Arab Saudi Usung Ideologi Baru Reformasi
Arab Saudi belakangan ini terus melakukan gebrakan begitu cepat dengan sejumlah terobosan sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan agama, yang membuat mata masyarakat internasional terbelalak. Negara yang didirikan Ibn Saud tahun 1932 dengan mengusung ideologi ultrakonservatif Wahabi itu kini seperti berjalan ke arah berlawanan dari ideologi negara yang melekat sejak didirikannya.
Terakhir ini, dunia dibuat terkejut ketika Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud pada 26 September mengeluarkan dekrit yang mengizinkan kaum perempuan negara itu mengemudikan kendaraan. Arab Saudi selama ini merupakan satu-satunya negara di muka bumi ini yang masih melarang kaum perempuannya mengemudikan kendaraan.
Sebulan berselang, 24 Oktober, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman juga membuat kejutan dengan merilis megaproyek kawasan NEOM di wilayah barat laut Arab Saudi yang berdekatan dengan perbatasan Mesir dan Jordania. Tak tanggung-tanggung, kawasan NEOM menempati wilayah seluas 26.500 kilometer persegi dengan nilai investasi sangat fantastis, yakni 500 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6.780 triliun.
Kawasan NEOM dirancang dengan menerapkan sistem sosial, budaya, dan ekonomi yang independen dari kawasan Arab Saudi lainnya, seperti layaknya kota Dubai di Uni Emirat Arab.
Hanya beberapa hari setelah itu, pada 29 Oktober, otoritas Arab Saudi mengumumkan akan mengizinkan perempuan menonton laga olahraga secara langsung di stadion mulai tahun depan.
Adalah visi ekonomi 2030 yang diperkenalkan dan digalang Pangeran Mohammed (32) sejak April 2016 sebagai cetak biru untuk lepas dari ketergantungan pendapatan terhadap minyak menjadi titik balik gerakan terobosan besar di Arab Saudi saat ini. Dengan kata lain, berbagai terobosan besar itu adalah bagian dari rangkaian aksi program konkret visi 2030 itu.
Islam moderat
Ketika merilis megaproyek kawasan NEOM, Pangeran Mohammed secara mengejutkan menegaskan, Arab Saudi kembali mengadopsi Islam moderat yang terbuka terhadap dunia. Penegasan itu sesungguhnya sebuah rilis tentang ideologi baru Arab Saudi pada era visi 2030.
Penegasan Pangeran Mohammed terkait Islam moderat itu bisa disebut penegasan terpenting kedua setelah penegasan tentang visi 2030. Putra Mahkota Arab Saudi itu sangat menyadari betapa penting landasan ideologi yang tepat dan modern bagi sukses megaproyek di negerinya. Ia paham betul, ideologi lama yang diadopsi negaranya selama ini sudah tidak relevan lagi diusung pada era visi 2030.
Mantan Dubes AS untuk Irak dan Afganistan Zalmay Khalilzad dalam artikelnya di harian Asharq al Awsat, 8 Oktober 2016, mengatakan, Arab Saudi sedang berusaha keluar dari belenggu ideologi konservatif untuk melakukan gerakan pembaruan yang dipimpin Pangeran Mohammed. Tanpa langkah ini, hampir mustahil gerakan pembaruan di negara itu bisa sukses.
Banyak pengamat juga mengatakan, Pangeran Mohammed kini membuka lembaran sejarah baru ideologi di negaranya dengan sekaligus menutup lembaran sejarah ideologi lama. Memang sejauh ini pejabat ataupun cendekiawan Arab Saudi belum menyinggung ideologi Wahabisme dalam diskursus visi 2030.
Konstitusi Arab Saudi selama ini dikenal terinspirasi ideologi Wahabi yang merupakan bagian dari mazhab Imam Hambali. Namun, menurut akademisi Arab Saudi, Khalid al-Dakhil, dalam beberapa artikelnya di harian Al Hayat, ideologi Wahabi bisa dievaluasi sesuai tuntutan zaman.
Menurut Al-Dakhil, ideologi Wahabi yang diadopsi Arab Saudi saat ini hanya relevan untuk era pra dan saat pembentukan negara Arab Saudi tahun 1932 serta era upaya memperkuat negara itu (Al Hayat, 21 Februari 2016). Ia menyebutkan, ideologi Wahabi memiliki kekuatan mampu menyatukan pemahaman agama dan politik atau mengusung misi agama dan politik.
Ideologi Wahabi, lanjut Al-Dakhil, berjasa besar menyatukan wilayah Arab Saudi saat ini, yang semula terpecah-pecah dan saling berperang antara wilayah Hejaz (barat), Najd (tengah), Al-Ahsa (timur), dan Asir (selatan). Satu kelemahan ideologi Wahabi adalah penganutnya sering mudah—bahkan berlebihan—dalam mengafirkan orang atau budaya lain yang berbeda. Dengan kata lain, ideologi Wahabi cenderung tertutup.
Itulah sebabnya, Arab Saudi saat ini relatif tertinggal dibandingkan negara Arab Teluk lain, seperti Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Kesultanan Oman.
Karena itu, bisa dikatakan, penegasan Pangeran Mohammed bahwa negerinya akan mengadopsi Islam moderat dan terbuka terhadap dunia merupakan evaluasi terhadap ideologi Wahabi.
Tentu tantangan sangat besar dihadapi Pangeran Mohammed untuk melakukan masa transisi dari ideologi Wahabi lama ke Wahabi baru. Ia sadar, akan banyak resistensi para ulama
konservatif yang masih menolak proyek modernisasi atau visi 2030.
Pertengahan September lalu, ia menginstruksikan penangkapan puluhan ulama dan cendekiawan Arab Saudi yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, seperti Sheikh Salman al-Ouda, Sheikh Aid al-Qarni, Ali al-Omari, Farhan al-Maliki, dan Mustafa Hassan.
Jika visi Pangeran Mohammed dengan ideologi Wahabi barunya yang lebih ramah bisa terwujud dan tertanam kuat, wajah Arab Saudi di masa mendatang akan berubah total, khususnya secara sosial, budaya, dan ekonomi. Kini tinggal menunggu kemampuan Pangeran Mohammed menghadapi rintangan, baik dari internal keluarga besar Al-Saud yang berkuasa di negeri itu maupun kelompok konservatif.