Kampung Aquarium, Aspirasi di Balik Lomba Tujuh Belasan
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Bulan Agustus baru saja berlalu. Namun, semangat perjuangan yang melingkupi bulan penting bagi perjalanan bangsa ini masih kuat terasa. Kisah-kisah inspirasi, kreatif, perjuangan mempertahankan eksistensi diri terus bergema.
Dari salah satu sudut ibu kota tepatnya, di Penjaringan, Jakarta Utara, meski tengah berkonflik dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal tempat tinggal, warga Kampung Aquarium, semangat perjuangan warganya tetap menggelora. Saat perinatal 17 Augustus lalu, mereka tetap larut dalam sukacita Hari Ulang Tahun Ke-72 RI. Mereka juga menyelenggarakan lomba tujuh belasan, tapi bukan sembarang lomba. Lewat lomba ini, mereka sekaligus beraspirasi.
Semakin rendah posisi matahari, semakin ramai area lapang di Kampung Aquarium, Kamis (17/8) sore. Warga dan pengunjung berdatangan, penasaran dengan desain-desain miniatur rumah yang sedang dipajang di sana. Inilah suasana lomba yang bukan sembarang lomba di Kampung Aquarium untuk memeriahkan HUT RI: Lomba Rumah Ideal.
Tujuh rupa rumah dipamerkan oleh tim peserta lomba yang juga adalah warga di Kampung Aquarium. Nama rancangan rumah-rumah itu yakni: Rumah Gerobak, Rumah Joglo, Rumah Kapal, Rumah Langit, Rumah Panggung, Rumah Modern, dan Rumah Lipat. Warga dari segala usia boleh ikut, seperti Raka Keitara Ruliansyah yang masih berumur 11 tahun dan turut merancang Rumah Langit.
Lomba terselenggara berkat ide seniman asal Jepang yang setahun belakangan tinggal di Indonesia, Jun Kitazawa. Lewat diskusi dengan Rujak Center for Urban Studies, ia menetapkan membuat proyek seni kolaboratif bersama warga Kampung Aquarium. Ia membantu peserta lomba mendayagunakan kreativitas masing-masing untuk mendesain. ”Rumah ideal tidak selalu rumah yang besar, tetapi yang sesuai imajinasi dan kreativitas mereka,” ucapnya.
Para peserta lomba pun melalui proses penggalian ide, menggambar rancangannya, kemudian membangun miniatur rumah sesuai imaji di kepala mereka. Karena tidak asal membuat, rancangan rumah masing-masing punya makna. Selain bermuatan impian, rancangan mereka juga dipengaruhi oleh pengalaman traumatis saat penggusuran.
Raka, misalnya, memiliki ide membangun Rumah Langit yang terbuat dari bambu dan tingginya 4 meter. Wujudnya lebih mirip pos pantau.
”Saya bikin Rumah Langit ini karena bisa untuk mantau Satpol PP. Bisa juga untuk ronda bapak-bapak,” katanya waktu presentasi desain di hadapan para penonton.
Dalam presentasi lain, Saiman dari tim pembuat desain Rumah Lipat mendemonstrasikan rancangan rumah yang dinding dan atapnya mudah dibongkar serta dipasang kembali. Di bawahnya terdapat troli. Menurut dia, rancangan ini memudahkan penghuni untuk membongkar rumah dan menariknya ke tempat aman jika satpol PP datang guna menertibkan.
Penonton menanggapi penjelasan-penjelasan tersebut dengan tawa dan canda.
Lebih dari setahun lalu, pada 11 April 2014, 4.500 personel gabungan dari TNI, Polri, dan satpol PP mengawal pembongkaran bangunan di Kampung Aquarium atau Pasar Ikan. Warga tidak terima dan menghadang aparat, bahkan sempat saling lempar dengan satpol PP. Kericuhan berakhir setelah petugas menembakkan gas air mata. Warga menganggap proses penertiban tidak sesuai prosedur, tetapi Pemerintah Provinsi DKI beralasan, lahan yang diduduki masyarakat adalah tanah negara. Kawasan itu direncanakan direvitalisasi untuk wisata bahari.
Meski berisi ekspresi kemarahan akibat digusur, ada juga rancangan rumah bermuatan impian di masa depan. Contohnya, Hadi dan kawan-kawan yang membuat model rumah joglo karena ia berasal dari Jawa Tengah dan mengimpikan membangun rumah sesuai tradisi daerah asal. Namun, ia siap berkompromi dengan minimnya luas lahan di Ibu Kota.
Hadi ditanya, jika memiliki uang apakah akan membangun rumah bergaya joglo atau tidak di Jakarta. ”Di Jakarta tempatnya, kan, kecil, bikin sesuai lingkungan yang ada. Joglonya kalau tempatnya memungkinkan, itu dipakai,” jawab Hadi.
Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menuturkan, kegiatan-kegiatan rekreatif semacam Lomba Rumah Ideal membantu meringankan penderitaan warga Kampung Aquarium yang secara psikologis berada dalam kondisi tidak menyenangkan pascapenggusuran. Pada sisi lain, lomba menjadi sarana menyampaikan aspirasi secara tersirat.
Hadi yang mau menyesuaikan bangunan sesuai lingkungan yang ada di Ibu Kota menunjukkan, warga Kampung Aquarium mau bernegosiasi selama mereka tetap bisa hidup di sana. ”Apa yang buat kita ideal, belum tentu buat mereka sama. Apa yang menurut mereka ideal, kadang-kadang tidak terpikirkan oleh kita,” ucap Elisa.
Warga selama ini sudah menawarkan jalan tengah. Pemprov tetap bisa membangun ruang terbuka seusai menata area Kampung Aquarium, tetapi mereka meminta sebagian kecil lahan untuk tempat membangun rumah susun yang mereka sebut Kampung Susun. Revitalisasi berjalan, warga tidak perlu direlokasi. Warga menanti kemauan Pemprov mewujudkan rumah ideal tersebut.