Meninggalnya Siswi SMP di Bantul Bukan karena Imunisasi MR
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi Daerah Istimewa Yogyakarta merilis hasil kajian terkait meninggalnya seorang siswi SMP di Kabupaten Bantul, DIY, setelah mendapat imunisasi campak-rubela. Berdasarkan hasil kajian itu, meninggalnya siswi tersebut bukan karena pemberian vaksin campak-rubela.
”Setelah mengkaji secara mendalam, kami menyimpulkan meninggalnya siswi itu tidak berhubungan dengan vaksin MR (measles-rubela),” kata Ketua Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi Daerah Istimewa Yogyakarta (Komda PP KIPI DIY) Mei Neni Sitaresmi dalam konferensi pers, Kamis (14/9) sore, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Seperti diberitakan, seorang siswi berinisial NP (14) yang tinggal di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul, meninggal beberapa hari setelah mendapat imunisasi measles (campak)-rubela atau MR. NP mendapatkan imunisasi MR di sekolahnya pada Selasa, 29 Agustus 2017. Setelah itu, ia jatuh sakit dan sempat dirawat di sejumlah rumah sakit, tetapi kemudian meninggal pada Jumat (8/9). Jenazah siswi itu telah dimakamkan pada Sabtu (9/9).
Mei menjelaskan, sesudah kejadian tersebut, Komda PP KIPI DIY telah mengundang sejumlah pihak terkait untuk membahas meninggalnya NP. Pembahasan itu melibatkan para ahli kesehatan, petugas kesehatan yang memberi vaksin kepada NP, serta para dokter dari sejumlah rumah sakit yang merawat NP. Dalam pembahasan itu, Komda PP KIPI DIY juga melibatkan Komite Nasional (Komnas) PP KIPI. ”Kami mengumpulkan semua data dan kami diskusikan dengan melibatkan Komnas,” ujarnya.
Mei menyatakan, hasil kajian itu menunjukkan, kematian NP tidak disebabkan atau berkait dengan pemberian vaksin MR terhadap siswi tersebut. Penyebab meninggalnya NP diduga karena penyakit kanker darah atau leukemia. ”Ternyata si siswi ini menderita penyakit kanker darah atau leukemia. Secara teori, leukemia pada remaja memang termasuk leukemia yang risiko tinggi. Jadi, mohon maaf, kemungkinan terjadinya kematian juga sangat tinggi,” tuturnya.
Menurut Mei, pada 29 Agustus 2017 ada delapan petugas kesehatan, termasuk satu dokter umum, yang datang ke sekolah NP untuk melakukan imunisasi terhadap 390 pelajar di sekolah tersebut. Sebelum mendapatkan imunisasi, NP sudah ditanya oleh petugas tentang kondisi kesehatannya. Saat itu, Mei menambahkan, NP menjawab dirinya sehat dan tidak mengalami demam sehingga ia mendapat imunisasi.
”Sebelum mendapatkan imunisasi, anak-anak memang ditanya apakah ada yang sakit. Kalau ada yang menjawab sakit, dokter akan memeriksanya,” lanjutnya.
Mei mengatakan, vaksin MR sudah terbukti aman dan tidak berdampak negatif pada kesehatan. Sebelum dipakai di Indonesia, vaksin tersebut juga sudah digunakan untuk program imunisasi di sejumlah negara dan terbukti aman.
Pemeriksaan dokter
Pernyataan Mei dikuatkan oleh Sri Mulatsih, dokter spesialis penyakit darah dan kanker anak yang merawat NP di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Menurut Sri, NP masuk ke RS Bethesda dalam kondisi cukup lemah karena kadar hemoglobin dan trombositnya sangat rendah, sementara kadar darah putihnya sangat tinggi. ”Berdasarkan pemeriksaan, kemungkinan besar pasien ini menderita leukemia akut,” ucapnya.
Sri menyebutkan, tim dokter kemudian berencana melakukan pengambilan sumsum tulang NP untuk menguatkan diagnosis sebelumnya. Namun, orangtua NP ternyata meminta NP dipulangkan dari rumah sakit. ”Yang perlu kami tekankan, imunisasi itu bukan faktor risiko terjadinya leukemia. Jadi, ini tidak ada kaitannya dengan imunisasi MR yang sudah dilakukan,” tuturnya.
Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie mengatakan, petugas kesehatan yang melakukan imunisasi MR sudah memahami standar operasi (SOP) pemberian imunisasi. Dia juga menyatakan, petugas yang melakukan imunisasi terhadap NP sudah menjalankan SOP yang berlaku. ”Bisa saya pastikan bahwa screening atau pemeriksaan dokter terlebih dahulu sudah dilakukan,” ujarnya.