Sukamdani Sahid Gitosardjono Tutup Usia
JAKARTA, KOMPAS — Sukamdani Sahid Gitosardjono (89), pengusaha nasional pemilik Grup Sahid, meninggal dunia pada Kamis (21/12) pukul 09.15. Jenazah akan dimakamkan di Pondok Pesantren Modern Sahid, Jalan Dasuki Bakri Kilometer 6, Kecamatan Pamijahan, Bogor, pukul 15.00-17.00.
Suasana di rumah duka Sukamdani Sahid Gitosardjono di Jalan Imam Bonjol No 50, Jakarta Pusat, masih cukup sepi hingga pukul 11.00. Namun, menjelang pukul 12.00, para tamu mulai berdatangan. Tamu-tamu yang datang antara lain adalah Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, politisi Partai Golkar Yorrys Raweyai, pengusaha Murdaya Poo, dan Direktur Eksekutif Apindo Agung Pambudi.
Agung Pambudi mengatakan, jenazah Sukamdani dimandikan di Sahid Sahirman Memorial Hospital, Jakarta Pusat. Jenazah dishalatkan oleh keluarga di Masjid Sahid di Grand Hotel Sahid Jaya. Setelah itu, jenazah tiba di rumah duka sekitar pukul 13.00.
”Pidato pengantaran jenazah dari rumah duka akan dilakukan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, sedangkan pidato pemakaman oleh Nugroho Sukamdani, putra almarhum,” ujar Vivi Herlambang, Director Sales Marketing & Business Development Sahid Hotels Group di Facebook.
Panitia menyiapkan 10 bus (masing-masing berkapasitas 50 kursi) untuk simpatisan dan keluarga yang akan mengantarkan almarhum ke pemakaman di Pamijahan, Bogor, dari Hotel Sahid dan rumah duka.
Sementara itu, pengusaha Sofjan Wanandi mengenang koleganya, Sukamdani Sahid Gitosardjono, sebagai tokoh pengusaha Indonesia yang mempersatukan berbagai pengusaha Indonesia. ”Pak Sukamdani juga berhasil membuka hubungan dagang antara Indonesia dan Republik Rakyat China,” kata Sofjan, Kamis siang.
Sofjan Wanandi menilai, Sukamdani berhasil mengembangkan bisnisnya di bidang perhotelan dan pendidikan di seluruh Indonesia.
Berbisnis sejak zaman perang
Sukamdani Sahid Gitosardjono lahir pada 14 Maret 1928 di Kampung Carikan, Pandean, Kelurahan Jetis, Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu Wage, 9 Ramadhan 1345 Hijriah, atau 9 Puasa 1857 menurut hitungan Jawa, dan wuku-nya Wuye.
Sukamdani yang menikah dengan Juliah pada 27 Mei 1953 itu dianugerahi lima anak, yaitu Sarwo Budi Wiryanti, Exacty Budiarsi, Nugroho Budisatrio, Hariyadi Budisantoso, dan Sri Bimastuti Handayani, dan belasan cucu.
”Usia boleh tua, tetapi kita tetap harus bermanfaat,” kata Sukamdani yang saat itu duduk di kursi roda dalam perayaan ulang tahunnya pada Maret 2015 (Kompas, Jumat 27 Maret 2015).
Sukamdani memulai bisnisnya sejak tahun 1945. Pada zaman perang, logistik seret sehingga dia berpikir bagaimana memberi makan tentara. Sukamdani mengumpulkan kain batik rakyat untuk ditukar dengan beras dan beras itulah untuk makan tentara. Ketika berperang pada 1948-1950, Sukamdani membutuhkan makanan dan mencari gaplek di Wonogiri dan gaplek itulah yang ditukar dengan beras.
Setelah perang usai, Sukamdani melanjutkan pendidikannya. Pada 1952, dia pindah ke Jakarta dan menjadi pengawai negeri sipil. Namun, Sukamdani tidak kerasan karena dia bercita-cita ingin menjadi pemimpin. Dia merintis usaha kecil-kecilan.
Percetakan
Pada 1 Juni, Sukamdani menyewa lokasi (yang sekarang menjadi lokasi Grand Sahid Jaya Hotel) di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, sebagai tempat usaha percetakan. Didukung istrinya, Sukamdani membeli dua mesin cetak handpress merek Dewaco buatan Solo dari tabungan.
Dari usaha grafika, Sukamdani yang senang berorganisasi berinisiatif mengadakan kongres perusahaan percetakan Indonesia pada Juli 1956. Berkat aktivitasnya dalam organisasi, Sukamdani bertemu dengan Presiden Soekarno. Dia berusaha merawat hubungannya dengan Presiden Soekarno. Sejak itulah, dia sering mendapat pesanan mencetak buku dan dokumen pemerintah, terutama saat peralihan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta (Kompas, 1 Juni 2013).
Sukamdani mendirikan Akademi Grafika tahun 1965 dan kemudian Sekolah Tinggi Grafika. Dia juga mendirikan Universitas Veteran Bangun Nusantara di Sukoharjo melalui Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Sosial Sahid Jaya. Sukamdani juga mendirikan Akademi Perhotelan pada 1988 dan kemudian Universitas Sahid.
Sukamdani juga dikenal sebagai tokoh pers dan salah satu pendiri harian Bisnis Indonesia, Solopos, dan harian Jogja.
Perhotelan
Dari usaha percetakan, Sukamdani kemudian mengembangkan bisnisnya di bidang perhotelan. Awalnya, pada 1960, dia pernah terdampar di Medan karena penerbangan sedikit dan selalu penuh. Sukamdani lalu berpikir, bisnis hotel dibutuhkan oleh Indonesia yang saat itu baru saja merdeka. Investasi awal berasal dari usaha dagang kertas dan percetakan. Dia kesulitan mencari semen sehingga terpaksa membeli semen selundupan.
Berkat kegigihannya, Sukamdani sukses membangun Hotel Sahid Solo, yang diresmikan pada 8 Juli 1965. Hotel pertama di Solo. Hotel Sahid berlantai tiga dengan 28 kamar itu pada 1965 merupakan bangunan paling megah di Solo (Kompas, Rabu 14 Juli 1965).
Pemerintah pun menugasinya untuk berpartisipasi dalam pembangunan Pasar Klewer, Solo, yang diresmikan pada 9 Juni 1971. Ketika itu, dia juga berpikir untuk membangun hotel di Jakarta yang lebih besar. Sukamdani menjadi Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia yang didirikan pada 9 Februari 1969.
Ketua umum Kadin
Sukamdani aktif dalam Kamar Dagang dan Industri atau Kadin. Saat usianya 55 tahun, Sukamdani terpilih sebagai Ketua Umum Kadin periode 1982-1985 (Kompas, Sabtu 25 September 1982).
Pada periode berikutnya, 1985-1988, Sukamdani Sahid Gitosardjono kembali terpilih menjadi Ketua Umum Kadin hasil Musyawarah Nasional VI Kadin 25-28 September 1985 di Hotel Horison, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta (Kompas, Minggu 29 September 1985).
Ketika menjadi Ketua Umum Kadin, Sukamdani mengaku tidak mau meminta kepada pemerintah untuk minta order dan ikut tender.
”Pada 1981 ke sana, ya, saya ini tukang cari order pemerintah, cari tender. Tapi setelah jadi Ketua Umum Kadin, itu saya stop. Tapi saya anjurkan kepada pengurus lainnya, jangan ikuti saya, tetapi tetap saja cari tender. Karena kalau saya ikut-ikut cari tender, kalau tidak menang, kan, malu. Sebaliknya, kalau menang tender, banyak orang sakit hati, pantes ketua umum. Jadi, supaya mereka tetap hormat kepada saya sebagai ketua umum, saya stop dengan usaha saya yang ada, yaitu Hotel Sahid Jaya, Sahid Solo, Hotel Sahid Garden Yogya. Yang ada ini yang saya pelihara,” ungkap Sukamdani (Kompas, Minggu 26 Desember 1993).
Sukamdani berani mengusulkan membuka perdagangan langsung antara Indonesia dan RRC. Ini supaya dapat digunakan untuk perintisan kembali pembukaan hubungan diplomatik, yang ternyata berhasil.
Selain itu, Sukamdani berani mengusulkan membuka perdagangan langsung antara Indonesia dan RRC. ”Ini supaya dapat digunakan untuk perintisan kembali pembukaan hubungan diplomatik, yang ternyata berhasil. Itu bukan pekerjaan gampang, menghabiskan pikiran, tenaga, dimaki orang,” katanya.
Prestasi lain yang dibuat Sukamdani adalah UU Kadin Nomor 1 Tahun 1987. ”Pada waktu saya memimpin Kadin, tidak kesulitan duit karena bisa merangkul pengusaha, baik pengusaha besar, menengah, maupun kecil. Si besar dengan saya merasa senang, si kecil dengan saya merasakan kita lindungi. Si besar juga tak merasa dimusuhi. Setiap bulan, ketika itu, saya harus mengeluarkan uang Rp 120 juta dan tidak pernah ada kesulitan. Kadin ketika itu tidak pernah ada kegiatan pengumpulan dana,” cerita Sukamdani.
Pada Oktober 1986, Sukamdani Sahid Gitosardjono menerima doctor honoris causa dari Tokoshoku University.
Sukamdani mempersiapkan anak-anaknya mengelola bisnisnya sejak dini, sejak tahun 1990-an, sehingga regenerasi di Grup Sahid berjalan mulus. Pada 1997, ekonomi Indonesia mengalami krisis. Sukamdani mengambil alih lagi grup usahanya untuk menyelesaikan urusan utang, yang selesai tuntas pada 2008. Pada 2002, Sukamdani sudah menyerahkan kembali grup usahanya ke anak-anaknya.
Salah satu putranya, Hariyadi Budi Santoso Sukamdani, kini menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Hariyadi sejak 2014 menjabat Ketua Umum Apindo, menggantikan pengusaha Sofjan Wanandi (yang menjabat Ketua Tim Ahli Ekonomi Wakil Presiden Jusuf Kalla).
Sabtu, 14 Agustus 1993, Sukamdani Sahid Gitosardjono menerima Bintang Mahaputera bersama enam tokoh lainnya di Istana Negara dari Presiden Soeharto (Kompas, Minggu 15 Agustus 1993).
Filosofi dalam berbisnis
Sukamdani membantah anggapan keberhasilannya sebagai pengusaha karena mendapat lisensi istimewa dari Presiden Soeharto. ”Itu tidak benar sama sekali. Keberhasilan saya sebagai wirausaha karena saya bekerja keras, merangkak dari bawah, dan mendapat kesempatan dari pemerintah untuk berkembang seperti yang saya capai sekarang,” katanya (Kompas, Senin 20 April 1987).
Keberhasilan saya sebagai wirausaha karena saya bekerja keras, merangkak dari bawah, dan mendapat kesempatan dari pemerintah untuk berkembang seperti yang saya capai sekarang.
Kunci sukses Sukamdani dalam berbisnis adalah,”Jujur kepada Tuhan dan diri sendiri, disiplin mengatur waktu dan teguh menuju target yang akan dicapai, bertanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain, bekerja keras, dan berprestasi yang direstui Yang Maha Kuasa dan didukung orang lain.”
”Pada saat saya berjuang, saya selalu berpegang pada satu patokan, yakni tuman, tumenen, gelem lakoni bakal tinemu (jujur, tabah, dan setia kepada cita-cita). Saya membuat keseimbangan, yaitu kemajuan dari segi materi itu tidak cukup, tetapi harus diimbangi dengan segi rohani. Jadi, kemajuan di bidang fisik material harus diimbangi dengan mental spiritual. Ada pagi ada sore, ada panas ada hujan, ada laki ada perempuan. Jadi, kecuali mempunyai pedoman kerja, juga dalam implementasinya kita harus mengatur keseimbangan hidup. Ini yang saya lakukan selama ini. Alhamdullilah, apa yang saya kerjakan itu bisa berhasil,” ungkap Sukamdani dalam wawancara khusus dengan Kompas, Minggu 26 Desember 1993.
Saya selalu berpegang pada satu patokan, yakni tuman, tumenen, gelem lakoni bakal tinemu.
Dalam berbisnis, Sukamdani memiliki falsafah bahwa, ”Hidup harus bisa menghidupi orang lain, dalam arti membuka lapangan kerja dan tidak serakah.” Bagi Sukamdani, mengembangkan uang untuk membuka lapangan kerja agar orang lain juga bisa berkembang, mendapatkan nafkah, mendapatkan rumah, dan pendidikan. Dengan demikian, ”Bisnis itu berkah bagi kita dan bagi orang lain.”
Sukamdani berulang kali menyampaikan harapannya agar generasi muda tidak hanya bercita-cita menjadi pegawai negeri. ”Terjunlah ke dunia wiraswasta karena Indonesia membutuhkan wiraswasta-wiraswasta tangguh untuk melaksanakan pembangunan ekonomi negara. Negara akan kuat jika memiliki banyak wiraswasta tangguh, ulet, dan militan, berdedikasi terhadap profesi, punya daya kreasi dan inovatif dalam memimpin usaha,” katanya (Kompas, Senin 20 April 1987). (DD16/ARSIP HARIAN KOMPAS/KSP)
CATATAN: Berita ini diperbarui pada Kamis (21/12/2017) pukul 13.25