Melawan Cuaca dan Pukat Hela
Sudah tiga bulan, Soni (39) nelayan di Pantai Malabero, Bengkulu tidak melaut. Angin kencang dan gelombang tinggi menghalanginya mencari uang. Dia pun harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jumat (12/1) dua pekan lalu, Soni hanya bisa duduk santai di depan teras sebuah warung. Dia berbincang bersama sejumlah rekannya, sesama nelayan, sembari sesekali menyeruput segelas kopi. Soni adalah nelayan tradisional yang menggunakan perahu 5 GT untuk melaut. Perahu seukuran itu tak akan mampu melawan keganasan gelombang laut. "Gelombang laut bisa mencapai 4 meter," ujar Soni.
Kalaupun melaut, lanjut Soni, dia harus melihat kondisi cuaca terlebih dahulu. "Terkadang sesampainya di tengah laut, dia harus kembali karena tiba-tiba angin kencang," ujar dia. Siang itu, cuaca sangat tidak bersahabat angin kencang betiup dari laut, gelombang menerjang, perahu milik nelayan pun terombang-ambing.
Akibat sering tidak melaut, pendapatan Soni pun menurun. Apabila cuaca normal, lanjut Soni, dia bisa mendapat upah Rp 200.000-Rp300.000 per hari dari hasil melaut. Namun, saat badai terus menerjang, untuk mendapatkan uang sangat sulit. "Bagaimana mau dapat uang jika tidak melaut," kata dia. Untuk memenuhi kebutuhan, dia terkadang menjadi seorang buruh lepas.
Untuk mengisi waktu luang, beberapa nelayan membuat jaring dan memperbaiki kapal sebagai bekal untuk melaut jika kondisi cuaca sudah membaik. Soni mengatakan, biasanya kondisi laut akan kembali membaik pada bulan Maret-Agustus. "Di waktu itulah, kami bisa melaut," ujar Soni.
Namun, saat hari mulai sore, sejumlah nelayan nekat melaut. Dengan bergotong royong mereka mendorong perahu ke laut. Butuh tenaga lima orang untuk mendorong perahu ke tengah laut. Jangkar dinaikan, mereka pun berlayar walau nyawa taruhannya.
Untuk mendapatkan ikan, nelayan di Pantai Malabero harus berlayar setidaknya 30 mil dari garis pantai. “Kalau di bawah itu, ikan jarang ditemui,” kata Soni.
Bersaing dengan nelayan pukat hela
Kondisi cuaca bukalnya satu-satunya kendala, nelayan tradisional juga harus menghadapi sejumlah nelayan yang melaut dengan menggunakan pukat hela. Pukat hela adalah puka yang menjaring ikan sembari kapalnya berjalan. "Akibat pukat hela, hasil tangkapan menurun," ujar Marko (39) nelayan lainnya.
Penggunaan pukat hela membuat kondisi perairan Bengkulu rusak. Karang hancur sehingga tidak ada lagi ruang bagi ikan untuk berkembang biak. Bahkan, penggunaan pukat hela juga membuat ikan-ikan kecil yang seharusnya belum bisa ditangkap ikut terjaring.
Keberadaan nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat hela sudah ada sejak 32 tahun lalu. Nelayan tersebut datang dari sejumlah provinsi seperti Jambi dan Lampung. Namun, dampak dari penggunaan jaring pukat hela baru terasa sejak tiga tahun lalu. "Biasanya, kami bisa menangkap 500 kg ikan per hari sekarang untuk mendapatkan 100 kg ikan saja sulit," kata dia.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Wilayah Kota Bengkulu, Romi Paslah menerangkan, sebenarnya sejak awal tahun ini, penggunaan alat tangkap pukat hela sudah tidak diperbolehkan beroperasi di perairan Bengkulu.
Hal ini dikarenakan, alat tangkap tersebut dinilai tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap ini juga merusak ekosistem di dalam laut sehingga berdampak pada berkurangnya hasil tangkapan terutama bagi nelayan tradisional.
Keputusan ini juga dibuat karena sudah banyak konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan yang menggunakan pukat hela. “Setelah diadakan pertemuan dengan sejumlah instansi terkait, akhirnya diputuskan penggunaan pukat hela dihentikan,” ujar Romi.
Romi menerangkan, penggunaan pukat hela memang sangat menjanjikan karena tidak mengeluarkan banyak biaya produksi, di sisi lain hasil tangkapan pun lebih banyak dibanding dengan alat tangkap biasa. Saat ini tercatat ada sekitar 387 kapal pukat hela yang beroperasi di perairan Bengkulu. “Penggunaan kapal pukat hela sudah berlangsung sejak 32 tahun lalu sehingga sudah membudaya,” ujarnya.
Kebanyakan kapal pukat hela datang dari sejumlah provinsi seperti dari Jambi dan Lampung. Pengoperasian kapal pukat hela paling banyak terjadi di Kota Bengkulu dan Kabupaten Muko-Muko.
Untuk menjamin kapal pukat hela tidak lagi beroperasi, pihaknya bekerjasama dengan masyarakat terutama nelayan untuk bersama melakukan pengawasan. “Apabila masih ditemukan kapal pukat hela, nelayan boleh mendokumentasikannya dan mencatat titik koordinat kapal tersebut dan melaporkannya pada pihak berwenang,” ujarnya.
Dengan dikeluarkannya aturan ini, lanjut Romi, pihaknya meyakini produksi perairan tangkap Bengkulu dapat meningkat mengingat ikan dapat berkembang biak dengan baik.
Romi berharap setelah larangan ini dikeluarkan, pemerintah segera mengeluarkan bantuan agar nelayan dapat mengganti alat tangkapnya. “Dengan demikian, tidak ada lagi nelayan ingin kembali menggunakan alat tangkap pukat hela,” kata dia.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Ivan Syamsul Rizal mengatakan, sejak satu tahun lalu, pemerintah daerah telah melakukan pendampingan bagi para nelayan dan menganjurkan untuk mengganti alat tangkap. Saat ini pun pemerintah daerah sudah mendata nelayan pukat hela untuk mendapatkan bantuan alat tangkap.
Hanya saja, sebagian besar kapal pukat hela berkapasitas di atas 10 GT, padahal bantuan hanya diberikan bagi nelayan dengan kapasitas di bawah 10 GT. Walau demikian, peraturan akan tetap dilaksanakan. Untuk memastikan, semua nelayan tidak lagi menggunakan puka hela, pihaknya akan melakukan pemeriksaan saat nelayan mengajukan perpanjangan izin menangkap ikan. “Apabila masih menggunakan alat tangkap pukat hela, maka izin tidak akan diterbitkan,” kata dia.
Dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, diharapkan produksi perikanan tangkap provinsi Bengkulu dapat meningkat dari yang semula hanya 15.000 ton di tahun 2017 menjadi 68.000 ton di tahun 2018. “Sebenarnya, produksi perikanan tangkap di tahun 2017 mencapai 75.000 ton, namun karena beberapa daerah tidak tercatat dengan baik, jumlahnya jauh menurun,” kata dia.