi, andaikata, Pilkada 2018 memunculkan politik identitas, sebuah kemunduran besar bagi peradaban Cirebon, bahkan Indonesia. Padahal, pesta demokrasi ini hanya untuk lima tahun ke depan.
Daripada ”menjual” isu SARA demi mencapai kursi kepemimpinan, kedua pasangan calon seharusnya beradu program kerja. Sunan Gunung Jati saat memimpin sama sekali tidak rakus kekuasaan. Sebagai pemimpin, ia membangun sarana dan prasarana, seperti keraton dan jalan darat, sungai, bahkan laut. Pelabuhan Talang dan Pelabuhan Muara Jati yang dilengkapi gudang-gudang dan pasar merupakan sederet infrastruktur yang dibangun (Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati : 2015).
Kedua pasangan berperan penting untuk menampilkan politik yang sesuai, kata Aristoteles, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama, bukan kepentingan golongan tertentu. Menampilkan wajah rakus kekuasaan yang menghalalkan segala cara sama saja mewujudkan kekacauan dalam pesta demokrasi tersebut.