JAKARTA, KOMPAS — Temuan jejak tsunami tua di bagian selatan Pulau Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba menuntut perubahan strategi pembangunan di kawasan ini. Sebanyak 3 juta penduduk tinggal di atas deposit tsunami. Mitigasi bencana harus diperhitungkan agar risiko korban dan kerugian bencana bisa diminimalkan.
”Kajian paleotsunami merupakan alat yang paling otentik untuk membuktikan kejadian tsunami pada masa lalu. Apalagi data sejarah sangat terbatas dan bisa berubah. Sejarah bisa menjadi mitos dan sebaliknya, terkonstruksi konstruksi budaya,” kata ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, Minggu (6/8), di Jakarta.
Widjo menyampaikan hal ini terkait dengan temuan geolog Amerika Serikat, Ron Harris, dan tim Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menemukan jejak tsunami di selatan Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.
”Formalnya memang harus ada publikasi paper ilmiahnya. Tetapi, temuan-temuan awal ini mengonfirmasi tentang kerentanan pesisir yang berhadap zona subduksi Samudra Hindia,” katanya.
Temuan ini, ujar Widjo, harus disikapi oleh penentu kebijakan dalam merumuskan perencanaan pembangunan di kawasan ini. Apalagi, sebagian kawasan yang telah dipetakan rentan tsunami itu saat ini telah berkembang menjadi pusat ekonomi baru.
”Semua pihak harus satu suara untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa pembangunan harus berbasiskan mitigasi bencana,” katanya.
Widjo menambahkan, pembangunan di daerah rentan tsunami ini harus sampai pada analisis risiko bencana dan strategi mitigasinya. ”Tidak cukup hanya dengan kajian ancaman bencananya. Dalam kasus rencanan pembangunan Bandara di Yogyakarta, yang dilakukan baru kajian ancaman bencananya,” katanya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan, kajian dan berbagai temuan baru harus mendorong perubahan paradigma dalam membangun. ”Tsunami memang bersifat jangka panjang, tetapi bisa terjadi tiba-tiba dan merusak. Temuan-temuan ini harus menjadi peringatan dini,” ujarnya.
Investasi pembangunan harus memperhitungkan risiko ini. ”Mungkin biaya bangunan akan menjadi lebih mahal, tetapi untuk jangka panjang akan lebih aman. Apalagi ini soal nyawa orang sehingga harus diupayakan agar konstruksi yang dibangun sesuai dengan standar keamanan dan tidak justru menambah risiko,” kata Andi.
Andi meyakini, teknologi bisa menjawab kerentanan di kawasan bencana ini asal dilakukan dengan benar. ”Selama ini korban tidak terjadi karena gempa atau tsunami, tetapi karena kesalahan dalam pembangunan,” katanya.
Evakuasi mandiri
Dalam lokakarya di BMKG pada Jumat (4/8), selain menyampaikan temuannya tentang jejak tsunami, Ron Harris juga memaparkan hasil survei tim sosial. ”Dari survei kami, sebagian besar masyarakat di Palabuhanratu, Pacitan, dan Pangandaran memilih menunggu sirene sebagai penanda tsunami. Namun, dalam praktiknya, sistem ini sering tidak berjalan. Banyak sirene rusak,” katanya.
Oleh karena itu, Harris mengusulkan masyarakat agar dikenalkan prinsip evakuasi mandiri. Salah satu wujudnya adalah menyosialisasikan gagasan 20:20:20. ”Jika terjadi gempa 20 detik lamanya, harus segera mengungsi karena 20 menit kemudian bisa terjadi tsunami. Minimal lari ke lokasi di ketinggian 20 meter,” katanya.
Menanggapi hal ini, Andi mengatakan, peringatan dini tsunami harus disesuaikan dengan karakter tiap daerah. Beberapa wilayah rentan tsunami memiliki potensi terdampak tsunami lebih cepat dari 20 menit, misalnya di daerah Ambon yang jarak sumber gempa dan kawasan permukiman sangat dekat.
”Memang sangat penting evakuasi mandiri. Namun, pemetaan harus dilakukan berdasarkan karakter tiap daerah,” kata Andi.