Asmat dalam Pusaran Masalah
JAKARTA, KOMPAS — Kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, yang terjadi sejak Oktober 2017 hingga saat ini menguak sejumlah permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan. Sinergi seluruh sektor dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek, di Jakarta, Senin (15/1), mengatakan, kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, tidak bisa diselesaikan secara mandiri oleh Kementerian Kesehatan.
Persoalan tersebut merupakan akumulasi dari rangkaian persoalan infrastruktur, pendidikan, dan budaya yang khas.
Nila melanjutkan, berdasarkan riset yang dilaporkan kepadanya, budaya masyarakat Asmat tidak memprioritaskan anak untuk mendapat jatah makan. Jatah makan terutama diberikan kepada ayah sehingga ibu dan anak hanya mendapatkan sisa makanan.
Tingkat pendidikan orangtua yang rendah menyebabkan pengetahuan mengenai kandungan gizi di dalam makanan juga minim. Sebagian besar masyarakat tidak memiliki kebiasaan makan dengan kandungan gizi seimbang.
Jika menderita penyakit, masyarakat cenderung sulit mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi geografis Asmat sebagian besar adalah rawa-rawa. Infrastruktur jalan darat belum sepenuhnya dibangun.
Untuk bepergian, mereka menggunakan moda transportasi air, seperti speed boat. Jarak rumah penduduk ke puskesmas membutuhkan waktu tempuh tujuh jam.
Penyelesaian masalah di Asmat membutuhkan kerja sama lintas sektor, keterlibatan masyarakat, dan pemerintah daerah.
”Ini merupakan lingkaran setan, tidak bisa hanya dimulai oleh satu sektor,” ujar Nila. ”Penyelesaian masalah di Asmat membutuhkan kerja sama lintas sektor, keterlibatan masyarakat, dan pemerintah daerah,” ucapnya menambahkan.
Salah satu profesi yang wajib diikutsertakan untuk menyelesaikan masalah ini, tambahnya, adalah antropolog. Keterlibatan pemuka agama juga dibutuhkan sebab kedekatan emosional warga lebih erat kepada mereka ketimbang pemerintah.
Selain itu, Kementerian Kesehatan telah menginisiasi kerja sama dengan Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
”Senin (15/1) sore ini, kami juga akan mengadakan pembicaraan dengan beberapa kementerian terkait. Namun, masih dalam rapat tertutup,” kata Nila.
Cakupan imunisasi rendah
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi gizi buruk di Kabupaten Asmat pada 2017 sebesar 14,3 persen. Jumlah itu meningkat dari tahun 2016 sebesar 4,1 persen.
Kondisi gizi buruk, kata Nila, menyebabkan imunisasi tidak bekerja di dalam tubuh. Akibatnya, anak-anak yang berada dalam kondisi gizi buruk tidak memiliki kekebalan terhadap campak.
Sebagian besar anak memang tidak memiliki kekebalan terhadap campak.
Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi, cakupan imunisasi campak di Asmat dari Januari-Juli 2017 sebesar 17 persen. Bahkan, pada Agustus-Desember 2017 cakupan imunisasi tidak diketahui.
Ia menambahkan, Pemerintah Provinsi Papua tidak melaporkan cakupan imunisasi selama lima bulan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan pun tidak melakukan pengecekan terhadap ketiadaan laporan tersebut.
”Penyerahan data harus dilakukan secara bertahap karena dilakukan analisis di setiap jenjang. Dari kabupaten menyerahkan ke provinsi, lalu ke pemerintah pusat. Jika melakukan pengecekan dari atas ke bawah, berarti provinsi dilangkahi dan itu salah besar,” kata Jane.
Terdapat 177 tenaga kesehatan dan tujuh dokter di seluruh Asmat. Jumlah itu tidak mencukupi kebutuhan 13 puskesmas yang ada di Asmat.
Dari segi imunisasi, dalam jangka pendek Kementerian Kesehatan akan mengintervensi dengan melakukan vaksinasi secara langsung serta pencatatan penderita campak dan gizi buruk.
Dalam jangka panjang, pihaknya akan membangun sistem peninjauan ke setiap desa di Asmat setiap tiga bulan.
Jumlah tenaga kesehatan minim
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri menyatakan, terdapat 177 tenaga kesehatan dan tujuh dokter di seluruh Asmat. Jumlah itu tidak mencukupi kebutuhan 13 puskesmas yang ada di Asmat.
Usman menambahkan, tujuh dokter itu bertugas di tujuh puskesmas. Sebanyak enam puskesmas lainnya tidak memiliki dokter. Masyarakat hanya dilayani tenaga kesehatan, salah satunya perawat.
”Standar puskesmas yang memiliki ruang perawatan itu harus memiliki dua dokter, tetapi puskesmas di Asmat tidak ada yang memiliki ruang perawatan,” kata Usman.
Selain puskesmas, terdapat satu rumah sakit di Kabupaten Asmat yang berpenduduk 105.000 orang. Rumah sakit itu memiliki tiga dokter spesialis. Jumlah dokter spesialis baru akan bertambah menjadi empat pada akhir Januari.
Menurut Usman, sulit menemukan dokter dan tenaga kesehatan yang bersedia bekerja di Asmat. Tantangan geografis menyebabkan mereka enggan untuk bekerja di wilayah itu.
Sulit menemukan dokter dan tenaga kesehatan yang bersedia bekerja di Asmat. Tantangan geografis menyebabkan mereka enggan untuk bekerja di wilayah itu.
Untuk menambah jumlah dokter, kata Usman, Kementerian Kesehatan mengoptimalkan program Nusantara Sehat dan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Para dokter diminta mengikuti program pengabdian selama dua tahun di wilayah terpinggir.
”Kami akan menaikkan insentif untuk para dokter dari Rp 11 juta per bulan menjadi sekitar Rp 20 juta per bulan,” ujarnya.
Selain itu, program Nusantara Sehat di Papua juga akan bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Kementerian Kesehatan membidik lulusan perguruan tinggi di Papua untuk terus bekerja di Papua.
”Dengan program itu, kami menargetkan kebutuhan satu puskesmas diisi satu dokter sudah tercapai pada 2018,” kata Usman.
Dalam jangka pendek, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan beberapa instansi, salah satunya TNI, untuk mengirim tenaga kesehatan. Sebanyak 53 tenaga kesehatan telah dikirim ke Asmat, delapan di antaranya adalah dokter spesialis.
”Untuk pelayanan kesehatan, kami juga menyediakan layanan flying care yang akan beroperasi ke seluruh Asmat selama satu hingga dua minggu,” ujar Usman.
Infrastruktur
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional 18 Jayapura Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Ostman Harianto Marbun mengatakan, pemerintah belum memiliki konsep pembangunan infrastruktur jalan darat di Asmat.
Pembangunan jalan membutuhkan biaya besar karena sebagian besar merupakan daerah rawa-rawa. Saat ini, Asmat belum memiliki jaringan jalan.
Konsep pembangunan jalan yang dibuat pemerintah hanyalah proyek Trans-Papua.
Kondisi geografis Asmat tidak cocok sebagai tempat tinggal. Semestinya daerah itu dijadikan tempat wisata saja.
Trans-Papua dibangun di daerah pegunungan sepanjang 3.529 kilometer. Proses pengerjaannya sudah mencapai 89 persen. Jalan itu ditargetkan dapat dibuka pada 2019.
Menurut Ostman, kondisi geografis Asmat tidak cocok sebagai tempat tinggal. ”Semestinya daerah itu dijadikan tempat wisata saja,” ujarnya. (DD01)