Popularitas Calon Presiden Dorong Elektabilitas Parpol Pengusung
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Popularitas calon presiden yang diusung oleh partai politik dinilai mampu mendorong elektabilitas partai politik dalam pemilu legislatif dan presiden yang bakal diselenggarakan pada 2019. Hal itu dapat membuat posisi tawar presiden terhadap parlemen menjadi lebih tinggi.
Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengatakan bahwa dalam sistem presidensial, lembaga legislatif dan eksekutif seharusnya dilihat secara terpisah.
”Keduanya seharusnya independen dan tidak saling memengaruhi satu sama lain,” kata Burhanuddin dalam diskusi publik berjudul ”Pemilu Serentak 2019, Siapa Takut?” yang digelar Partai Kebangkitan Nasional (PKB), di Jakarta Pusat, Senin (11/12).
Dalam sistem presidensial, lembaga legislatif dan eksekutif seharusnya dilihat secara terpisah.
Burhanuddin menjelaskan, dalam konteks pemilu serentak, secara teoretis, hasil pemilihan legislatif dipengaruhi dari seberapa kuat calon presiden yang diusung oleh suatu parpo.
”Hal itu telah terjadi di banyak negara Amerika Latin, seperti Brasil dan Peru,” ujar Burhanuddin. Ia mencontohkan kasus Alberto Fujimori yang menjabat Presiden Peru pada 1990-2000.
”Saat popularitas Fujimori tinggi, partainya bisa menang telak. Tetapi, saat Fujimori popularitasnya turun, elektabilitas partai yang mengusungnya ikut turun drastis, hingga mencapai 3 persen saja,” lanjut Burhanuddin.
Ia mengatakan, pemilu serentak dapat menyebabkan matinya parpol. ”Pengaderan kurang relevan, kerja-kerja partai menurun. Hal yang paling penting seolah hanya siapa presiden yang diusung,” ucap Burhanuddin.
Pembicara lainnya, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu Demokrasi August Mellaz mengatakan hal yang tidak jauh berbeda. ”Masih ada kemungkinan terjadinya coattail effect dalam Pileg dan Pilpres 2019 mendatang,” ucap August. Coattail effect adalah efek menumpang ketenaran dari calon yang diusung.
Presiden Joko Widodo diprediksi masih menjadi calon kuat dan bakal didekati banyak partai. Berdasarkan survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas Presiden Joko Widodo mencapai 45,5 persen.
August menyebutkan, jika tidak terjadi perubahan signifikan, peta politik di DPR dan pemerintahan tidak akan banyak berubah.
Berdasarkan survei yang dilakukan SMRC, elektabilitas Presiden Joko Widodo mencapai 45,5 persen.
Elektabilitas Jokowi yang cukup tinggi kemungkinan dimanfaatkan partpol untuk mendapat insentif elektoral karena diasosiasikan dengannya.
Hal itu dapat dibuktikan dengan keputusan Partai Golkar yang sudah memutuskan untuk mendukung Jokowi sebagai calon presiden meski pilpres masih dua tahun lagi.
Namun, menurut August, hal yang perlu diperhatikan adalah apabila kepuasan publik terhadap calon kuat tersebut menurun.
”Jika popularitas atau kepuasan publik terhadap calon kuat itu menurun, bisa saja suara-suara yang seharusnya masuk ke mereka berpindah ke partai oposisi dan asosiasinya,” kata August.
Sementara itu, Siti Zuhro, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menuturkan, aspek ketokohan dan kultural masih akan sangat berpengaruh terhadap Pilpres 2019.
”Disadari atau tidak, masyarakat masih melihat siapa tokoh yang kuat di partai itu dalam menentukan pilihannya,” kata Siti.
Terkait peluang terpilihnya Jokowi kembali, Siti menyatakan, Jokowi harus mampu membuktikan bahwa kinerjanya selama 2014-2019 dapat memberikan kepuasan kepada publik.
Lalu, isu-isu yang hendaknya dipikirkan oleh siapa pun kontestan pemilu mendatang adalah soal ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran, korupsi, utang Indonesia, dan hubungan antarumat beragama. (DD16)