Semua Pihak Harus Taati Putusan MK soal "Presidential Threshold"
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan presiden dan kewajiban verifikasi partai politik yang akan diputuskan Kamis (11/1) besok harus diterima semua pihak dengan lapang dada. Segala perdebatan hukum mengenai konstitusionalitas dua ketentuan di dalam Undang-Undang Pemilu telah disampaikan di dalam rangkaian persidangan sejak September tahun lalu.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Soeroso, Rabu (10/1), di Jakarta, mengatakan, semua pihak diharapkan menaati apa pun putusan MK itu, termasuk jika akhirnya putusan itu memberikan arah yang berbeda pada desain Pemilu 2019.
”Yang terpenting, baca dan pahami dulu dengan utuh dan benar putusan MK. Apa pun putusan MK, silakan semua pihak menghormati, menaati, dan melaksanakan putusan MK. Kalau misalnya putusan MK membuat legal policy baru, itulah putusan atas permasalahan konstitusional yang diajukan. Silakan itu segera dilaksanakan. Sebaliknya, jika tidak, ya tetap juga harus diterima,” kata Fajar.
Menurut Fajar, putusan MK bertujuan untuk membuat kepastian hukum. Pihak yang nantinya tidak setuju terhadap putusan MK sah-sah saja menyampaikan keberatannya di depan publik. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi kekuatan mengikat putusan MK.
Semua pihak harus menaati. Ruang perdebatan sudah dibuka sedemikian luas di ruang sidang. Jadi, secara hukum, putusan MK harus dihormati dan dilaksanakan, bukan lagi diperdebatkan.
”Artinya, semua pihak harus menaati. Ruang perdebatan sudah dibuka sedemikian luas di ruang sidang. Jadi, secara hukum, putusan MK harus dihormati dan dilaksanakan, bukan lagi diperdebatkan,” ujar Fajar.
MK menjadwalkan putusan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dibacakan pada Kamis besok. Sebanyak 13 perkara uji materi yang diajukan para pemohon yang berbeda akan dibacakan oleh mahkamah secara serentak di ruang sidang MK, lantai 2.
Terdapat dua pasal di dalam UU Pemilu itu yang menjadi pokok keberatan yang diajukan pemohon. Para pemohon dari kalangan parpol, seperti Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Islam Damai Aman (Idaman), mengajukan uji konstitusionalitas Pasal 173 UU Pemilu yang mereka nilai diskriminatif.
Pemohon menilai Pasal 173 itu menguntungkan parpol-parpol lama karena mereka tidak harus mengikuti verifikasi, sebagaimana diwajibkan kepada parpol-parpol baru yang belum pernah ikut pemilu.
Pemohon menilai Pasal 173 itu menguntungkan parpol-parpol lama karena mereka tidak harus mengikuti verifikasi, sebagaimana diwajibkan kepada parpol-parpol baru yang belum pernah ikut pemilu.
Pasal lainnya yang diuji konstitusionalitasnya adalah Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi, ”Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif), dan dua pemohon perseorangan, yaitu Hadar Nafis Gumay dan Yuda Irlang, antara lain yang menjadi pemohon uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tersebut.
Menurut pemohon, pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Berdasarkan ketentuan konstitusi itu, pemohon menilai ambang batas pencalonan itu tidak relevan karena konstitusi mengatur presiden bisa dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol.
Penentuan ambang batas pencalonan presiden itu pun menjadi tidak sesuai lagi jika dilakukan dalam pemilu tahun 2019 karena Pemilu 2019 dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif.
”Penentuan ambang batas itu pun menjadi tidak relevan jika yang dijadikan dasar penentuan ambang batas pencalonan itu ialah pemilu sebelumnya (tahun 2014),” kata Veri Junaidi, Ketua KoDe Inisiatif.
Jika MK mengabulkan permohonan itu, desain pemilu akan berubah karena setiap parpol bisa mengajukan capres dan cawapres. Desain pemilu yang selama ini kita kenal, yakni adanya batasan raihan suara dan kursi dalam pencalonan presiden, tidak lagi berlaku.
Menurut Veri, jika putusan MK mengenai presidential threshold dikabulkan oleh MK, desain pemilu akan berubah. Tidak ada lagi syarat kursi dan raihan suara bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
”Jika MK mengabulkan permohonan itu, desain pemilu akan berubah karena setiap parpol bisa mengajukan capres dan cawapres. Desain pemilu yang selama ini kita kenal, yakni adanya batasan raihan suara dan kursi dalam pencalonan presiden, tidak lagi berlaku,” ujarnya.