Hambatan Nontarif Menyulitkan Penetrasi Komoditas Ekspor
JAKARTA, KOMPAS — Hambatan nontarif atau non-tariff measures negara-negara maju menyulitkan produksi ekspor untuk menembus pasar impor mereka.
Standar komoditas ekspor perlu ditingkatkan agar bisa menembus pasar negara-negara maju. Produktivitas komoditas yang berkualitas juga bisa menekan impor karena Indonesia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dalam pemaparan Catatan Awal Tahun 2018 Indonesia Global Justice (IGJ) di Jakarta, Selasa (30/1), Direktur IGJ Rachmi Hertanti menyatakan, meskipun perdagangan bebas terjadi di negara-negara maju, barang-barang ekspor Indonesia sulit menembus pasar mereka.
Standar berupa regulasi NTM, kata Rachmi, menjadi instrumen bagi negara maju dalam memilah dan membatasi produk yang masuk.
Rachmi menyebutkan, banyaknya indikator NTM memperlihatkan upaya pembatasan negara tujuan dalam kegiatan impor. Ia menyebutkan, negara-negara yang menjadi sasaran pasar bebas justru memiliki NTM yang tinggi.
Dari data IGJ tercatat Uni Eropa memiliki total 6.805, di Amerika Serikat 4.786, dan di China 2.194. Bahkan, negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand memiliki NTM yang lebih tinggi daripada Indonesia.
NTM yang dimiliki Thailand 990 dan Malaysia 313, sedangkan Indonesia hanya 272.
Hambatan NTM berupa sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barrier to trade (TBT) menjadi yang terbanyak.
Uni Eropa memiliki 1.262 SPS dan 4.004 TBT. Amerika Serikat menyusul dengan angka 2.769 (SPS) dan 1.405 (TBT), setelah itu China di angka 1.020 (SPS) dan 1.170 (TBT).
Hambatan SPS, ujar Rachmi, dapat dilihat pada sektor komoditas yang berkaitan langsung dengan kebersihan dan kesehatan, seperti produk pertanian dan hewan.
Untuk TBT, NTM yang diberlakukan biasanya terkait informasi terhadap konsumen, seperti pengemasan yang ramah konsumen negara tujuan.
Rachmi mengatakan, teknologi dan gerakan masyarakat di negara maju berpengaruh pada NTM. Fasilitas yang ada mampu memeriksa dengan detail setiap produksi.
Masyarakat negara maju juga sadar dengan apa yang mereka konsumsi. Mereka memperhatikan produk yang beredar apakah sesuai dengan standar kesehatan.
Menurut dia, negara-negara maju mempersiapkan NTM untuk membatasi produk dengan menggunakan fasilitas yang canggih. Mereka memiliki standar yang terkadang jauh di atas kemampuan Indonesia saat ini.
”Beberapa indikator bahkan melampaui produk. Contohnya di Eropa, produk yang dalam prosesnya terbukti menyebabkan pencemaran lingkungan tidak diperbolehkan masuk,” kata Rachmi.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati melihat NTM adalah upaya negara dalam melindungi kepentingan nasionalnya, yaitu menyelamatkan produksi dalam negeri dari gempuran komoditas impor yang terkadang memiliki kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah dibandingkan produk lokal.
Dihubungi terpisah, Enny mengatakan, untuk menembus pasar bebas negara maju yang menjadi sasaran, para produsen harus bisa memenuhi standar yang ditetapkan negara tujuan dengan meningkatkan kualitas produksi. Namun, yang terjadi malah produk Indonesia menghadapi hambatan.
Enny berujar, produsen dalam negeri menghadapi dua tembok besar. Pertama, pasar ekspor yang memiliki standar tinggi.
Kedua, produsen sering berhadapan dengan ketentuan yang tidak berkaitan dengan standar ekspor ke negara-negara maju, bahkan terkesan mengada-ada, seperti izin yang berbelit atau pungutan liar.
”Jika dibiarkan, daya kompetisi produsen akan lemah. Bukan hanya tidak memiliki kesempatan untuk ekspor, produksi dalam negeri bisa saja kalah dari barang-barang impor yang mulai menyerbu pasar,” katanya.
Menurut Enny, pemerintah seharusnya membantu produsen memenuhi standar yang ditetapkan pasar bebas yang ada di negara maju.
Indonesia butuh negosiator yang bisa memenangkan perundingan dalam perjanjian perdagangan internasional.
Ia mencontohkan, kualitas pengemasan pada produk olahan makanan yang belum memenuhi standar bisa diperbaiki.
Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menambahkan, Indonesia butuh negosiator yang bisa memenangkan perundingan dalam perjanjian perdagangan internasional.
Saat dihubungi terpisah, ia berujar, negosiator yang andal bisa membawa perundingan ke arah yang menguntungkan bagi negara. Bisa saja, komoditas yang akan diekspor bisa masuk dengan catatan-catatan yang meringankan.
Ongkos produksi
Lana memaparkan, sulitnya produksi Indonesia menembus NTM pasar bebas negara maju terjadi karena ongkos produksi dalam negeri yang tinggi.
Jika standar negara maju ini dipenuhi, ongkos produksi akan semakin mahal dan berimbas pada harga komoditas.
Harga yang mahal, kata Lana, akan membuat produk yang diekspor kalah bersaing dengan produk lain.
Lana menjelaskan, ongkos produksi di Indonesia menjadi tinggi karena infrastruktur yang ada tidak mampu mengimbangi laju produktivitas. Ia mencontohkan, jalan yang macet akan menambah biaya transportasi, belum lagi pungli yang masih marak terjadi.
”Jadi, keputusan pemerintah untuk memprioritaskan infrastruktur sudah tepat. Semakin maju infrastrukturnya, ongkos produksi akan semakin kecil. Transportasi lancar. Jika itu bisa diselesaikan, baru produsen bisa memikirkan standar dari pasar bebas ini,” katanya.
Menurut Lana, kualitas produk yang meningkat juga berimbas kepada standar kehidupan masyarakat.
Jika produk-produk yang beredar telah mengikuti standar pasar bebas negara maju dan pasar menjadi terbuka, perekonomian akan meningkat. Ia berujar, peningkatan perekonomian ini juga berimbas pada gaya hidup masyarakat.
”Jika produk kita sudah bisa mengimbangi produk negara maju, bukan tidak mungkin indikator NTM Indonesia juga akan bertambah. Dengan ini, Indonesia memiliki bargaining position, posisi tawar, dalam perundingan dagang dengan negara lain,” ujarnya. (DD12)