Pesta Olahraga Seharga 7,5 Kuintal Beras
Enam puluh sembilan tahun lampau, 9 September 1948, olahraga mengukir momen strategis dalam perjuangan, meluapkan rasa bangga di dada bangsa Indonesia, sekaligus memainkan peran diplomasi internasionalnya. Minggu, 9 September 2017, menyisakan rasa sesak menyusul hasil di SEA Games dan berbagai keterlambatan dan kegagalan sokongan pemerintah bagi atlet kontingen ”Merah Putih”.
Pada 1948, Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pertama digelar di Kota Solo. Buku Sejarah Olahraga Indonesia (Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, 1991) menyebutkan, perhelatan pesta olahraga perdana itu berlangsung pada 8-12 September 1948. Di dalamnya, 9-11 September, juga dilangsungkan Kongres Olahraga yang kedua di negeri ini.
PON pertama adalah sebuah unjuk kekuatan sebuah bangsa yang baru tiga tahun merdeka, yang wilayahnya di sana-sini tengah kembali diduduki pasukan Belanda dalam periode pasca-Perang Dunia II. Lewat ajang olahraga itu, Indonesia secara terang-terangan memamerkan kemampuannya mengorganisasi diri sebagai bangsa dan negara berdaulat, tepat di depan wajah Belanda yang antara lain telah menguasai wilayah pesisir utara Jawa.
Meski perhelatan berlangsung di Solo, dengan sengaja, prosesi PON dimulai dari Yogyakarta. Semua diawali dengan barisan gerak jalan yang terdiri atas para pemuda yang mendatangi Gedung Negara di Yogyakarta, tempat kediaman Presiden Soekarno. Mereka menjemput Bendera Pusaka Merah Putih dan bendera PON yang akan dikibarkan dalam upacara pembukaan.
Aksi itu merupakan awal dari sebuah tantangan bagi politisi dan petinggi militer Belanda, sang mantan penjajah, yang mengampanyekan bahwa Republik Indonesia tidak lebih dari petualangan segelintir ”pemberontak” pimpinan Soekarno yang ditopang oleh kelompok-kelompok penjahat dan perampok bersenjata. Belanda sesumbar di kancah internasional bahwa umumnya penduduk kepulauan Nusantara menginginkan kembalinya Hindia Belanda.
Namun, fakta yang ditampilkan lewat PON jauh berbeda dari apa yang disampaikan Belanda. Dari kediaman Soekarno di Yogyakarta, kedua bendera dibawa oleh ratusan orang dalam barisan gerak jalan secara beranting. Di sepanjang jalan Yogyakarta-Solo yang terentang sejauh sekitar 60 kilometer, ratusan ribu rakyat menyambut. Tidak jarang pemuda, pemudi, dan rakyat mengikuti barisan itu, membentuk ekor barisan yang panjang.
Bendera-bendera Merah Putih berkibar dan dilambai-lambaikan. Pekik ”merdeka” berkumandang di sana-sini.
Dalam upacara pembukaan PON I di Stadion Sriwedari, Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan hampir seluruh anggota kabinet pemerintahan RI hadir. Sebuah kancah diplomasi internasional dimainkan. Di hadapan sekitar 600 atlet dan ofisial peserta serta belasan ribu warga yang memadati stadion, di tribune kehormatan duduk beberapa wakil pemerintahan asing. Di antara mereka, ada pejabat Komisi Tiga Negara yang mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu diplomat Merle Cochran (AS), Thomas Kingston Critchley (Australia), dan P Bihin (Belgia).
PON perjuangan tersebut juga menegaskan bahwa olahraga adalah alat yang efektif merekatkan seluruh komponen bangsa tanpa membeda-bedakan latar suku, agama, ras, atau apa pun. Misalnya, seluruh kontingen atlet dipimpin pemuda dari Minahasa, A Supit. Penyelenggara kompetisi cabang renang dipimpin oleh pemuda keturunan Tionghoa yang baru berusia 28 tahun, Kwik Ing Djie. Panitia PON diketuai bangsawan Jawa, Pangeran Surjo Hamidjojo. Semua lapisan masyarakat juga memberikan bantuan yang tak sedikit.
Adapun penyelenggaraan menghabiskan biaya sekitar Rp 150.000 yang ditanggung oleh Kementerian Pembangunan dan Urusan Pemuda. Dengan harga beras ketika itu Rp 200 per kilogram, PON I berlangsung dengan dana yang tak lebih banyak dari harga 7,5 kuintal beras.
Kota Solo dipilih sebagai tuan rumah karena saat itu memang Indonesia tak punya pilihan. Solo adalah satu-satunya kota yang mempunyai sarana dan prasarana yang memungkinkan digelarnya sebuah kejuaraan ragam cabang olahraga.
Solo sudah memiliki sebuah stadion dengan sarana atletik, lengkap dengan tribune yang mengelilingi arena. Stadion Sriwedari adalah stadion pertama yang dibangun bangsa Indonesia, sebagai reaksi atas diskriminasi terhadap aktivitas olahraga yang dilakukan penduduk bumiputera oleh penjajah Belanda di masa lalu.
Umumnya, fasilitas olahraga hanya boleh digunakan penduduk golongan Eropa. Tidak tahan atas diskriminasi itu, RMT Wongsonegoro mengusulkan kepada Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939) agar membangun sebuah stadion, khusus bagi kegiatan olahraga rakyat Indonesia. Paku Buwono X, yang perhatiannya terhadap perjuangan kemerdekaan sangat besar, setuju. Kasunanan Surakarta lalu memberikan satu lokasi di Kebun Suwung dan biaya pembangunan stadion sebesar 30.000 gulden.
Selain memiliki sarana olahraga, di Solo pula terletak Kementerian Pengajaran karena ketika pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta, tak semua kementerian dapat ditampung di Yogyakarta. Dalam Kementerian Pengajaran itu pula, terdapat satu bagian, yaitu Inspeksi Pendidikan Jasmani.
Solo juga menjadi tuan rumah Kongres Olahraga yang pertama, bertempat di balai pertemuan Habipraya, 1946. Kongres tersebut lalu membentuk Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang berpokok pada gagasan olahraga sebagai alat perjuangan dan persatuan bangsa.
Namun, PON I adalah pesta olahraga yang sederhana. Tak ada api obor yang menyalakan kaldron, tak ada medali emas, perak, dan perunggu yang menjadi kalung bagi para pemenang. Para juara hanya mendapatkan secarik kertas sertifikat yang menyatakan mereka adalah juara.
Simbol kemenangan hanya diberikan kepada kontingen juara cabang olahraga dan kontingen juara PON. Kontingen Kota Solo, misalnya, memperoleh piala sebagai pemenang di cabang olahraga renang. ”Pialanya dari perak,” ujar Kwik Ing Djie (Kompas, 16 September 1993).
PON I juga sanggup menunda ketegangan antargolongan politik di negeri yang masih berusia ”balita” ini. Namun, sehari setelah PON ditutup, Solo tak sanggup membendung huru-hara pertempuran yang meletus di Jalan Srambatan, bersamaan dengan peristiwa pemberontakan PKI di Madiun. Huru-hara itu juga memakan korban jejak sejarah olahraga Indonesia. Sejumlah dokumentasi penting PON, kertas-kertas piagam, piala, dan bendera PON berlambangkan lidah api dengan lima lingkaran Olimpiade hilang tak tentu rimbanya.
Enam puluh sembilan tahun telah berlalu. Meski prestasi olahraga Indonesia secara keseluruhan masih redup di pentas internasional, setidaknya semangat pejuang tetap dipancarkan oleh para atlet ”Merah Putih”. Di SEA Games Malaysia 2017 yang baru berakhir 30 Agustus silam, para atlet mengumpulkan 38 emas, 63 perak, 90 perunggu. Berada di peringkat kelima, Indonesia tertinggal dari Singapura (57-58-73), Vietnam (58-50-60), Thailand (72-86-88), dan juara umum Malaysia (145-92-86).
Meski medali-medali itu terbilang sedikit, tidaklah mungkin Indonesia memilikinya jika para atlet tidak tahan berbulan-bulan menyiapkan diri dengan fasilitas yang tak prima. Uang saku terlambat (bahkan belum dapat), peralatan latihan diterima terlambat, peralatan tanding tak kunjung diterima, dan tempat latihan yang kurang memadai bagi sebagian cabang olahraga karena kompleks olahraga Gelora Bung Karno tengah direnovasi untuk Asian Games 2018.
Kalaupun akhirnya para atlet mengungkapkan berbagai fasilitas yang mereka belum terima, hal itu bukan keluhan. Mereka hanya menjawab pertanyaan pers atau mengutarakan sendiri pertanyaan akan janji yang telah disampaikan kepada mereka. Pengeluh tentu tak akan sanggup bertahan berlatih berbulan-bulan, lalu bertarung menghadapi lawan, apalagi meraih medali kemenangan.
Kini, tantangan yang dihadapi Indonesia jelas sangat berbeda dari 69 tahun lalu. Namun, paling tidak, lewat para atlet elite yang berlaga di Malaysia tersebut, Indonesia memperoleh cermin bahwa olahraga tetap sanggup menjadi pemberi harapan: para pemuda Indonesia bisa tahan banting, bangga akan kesetiaan mereka terhadap misi yang dibebankan, menjaga kehormatan bangsa dalam situasi yang sulit sekalipun.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mengamanatkan, olahraga berfungsi mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, dan sosial serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat. Olahraga bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa.
Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan yang besar dalam hal sumber daya manusia. Dana BPJS mengalami defisit yang antara lain menunjukkan tingkat kesehatan kita belum baik. Toleransi dan semangat persatuan terus diuji oleh berbagai peristiwa dan rumor yang bisa memecah belah.
Kini saatnya bagi olahraga untuk berperan lebih, maju paling depan sebagai pelopor di setiap lapisan masyarakat, di setiap aspek kehidupan, bahwa watak dan kepribadian bangsa, kesehatan, manusia berkualitas, dan segala pesan dalam undang-undang tersebut memang bisa diwujudkan lewat olahraga.