Perempuan yang Mekar Setelah Badai
Mari panggil dia Risa. Dia yang ceria mengikuti lagu, dan sibuk melafalkan narasi dari drama yang akan dipentaskan. Risa, bersama belasan rekannya sesama penyintas, menguatkan diri agar suara mereka lantang terdengar, sembari merengkuh kehidupan yang pernah dikoyak badai.
Perempuan yang tahun ini berusia 23 tahun itu selalu menghidupkan suasana, Minggu (5/11) malam. Ucapan, intonasi, atau gerak kaki yang tidak seirama dengan rekan-rekannya mengundang senyum. Risa memang gadis yang riang. Hanya saja, ketika menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya, rautnya tidak lagi sama.
“Sampai sekarang saya masih takut lihat orang pakai baju PNS, yang coklat-coklat itu. Soalnya dulu dipukulin sama majikan, dia masih pakai baju itu,” ucapnya tersengal. “Sama kalau lihat kopi item langsung pusing. Saya pernah disuruh minum lima gelas nggak pake gula sekaligus.”
Risa adalah korban kekejaman majikan ketika masih menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT), di Kabupaten Bandung. Sejak 2010, ketika umurnya masih 16 tahun, dia mulai ikut di sebuah keluarga. Gadis yang tidak lulus sekolah dasar itu lalu bekerja sebagai PRT.
Hanya setahun Risa hidup damai di rumah itu, meski tidak pernah digaji. Dalam lima tahun ke depannya, bukan hanya tidak mendapat upah, malah siksaan demi siksaan dialami. Tanpa pernah tahu kesalahannya, dia mulai dipukuli dengan botol, kayu, bahkan dengan palu dan kampak. Dia paling sering dipukuli di bagian kepala.
Risa diikat lalu digantung dengan kaki di atas, dan kepala di bawah
Seringkali juga ia disiram air panas. Di lengan dan beberapa bagian tubuhnya masih ada keloid bekas kekejian itu. Tidak terhitung dia diikat lalu digantung dengan kaki di atas, dan kepala di bawah. “Tahu ayam kalau abis dipotong dan dijual di pasar, nggak?” tanyanya memastikan.
Selama lima tahun, dia menjadi pelampiasan kekesalan majikannya yang entah manusia serupa apa. Paling sering ia disiksa oleh sang istri, sering suami atau beberapa anggota keluarga lainnya. Dipukuli, disiram air panas, atau disekap adalah perlakuan yang diterimanya.
Dia berhasil kabur dari rumah tersebut pada 1 September tahun lalu. Kasusnya telah selesai, dan Risa mendapat restitusi (ganti rugi), meski yang dihukum hanya sang istri majikan seorang.
Di luar itu semua, hidup Risa tidak akan sama. Bekas dan trauma itu tidak akan hilang. Tidak semudah itu dia bisa melupakan semua kejadian yang pernah dialami. Hanya saja, Risa tidak ingin berdiam di masa lalunya. Lewat pendampingan berbagai lembaga, dia mulai bangkit.
“Saya juga ikut drama ini karena senang ketemu teman-teman. Bisa berbagi cerita, berbagi pengalaman,” tambah Risa.
Pentas terapi
Sejak sore hingga pukul 21.00, sebanyak empat belas perempuan penyintas berbagai kasus kekerasan berkumpul di sebuah rumah di Menteng, Jakarta, yang juga kantor Syariat Islam.
Didampingi Lembaga Bantuan Hukum Apik, mereka menggelar latihan untuk pentas pertama para perempuan ini Desember mendatang. Drama yang disutradarai oleh Agustian itu bercerita tentang kekuatan para perempuan penyintas menghadapi pria sekaligus penguasa.
Para pemainnya adalah penyintas korban kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan berbagai kasus akibat relasi kuasa yang timpang. Usia mereka dari 20 hingga 50-an tahun. Mereka datang dari berbagai wilayah Jakarta, Tangerang, atau Depok. Berangkat dengan ojek, diantar keluarga, atau berangkat bersama.
Waktu itu anak bungsu saya masih 16 tahun. Kalau dibilang hancur, hidup kami hancur sejak saat itu
Meski tidak mempunyai pengalaman bermain drama, mereka berlatih serius. Terhitung telah tujuh kali mereka berlatih, pada Sabtu atau Minggu. Latihan itu tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa yang trauma pada kasus yang pernah menimpa, sesekali terisak terutama saat adegan yang dilakukan masih bertalian dengan fragmen kehidupan mereka.
Mumu (52), juga bukan nama sebenarnya, adalah salah satu pemeran yang harus menguatkan diri saat berlatih. Dia adalah ibu dari seorang putri yang diperkosa oleh ayahnya sendiri.
“Waktu itu anak bungsu saya masih 16 tahun. Kalau dibilang hancur, hidup kami hancur sejak saat itu,” cerita Mumu yang mendapat peran menceritakan potongan kisahnya di bagian drama. “Ketika berceritera di depan itu, saya memang menangis, tapi saya harus kuat agar pesan kami bisa sampai ke banyak orang.”
Mumu menuturkan, tidak ada yang mudah untuk melanjutkan hidup meski proses hukum atas kasus tersebut berjalan. Hingga saat ini, putrinya masih dalam kondisi mental yang turun naik. Selain pendampingan psikolog, dia rutin memberikan obat penenang kepada sang putri jika kondisi jiwanya tidak stabil.
Para penyintas itu berkali-kali menjadi korban. Karena itu kami fokus agar pendampingan mereka tidak hanya pada penyelesaian kasus, tetapi bagaimana mereka menjalani hidup
Korban berulang kali
Kasus-kasus yang dialami Risa, atau keluarga Mumu, hanyalah puncak gunung es kasus kekerasan kepada perempuan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta mencatat, sepanjang 2016 pengaduan masyarakat terkait kasus kekerasan pada perempuan sebanyak 854 kasus, atau hampir tiga laporan dalam sehari. Jumlah ini meningkat dibanding 2014 sebanyak 709 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 573 kasus.
Sementara itu, secara nasional, Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terekam dan ditangani selama tahun 2016.
Siti Mazumah, Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta menjelaskan, jumlah laporan terkait kasus kekerasan pada perempuan memang meningkat karena semakin terbukanya akses informasi. Namun, dia meyakini jumlah itu hanya puncak gunung es dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi hingga saat ini.
Salah satu sebabnya, korban yang melapor seringkali harus memendam bertahun-tahun sebelum berani melaporkan. Tidak hanya itu, ketimpangan kuasa masih sering mereka alami ketika penanganan kasus berlangsung. Pemeriksaan yang berbelit, kasus yang jalan di tempat, dikucilkan dari lingkungan, atau faktor ekonomi adalah beberapa sebab.
Faktor-faktor tersebut yang membuat korban berpikir berulang kali sebelum melaporkan kasus yang dialami.
“Para penyintas itu berkali-kali menjadi korban. Karena itu kami fokus agar pendampingan mereka tidak hanya pada penyelesaian kasus, tetapi bagaimana mereka menjalani hidup,” kata Siti.
Dengan pentas para penyintas ini, dia berharap menjadi terapi untuk mengembalikan kepercayaan diri. ”Juga terapi bagi masyarakat agar lebih sadar dengan hak-hak penyintas, dan perempuan pada umumnya.”
Sabtu pekan ini, mereka akan melakukan penggalangan dana untuk mendukung pentas berjudul “Ode Tusuk Konde” yang juga bagian dari kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan itu.
Kasus para penyintas ini mungkin telah berlalu. Di luar, kasus-kasus lain masih teramat banyak terjadi. “Kami ingin bersuara agar kami didengar, diperhatikan, dan perempuan lain tidak mengalami bencana yang sama,” kata Mumu dengan mata yang basah.