Kota, Yang Dicinta Yang Patut Diperjuangkan (1)
Sudah lama menyandang gelar warga kota, tetapi mungkin sebagian orang sama sekali tak memahami apa itu kota sebenarnya. Apakah keberadaan segerombol gedung tinggi menusuk langit cukup sebagai penentu kawasan itu disebut kota? Atau justru adanya ribuan orang berdesakan di lahan terlarang bersama-sama terjebak kemiskinan akut di lingkungan yang buruk adalah sisi kota yang sebenarnya?
Jawabannya jelas tidak sederhana. Yuk, ikut menelusur, mencari tahu apa kota itu.
Sebagai pembuka, Arthur O’Sullivan dalam bukunya, Urban Economics edisi ke 8, sengaja mengutip kalimat-kalimat penuh makna. Sebuah kalimat dari Theodore Parker dikutipnya pertama, “Cities have always been the fireplaces of civilization, whence light and heat radiated out into the dark”. Dilanjutkan dengan ungkapan Steve McQueen,”I’d rather wake up in the middle of nowhere than in any city on earth”.
Dua kalimat itu menurut O’Sullivan mewakili berbagai perasaan dan anggapan tentang kota yang sulit didefinisikan dalam satu kalimat atau dalam satu sudut pandang saja. Kota mewakiliki harapan, tetapi juga keputusasaan. Sesuatu yang dirindu, tetapi juga dibenci habis-habisan. Bahkan para ilmuwan, peneliti soal kota pun memiliki definisi-definisi sendiri terkait kota.
Dengan kacamata ilmu ekonomi yang dikuasainya, O’Sullivan melihat selalu ada sisi positif dan negatif kota. Sisi positif kota yaitu keberadaannya memfasilitasi terus terjadinya inovasi di semua lini kehidupan, juga berkembangnya produksi dan perdagangan, yang semuanya membuka peluang untuk peningkatan kehidupan manusia.
Sebaliknya, kota itu juga kotor, bising, padat dan kacau. Begitu banyak masalah dihadapi seperti kemacetan, polusi, kriminal hingga masalah sosial yang terus ada tiada terpecahkan tuntas. Semuanya itu, yang baik dan buruk, mau tidak mau terus tumbuh bersama perkembangan kota itu sendiri.
O’Sullivan pun mencoba mendefinisikan kota sebagai suatu area geografi yang relatif sempit yang ditempati oleh manusia dalam jumlah besar.
Definisi tersebut bisa diterapkan dalam memahami beragam variasi ukuran kota, baik kota kecil hingga sekelas megapolitan. Dalam menentukan definisi ini, O’Sullivan bersandar pada tingkat kepadatan populasi yang dikaitkan dengan esensi ekonomi urban, yaitu tingginya frekuensi hubungan antara berbagai kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi di satu area kawasan tertentu.
Kegiatan ekonomi yang dimaksud bisa mencakup banyak sekali kegiatan yang diwujudkan dengan adanya berbagai fasilitas di kota. Tidak heran jika kota adalah pusat jasa, yang menarik orang untuk datang. Kota lah yang memiliki sarana prasarana terlengkap, baik terkait pendidikan, kesehatan, jual beli, transportasi, dan semua kebutuhan dasar maupun sekunder manusia. Mau cari pasar paling lengkap, ya di kota. Orang bisa menjual apa saja dan selalu ada pembeli.
Revolusi pengubah hidup
Untuk menggiring ke pemahaman lebih dalam soal kota, bolehlah menyimak sekilas perjalanan pertumbuhan kota dan hal-hal mendasar yang terkait. Dalam penjelasan awal Bab 2 The City Reader edisi ke 6, kota dikatakan selalu memiliki tiga institusi utama yaitu pemerintahan atau pengelola, pasar sebagai penggerak ekonomi, dan penduduk. Namun, peran penduduk tidak bisa disepelekan.
Lewis Mumford, urbanis atau ahli kota kelahiran tahun 1895 di New York, Amerika Serikat ini hingga akhir hayatnya di tanin 1990 selalu ingin tahu dan mencoba menggali hakikat kota. Mumford yang juga sosiolog, sejarawan, dan mendalami filsafat ini meyakini menciptakan kota yang manusiawi akan makin memperkaya peradaban.
Peradaban manusia bukan hal mudah untuk dicapai. Perlu beribu-ribu tahun bagi manusia untuk mengembangkan kebudayaan dan mencapai titik taraf tinggi atau kompleks yang disebut peradaban. Jejak awal munculnya kota sebagai wujud peradaban tinggi manusia ditemukan di antara Sungai Tigris dan Eufrat, di sepanjang bantaran Sungai Indus, juga di Sungai Nil beberapa ribu tahun sebelum masehi. Sejak itu, kebudayaan berbasis kota dan populasi urban yang berkembang hampir di semua belahan dunia terus menjadi bagian perjalanan sejarah manusia.
V Gordon Childe, masih dari The City Reader, menjelaskan bahwa karater kota-kota pertama di dunia adalah adanya struktur sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Mumford juga O\'Sullivan. Meskipun kini kota-kota di dunia berkembang dan memiliki keunikan tersendiri, tetapi dipastikan selalu ada ketiga struktur dasar itu.
Childe, seorang arkeolog dan sejarawan Inggris kelahiran Australia ini meyakini ada tiga hal yang mengubah drastis peradaban manusia, yaitu revolusi pertanian, revolusi urban, dan revolusi industri. Revolusi industri yang terjadi pada abad 19 dan 20, masa ketika sistem produksi manual berganti dengan mesin, kota-kota baru tumbuh dan berkembang pesat. Kota yang susah beradaptasi dengan kondisi ini mengalami kemunduran.
Ditarik ke masa kini, ada dua revolusi lagi yang tengah mengubah hidup manusia, yaitu revolusi informasi dan globalisasi. Masih berkaitan dengan dua revolusi tersebut, di era abad 21 ini, muncullah peran manusia-manusia kreatif.
Manusia kreatif tidak melulu mengandalkan mesin, tetapi justru berbasis penguasaan pengetahuan dan teknologi. Mereka, dijelaskan oleh Richard Florida dalam tulisannya The Creative Class, telah dan akan terus membentuk kelas baru dalam masyarakat, yang disebut kelas kreatif. Pada masanya nanti, di tangan orang-orang kreatif inilah nasib kota ditentukan.
Mereka yang termasuk kelas kreatif ini, antara lain ilmuwan, arsitek, artis, novelis, dan desainer. Yang turut menjadi bagian kelas kreatif adalah pemimpin sekaligus pemikir di era masyarakat modern, tokoh-tokoh budaya, peneliti, dan para pembentuk opini. Mereka yang bekerja di berbagai bidang industri berbasis pengetahuan, teknologi tinggi, jasa keuangan, profesi ahli hukum, kesehatan, dan manajemen bisnis pun termasuk dalam kelas baru ini. Para teknisi serta paraprofesional yang menambahkan nilai kreatif dalam menjalankan usaha mereka turut memperkaya kelas kreatif.
Kelas kreatif terbukti mampu menghidupkan kota dengan hasil karya mereka, misalnya, seperti dituliskan oleh Florida, yaitu yang terjadi di Denver, Amerika Serikat. Kebijakan yang ramah terhadap para seniman/artis diimbangi pembangunan transportasi publik memadai serta perbaikan stadion baseball, terbukti sukses menghidupkan kembali kawasan pergudangan yang sebelumnya menuju “kematian”. Berkat pembenahan satu sisi kota yang selaras dengan kebutuhan warganya itu, Denver terselamatkan. Denver menjadi kota yang lebih dinamis, humanis, dan tentunya makin nyaman ditinggali, makin dicintai warganya.
Hasil penelitian Florida ini mengukuhkan bukti bahwa pendekatan mengelola dan membangun kota tidak bisa sekedar berupa proyek fisik bangunan. Tidak juga melulu pendekatan sosial. Namun, campuran dengan komposisi yang seimbang antara banyak ilmu untuk menjawab solusi yang dibutuhkan warga itu adalah resep mujarab mengelola kota.
Kelas kreatif dinilai bisa mewujudkan kota meritokrasi, kota yang dikendalikan oleh orang-orang yang berkemampuan di bidangnya.
Di Indonesia, kehadiran kelas kreatif ini mulai terasa memberi dampak signifikan. Hal ini, antara lain, dari hadirnya pemimpin-pemimpin muda di tingkat kota yang mampu membawa perubahan positif, seperti di Kota Solo, Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Banyuwangi.
Kota, mengulang pendapat O\'Sullivan akan selalu menerbitkan perasaan campur aduk antara cinta dan benci. Kota-kota terkadang terasa mirip, tetapi manusia-manusia di dalamnya lah yang membuatnya berbeda. Budaya yang berbeda memberi warna hidup khas di tiap kota. Membuat tiap kota berharga dan patut untuk terus diperjuangkan eksistensinya, eksistensi dan kemaslahatan manusia-manusia penghuninya.