Meluruskan Kembali ”Judex Juris” MA
Beban penanganan perkara Mahkamah Agung dari tahun ke tahun terus meningkat. Tren peningkatan perkara yang masuk ini belum secara khusus dikaji lembaga peradilan tertinggi tersebut.
Kendati berupaya diatasi dengan percepatan penanganan perkara melalui pembatasan waktu penanganan selama tiga bulan, hakim-hakim agung tetap kehilangan waktu berharga dalam menjalankan tugasnya menguji dan menelisik tepat tidaknya penerapan hukum atau ada tidaknya permasalahan hukum dalam suatu putusan perkara.
Catatan akhir tahun MA tahun 2017 menunjukkan tren yang terus meningkat ini. Tahun 2017, MA menerima 15.181 perkara.
Beban perkara yang harus diperiksa pada tahun 2017 itu menjadi lebih tinggi apabila dijumlahkan dengan sisa perkara tahun 2016 yang belum tuntas diperiksa, yakni 2.357 perkara.
Beban perkara yang harus diperiksa pada tahun 2017 itu menjadi lebih tinggi apabila dijumlahkan dengan sisa perkara tahun 2016 yang belum tuntas diperiksa, yakni 2.357 perkara.
Jumlah keseluruhan perkara yang harus diperiksa MA sepanjang tahun 2017 menjadi 17.538 perkara. Jumlah perkara masuk tahun 2017 itu pun lebih tinggi daripada tahun 2016, yang jumlahnya 14.630 perkara.
Dari tahun ke tahun, tren peningkatan perkara yang masuk ke MA ini belum secara khusus dikaji MA.
Ketua MA Hatta Ali dalam refleksi akhir tahun, 28 Desember lalu mengatakan, ada dua hal yang mungkin menyebabkan terus naiknya beban perkara MA.
Pertama, kepercayaan masyarakat sangat tinggi kepada MA sehingga mereka tidak segan mengajukan perkaranya ke tingkat kasasi, bahkan peninjauan kembali (PK), ke MA.
”Jika publik sudah tidak percaya kepada MA, tentunya mereka akan malas mengajukan perkara kasasi dan PK ke MA. Namun, tampaknya itu tidak terjadi karena perkara yang masuk terus tinggi,” kata Hatta.
Kemungkinan kedua, masyarakat mulai memiliki kesadaran yang tinggi untuk berperkara ke MA. Artinya, masyarakat mulai tercerahkan agar menyelesaikan persoalan melalui jalur hukum. Hal itu secara otomatis akan meningkatkan perkara yang masuk ke MA dari tahun ke tahun.
Setiap tahun terjadi peningkatan perkara. Ini jadi tanda tanya bagi kami. Apakah ini karena kesadaran masyarakat yang meningkat dalam bidang hukum sehingga kepercayaan pada badan peradilan meningkat?
”Setiap tahun terjadi peningkatan perkara. Ini jadi tanda tanya kami. Seandainya masyarakat tidak percaya kepada badan peradilan tentunya mereka akan malas berperkara di MA. Atau apakah ini karena kesadaran masyarakat yang meningkat dalam bidang hukum sehingga kepercayaan pada badan peradilan meningkat?” kata Hatta.
Terus naiknya beban perkara ke MA itu berupaya diatasi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan penambahan hakim agung dan percepatan penanganan perkara untuk memperkecil timbulnya sisa perkara yang akan menjadi beban penanganan pada tahun berikutnya.
Sejumlah regulasi juga dibuat untuk mempercepat penanganan perkara, antara lain Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) Nomor 138/KMA/SK/IX/2009 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara, Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan; dan SK KMA 214/KMA/SK/XII/2014 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara.
Dari tahun ke tahun pun akselerasi MA untuk menyelesaikan perkara bisa dilakukan, yang antara lain ditandai dengan terus turunnya beban sisa perkara dari tahun ke tahun.
Sebagai gambaran, tahun 2016 ada sisa perkara yang belum diputus tahun ini sebanyak 2.357 perkara. Jumlah itu menurun pada tahun 2017 karena ada 1.571 perkara sisa.
Hatta Ali mengatakan, capaian ini adalah prestasi karena apabila dibandingkan dengan sisa perkara pada tahun-tahun sebelumnya, misalnya tahun 2004 yang pernah mencapai 20.314 sisa perkara, jumlah perkara sisa tahun 2016 dan 2017 jauh lebih baik.
Perkara-perkara baru terus masuk ke MA tanpa ada filter yang kuat untuk memilah perkara mana saja yang bisa masuk dan tidak masuk ke MA.
Dari sisi jumlah sisa perkara, MA agaknya mungkin berhasil menekan beban berat pada tahun selanjutnya. Namun, MA belum bisa menyaring perkara-perkara baru untuk masuk ke tingkat kasasi dan PK.
Perkara-perkara baru terus masuk ke MA tanpa ada filter yang kuat untuk memilah perkara mana saja yang bisa masuk dan tidak masuk ke MA.
Dengan jumlah hakim Agung hanya 49 orang, dan rata-rata perkara masuk minimal 13.000 perkara per tahun, bisa dibayangkan betapa runyamnya pemeriksaan perkara-perkara itu.
Konsistensi putusan MA pun menjadi terancam karena hakim agung bahkan tidak sempat membaca kertas dan berkas putusan dari pengadilan banding dengan saksama, serta mengkaji lebih detail apakah betul ada penerapan hukum yang salah sehingga perlu dibawa ke MA.
Konsistensi putusan MA pun menjadi terancam karena hakim agung bahkan tidak sempat membaca kertas dan berkas putusan dari pengadilan banding dengan saksama. MA kesulitan menjalankan fungsinya sebagai judex juris dalam menjaga kesatuan hukum dan konsistensi putusan.
MA kesulitan menjalankan fungsinya sebagai judex juris dalam menjaga kesatuan hukum dan konsistensi putusan.
Fungsi menyimpang
Peran MA sebagai judex juris, yakni hakim yang memeriksa penerapan hukum atas suatu perkara pun, telah jauh bergeser.
Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah diubah dengan UU No 5/2004 dan UU No 3/2009 menyatakan secara implisit peran judex juris itu.
Pasal 30 UU MA menyebutkan, ”Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Sayangnya, tidak semua pencari keadilan menyadari syarat diajukannya autau perkara kasasi ke MA.
Para pencari keadilan berupaya ”mencari kemenangan” dengan mengajukan segala upaya, sampai kasasi dan banding, untuk mencapai kemenangan di pengadilan.
Makna keadilan bagi pencari keadilan telah bergeser menjadi kemenangan bagi dirinya dan kekalahan bagi lawannya.
Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah, Senin (1/1) di Jakarta, mengatakan, dengan peran sebagai judex juris, MA seharusnya tidak lagi memeriksa bukti-bukti sebagaimana dilakukan pengadilan tingkat pertama ataupun pengadilan tingkat banding (judex factie).
MA seharusnya tidak lagi memeriksa bukti-bukti sebagaimana dilakukan pengadilan tingkat pertama ataupun pengadilan tingkat banding (judex factie), kecuali meneliti apakah ada kesalahan dalam cara mengadili dalam perkara itu, dan apakah penerapan hukum sudah sesuai.
MA hanya memeriksa berkas-berkas perkara itu dan meneliti apakah ada kesalahan dalam cara mengadili dalam perkara itu, dan apakah penerapan hukum sudah sesuai.
”Dengan peran judex juris ini, apabila hakim kasasi menemui ada penerapan hukum yang keliru di tingkat banding, hakim kasasi mengabulkan permohonan kasasi itu dan meminta pengadilan banding menyidangkan ulang perkara itu sesuai dengan masukan atau petunjuk perbaikan dari MA,” katanya.
Namun, karakter judex juris itu sudah menyimpang sejak lama.
Penelitian LeIP menunjukkan, dalam praktik kasasi yang telah lama berlangsung di MA, dipahami bahwa badan peradilan itu di tingkat kasasi (ataupun PK) berwenang menjatuhkan amar putusan yang akan menentukan siapa pihak yang menang ataupun kalah, jenis dan tingkat hukuman yang akan dijatuhkan, sesuai dengan tuntutan penggugat (dalam perkara perdata, agama, dan tata usaha negara) atau JPU dalam perkara pidana.
Hal ini diistilahkan sebagai ”banding sempurna” (full appeal) oleh Sebastian Pompe.
Praktik ini sangat berbeda dengan yang dijalankan di Belanda ataupun Perancis, tempat asal lembaga kasasi tersebut.
Kewenangan pengadilan kasasi terbatas pada menentukan apakah putusan judex factie (putusan pengadilan tingkat pertama atau banding) telah tepat dalam menerapkan hukum atau tidak, termasuk juga apakah terdapat kesalahan dalam cara mengadili atau tidak.
Di kedua negara tersebut dipahami bahwa kewenangan pengadilan kasasi terbatas pada menentukan apakah putusan judex factie (putusan pengadilan tingkat pertama atau banding) telah tepat dalam menerapkan hukum atau tidak, termasuk juga apakah terdapat kesalahan dalam cara mengadili atau tidak.
Dengan pemaknaan kasasi menjadi ”banding sempurna” ini, MA berperan seperti halnya pengadilan banding kedua.
MA dipandang tidak lagi berfungsi menjaga kesatuan penerapan hukum melalui kasasi, dan membuat putusan-putusan yang bisa menjadi rujukan permasalahan hukum ke depan, tetapi lebih pada memberikan ”keadilan” bagi pihak yang bersengketa.
Hal ini berdampak pada melemahnya peran yurisprudensi, yang pada akhirnya membuka ruang yang sangat besar terjadinya inkonsistensi putusan, tidak hanya di tingkat pertama dan banding, tetapi juga di MA sendiri.
Inkonsistensi menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian hukum mendorong para pihak terus mengajukan upaya hukum dengan harapan ”nasib baik” bahwa perkaranya akan dimenangkan di tingkat kasasi.
PK pun bergeser menjadi pengadilan tingkat keempat setelah upaya hukum ditempuh di pengadilan tingkat pertama, banding di pengadilan tinggi (PT), dan pengajuan kasasi di MA.
Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 34/PUU-IX/2013 yang diajukan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, PK pun bisa diajukan lebih dari sekali.
Mengenai PK ini, Hatta Ali mengatakan, pihaknya memiliki aturan internal yang memberi kesempatan PK hanya satu kali, kecuali ada hal khusus yang membuat PK bisa diajukan lebih dari satu kali.
Disadari, adanya potensi perkara kasasi dan PK masuk berkali-kali ke MA apabila tidak ada pembatasan perkara. Tujuannya macam-macam, mulai dari penundaan eksekusi dalam sengketa perdata hingga penundaan hukuman mati.
Hatta menyadari adanya potensi perkara kasasi dan PK masuk berkali-kali ke MA apabila tidak ada pembatasan perkara. Tujuannya macam-macam, mulai dari penundaan eksekusi dalam sengketa perdata hingga penundaan hukuman mati.
”Kami memiliki SEMA No 7/2014 tentang PK yang hanya satu kali, tetapi itu bukan berarti bertentangan dengan putusan MK. Sebab, ada celah pencari keadilan untuk mengajukan PK kali kedua bilamana ada perbedaan putusan antara pengadilan satu dan pengadilan yang lain dalam suatu perkara terkait, atau ada putusan PK yang bertentangan antara satu sama lain,” kata Hatta yang mengaku pernah menangani suatu perkara PK sampai PK keempat.
Inkonsistensi putusan
Efek negatif dari ”penyimpangan” peran judex juris di MA adalah inkonsistensi putusan karena masing-masing hakim di MA memiliki pertimbangan masing-masing.
Hakim di tingkat kasasi bisa berbeda-beda dalam memberikan pertimbangan sekalipun perkara yang ditanganinya serupa.
MA juga belum memiliki katalog atau mekanisme pencatatan yurisprudensi sehingga hakim kesulitan menemukan rujukan atau contoh pertimbangan atas suatu putusan serupa di masa lalu sebagai bahan referensi berguna untuk pertimbangan hakim di masa depan.
Peran judex juris sebagai penilai mengenai ada atau tidaknya kesalahan penerapan hukum dilewati begitu saja sehingga kasasi dan PK menjadi ajang untuk menentukan nasib pencari keadilan, bukan menjaga kesatuan penerapan hukum.
Tidak mengherankan, putusan MA di tingkat kasasi dengan mudahnya dibatalkan di tingkat PK karena ketidakajekan putusan.
Peran judex juris sebagai penilai mengenai ada atau tidaknya kesalahan penerapan hukum dilewati begitu saja sehingga kasasi dan PK menjadi ajang untuk menentukan nasib pencari keadilan, bukan menjaga kesatuan penerapan hukum.
Contoh nyata belakangan ini ditunjukkan dengan diringankannya vonis penjara untuk advokat OC Kaligis, yang di tingkat banding divonis 7 tahun penjara, lalu dinaikkan di tingkat kasasi menjadi 10 tahun, dan kemudian diturunkan lagi menjadi 7 tahun penjara di tingkat PK.
MA sekali lagi beralasan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara adalah bagian dari independensi hakim.
Diturunkannya hukuman sejumlah koruptor bukan bagian dari desain pelemahan pemberantasan korupsi, melainkan karena hakim melihat ada hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa.
Mengenai putusan Kaligis, Hatta memberikan penjelasan, ”Saya sebenarnya tidak boleh mengomentari putusan hakim karena saya sendiri adalah hakim. Namun, untuk putusan Kaligis ini, saya berupaya menjelaskan pertimbangan hakim yang memutus kira-kira, yakni karena melihat uang yang diberikan Kaligis kepada hakim PTUN Medan itu hanya Rp 150 juta.”
”Mungkin karena nilai uangnya yang tidak terlalu besar, hukumannya seharusnya juga disesuaikan, yakni dengan tidak terlalu tinggi. Kaligis ini kan juga mengaku tidak pernah menyuruh anak buahnya pengacara memberikan uang kepada hakim. Pemberian itu dilakukan atas inisiatif anak buahnya sendiri,” ujarnya.
Inkonsistensi putusan di MA sudah hampir menjadi persoalan klasik karena tampaknya para hakim juga tidak terlalu memberi perhatian dalam menyusun pertimbangan putusannya.
Pengajar hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Anugerah Rizky Akbari, mengatakan, inkonsistensi putusan di MA sudah hampir menjadi persoalan klasik karena tampaknya para hakim juga tidak terlalu memberi perhatian dalam menyusun pertimbangan putusannya.
MA sebagai judex juris bahkan seharusnya tidak mengeluarkan vonis apabila terbukti ada kesalahan penerapan hukum atau cara mengadili.
”Ada beberapa putusan kasasi yang sesuai dengan judex juris, yakni dengan mengembalikan putusannya ke pengadilan banding untuk diperbaiki. Namun, lebih banyak lagi yang tidak seperti itu,” kata Rizky.
Contoh dari kurang seriusnya pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman adalah dengan melihat pertimbangan meringankan dan memberatkan dari suatu perkara yang biasanya sama dari perkara satu dengan perkara lain.
Contoh dari kurang seriusnya pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman ialah dengan melihat pertimbangan meringankan dan memberatkan dari suatu perkara yang biasanya sama dari perkara satu dengan perkara lain.
Untuk yang meringankan, hakim biasanya mengomentari perilaku terdakwa yang sopan selama persidangan, terdakwa yang menunjukkan penyesalan, dan usia terdakwa masih muda, atau masih punya tanggungan anak dan keluarga.
Untuk pertimbangan memberatkan, hakim biasanya menilai terdakwa tidak mendukung program pemberantasan korupsi (bagi terdakwa kasus korupsi), terdakwa tidak mengakui perbuatannya, atau terdakwa merusak sistem check and balance antara legislatif dan eksekutif (dalam perkara korupsi atau suap pegawai negeri dengan DPR).
”Kadang juga hakim bisa berbeda dalam menjadikan suatu pertimbangan memberatkan dan meringankan. Usia tua, misalnya, ada yang dijadikan unsur meringankan, tetapi ada pula yang menjadi unsur memberatkan. Begitu pula status PNS, ada yang menjadi unsur meringankan karena terdakwa puluhan tahun mengabdi bagi negara, tetapi di sisi lain ada hakim yang menjadikannya unsur memberatkan karena sebagai PNS tidak memberi contoh,” kata Rizky.
Liza mengatakan, sudah ada sejumlah filter berupa regulasi dan aturan internal MA yang menentukan apakah suatu perkara bisa diajukan kasasi atau tidak. Apabila MA mematuhi aturan itu, peran judex juris bisa ditegakkan kembali, dan inkonsistensi putusan bisa diminimalisasi.
”Selain faktor dari internal MA yang kurang patuh pada regulasi dan aturan internal MA sendiri, ada juga faktor eksternal yang membuat perkara yang masuk ke MA membeludak. Salah satunya adalah peran kejaksaan. Ada peraturan Kejaksaan Agung yang mewajibkan jaksanya mengajukan kasasi apabila putusan pengadilan di bawah dua pertiga dari tuntutan jaksa,” kata Liza.