100 Hari Anies-Sandi: Keadilan dalam Mengelola Kota
Sebanyak 29 program yang sudah berjalan selama 100 hari pertama kekuasaan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah diumumkan Tim Anies-Sandi. Terdapat nuansa pembelaan pada kelompok masyarakat terpinggirkan, namun rasa keadilan masih harus dipertanyakan.
Peletakan batu pertama untuk program rumah DP nol persen, pembangunan shelter Kampung Akuarium, dan peluncuran CAP (Community Action Plan) untuk penataan kampung adalah beberapa di antara 29 program tersebut.
Selain itu yang tengah dalam proses adalah rencana mencabut aturan pembatasan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin-Jalan Medan Merdeka Barat menyusul putusan Mahkamah Agung, penutupan sebagian ruas Jalan Jatibaru Raya di Tanahabang, dan rencana diaktifkannya moda transportasi becak secara resmi sebagai angkutan lingkungan.
Dalam Peluncuran Persiapan CAP yang diselenggarakan Jaringan Rakyat Miskin Kota di Waduk Pluit, Jakarta, Minggu (14/1) lalu, Anies menyebutkan sejumlah frasa terkait pemenuhan rasa keadilan tersebut. Beberapa di antaranya adalah “tanggung jawab membukakan kesempatan (untuk berpenghidupan lebih baik) ada pada pemerintah, “pemerintah harus bela yang lemah,” “(Orang-orang) Datang dari mana-mana untuk perbaiki kehidupan,” dan “buat abang becak (ini) kesempatan (untuk menjadi) sejahtera.”
Community Officer Urban Poor Consortium Gugun Muhammad yang turut melakukan kajian rencana penetapan rute becak bersama Serikat Becak Jakarta, Minggu (28/1) mengatakan saat ini terdapat 1.300 unit becak di Jakarta. “Ini bukan becak baru,” kata Gugun tentang keberadaan ribuan becak yang selama ini sudah ada dan bakal diatur serta bukan ditambah itu.
Gugun menyatakan, pihaknya tengah menyusun 11 peta rute operasi dan desain becak per kawasan di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat agar terdapat kejelasan lokasi mana yang boleh dilewati dan tidak. Namun Jakarta punya lebih banyak rute lain, dan menurut Gugun sisanya akan diserahkan pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Terkait hal tersebut, pakar transportasi dari Universitas Indonesia Ellen Sophie Wulan Tangkudung mempertanyakan aspek keadilan terkait pengaktifan becak. “Jika mau berkeadilan, kenapa mereka (penarik becak) dipertahakan dan kenapa tidak dinaikkan (tingkatan mata pencahariannya), misalnya (mengemudi) bajaj,” sebut Ellen dalam diskusi bersama Institut Studi Transportasi (Instran) di Jakarta, Selasa (16/1).
Ellen menilai hal itu berdasarkan kondisi penarik becak di Jelambar di Jakarta Barat dan Teluk Gong di Jakarta Utara yang rata-rata berusia lanjut dan bersaing dengan pengemudi ojek daring. Pengaturan rute becak, imbuh Ellen juga tidak efektif, berdasarkan kebijakan sama di masa lalu dengan pembedaan jalur berdasarkan warna becak.
Ini belum ditambah dengan indikasi bakal mengalirnya arus urbanisasi tambahan menuju Jakarta oleh sebagian orang yang hendak menjadi penarik becak. Perkembangan pola urbanisasi ini, menurut David Harvey dalam buku Social Justice and The City (2009) berada dalam pengaruh kapitalisme dan paralel dengan kurva logistik tentang uang, produksi, dan populasi yang lekat dengan sejarah akumulasi modal.
Pakar tata kota Nirwono Joga menilai sejumlah program seperti pembangunan shelter di Kampung Akuarium seperti menabrak aturan tentang wilayah-wilayah mana saja yang diperbolehkan dan dilarang mendirikan permukiman. “Ini bukan masalah tidak memihak, tapi kalau pemerintah (DKI Jakarta) melanggar, bagaimana dengan daerah-daerah lain,” sebut Nirwono
Menurut Nirwono, adil dalam praktik penatan kota adalah menaati aturan-aturan yang sudah disepakati bersama dalam berbagai produk hukum. “Apa yang membedakan kota dengan bukan adalah, kota dibangun dengan tertib, ada aturannya,” ujarnya.
Zukin (1995) dalam buku The Right to The City: Social Justice and The Fight for Public Space yang ditulis Don Mitchell (2003) menyebutkan bahwa dalam membangun kota adalah mengenai bagaimana orang-orang mengombinaskan faktor-faktor perekonomian tradisional seperti lahan, tenaga kerja, dan modal. Tapi selain itu juga tergantung pada cara untuk memanipulasi bahasa-bahasa simbol terkait eksklusi (putusnya akses layanan dan jejaring sosial) serta hak yang dimiliki. Tampilan dan nuansa kota mencerminkan keputusan-keputusan tentang apa dan siapa yang harus terlihat dan apa yang tidak boleh terlihat, terkait konsep ketertiban dan kekacauan serta aspek keindahan.
Pertanyaan seputar rasa keadilan menyusul penutupan sebagian ruas Jalan Jatibaru Raya untuk pedagang kaki lima di kawasan pusat dagang Tanahabang juga terjadi. Ini menyusul kepadatan jalan yang berdasarkan analisis Ditlantas Polda Metro Jaya, melonjak hingga 60 persen akibat penutupan jalan tersebut.
Berdasarkan catatan Kompas, Polda Metro Jaya sudah meminta agar pedagang kali lima dipindahkan dari ruas jalan tersebut. Hal ini agar Jalan Jatibaru Raya dapat dikembalikan ke fungsi semula.
Proporsional
Profesor riset (emeritus) bidang geoteknologi LIPI Jan Sopaheluwakan yang kini menjabat sebagai Presiden Indonesia International Institute for Urban Resilience and Infrastructure mengatakan bahwa keadilan berarti proporsional. Hal ini terkait penataan ulang sejumlah kampung di Jakarta dengan salah satunya berupa pembanguan shelter di Kampung Akuarium.
“Karena regulasi dibuat berdasarkan kajian dan tidak bisa penuhi (keinginan) semua orang,” kata Jan yang juga anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta itu.
Namun pada sisi lain Jan melihat adanya konflik identitas dalam penataan kota. Ia mengatakan, sebagai bangsa maritim yang pada dasarnya berpandangan terbuka, saat ini sebagian orang justru telah terkooptasi semangat kontinental yang berhasrat menguasai dalam merencanakan dan membangun perkotaan.
Akibatnya penguasaan lahan oleh orang-orang yang memiliki modal terjadi secara masif serta relatif tanpa kontrol pemerintah karena sepenuhnya diserahkan pada logika pasar. Ia mencontohkan pembangunan sejumlah kawasan permukiman oleh sebagian perusahaan yang cenderung menimbulkan segregasi sosial, baik disengaja ataupun tidak.
Hal-hal tersebut memang cenderung menjadi tantangan dalam isu tata kota. Dalam buku Planning Sustainable Cities And Regions: Towards More Equitable Development yang ditulis Karen Chapple (2015) tercantum tiga premis yang telah memandu perencanaan kota dan pembuatan kebijakan dalam abad terakhir.
Ketiganya adalah bagaimana merencanakan pengelolaan kepadatan dan keanekaragaman lingkungan, bagaimana mengembangkan perekonomian di lokasi-lokasi spesifik, dan bagaimana menempatkan penduduk miskin untuk berada dekat dengan kesempatan-kesempatan ekonomi dan sosial. Menurut Chapple, dalam beberapa hal ini berarti kita perlu mengonsep ulang serangkaian hubungan, yakni: Hubungan antara orang dengan perencanaan-perencanaan, perekonomian dengan tempat atau lokasi, dan penduduk miskin dengan kesempatan-kesempatan hidup mereka. (IRE/HLN)